POPULARITAS.COM – Pacu Kude (bahasa Gayo, Aceh) merupakan tradisi pacuan kuda tradisional yang dilakukan oleh Suku Gayo, dan kini menjadi salah satu destinasi wisata di Takengon, Aceh Tengah.
Biasanya pacuan kuda ini diselenggarakan dua kali dalam setahun, tepatnya saat peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia dan peringatan hari lahirnya kota Takengon.
Event pacuan kuda ini merupakan ajang yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Dataran Tinggi Gayo, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.
Dari penelusuran popularitas.com di Wikipedia, Pacu Kude pertama kali diadakan pada tahun 1850 di sisi timur Danau Lut Tawar, Kecamatan Bintang dan mulai menjadi acara tahunan pada 1950.
Luas lahan atau panjang lintasan yang digunakan untuk pacuan kuda tersebut sekitar 1,5 kilometer, yang dimulai dari wilayah Wikip dan berakhir di Menye, dengan jalur lurus memanjang.
Disebutkan bahwa Pacu Kude diadakan setelah panen padi selesai. Kuda-kuda yang dipacu ini merupakan kuda yang di wilayah tersebut, yang ditangkap menggunakan sarung.
Para joki pun merupakan pemuda yang berusia 10-16 tahun. Sang joki memacu kudanya tanpa pelana atau alat pelindung tubuh apapun, hanya mengenakan pakaian biasa.
Konon, Pacu Kude atau pacuan kuda tradisional Gayo ini telah dilakukan sebelum Belanda datang dan menjajah Indonesia, yang menjadi hiburan rakyat kala itu.
Dari beberapa referensi disebutkan, sejarah Pacu Kude berawal dari sekelompok pemuda yang iseng menangkap kuda liar menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar.
Saat itu, banyak masyarakat menggembalakan kuda. Antara kelompok pemuda dari satu desa dengan kelompok pemuda desa lainnya sering bertemu yang akhirnya memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Lama kelamaan, kebiasaan memacu kuda ini menjadi tradisi tahunan yang digelar di setiap masing-masing desa. Pada tahun 1850 lah Pacu Kude mulai dikenal dan tenar di masyarakat.
Para joki yang memacu kudanya saat itu hanya bertelanjang dada, tanpa pelana atau pelindung apapun. Juga tak ada hadiah, hanya gengsi atau marwah dan status sosial yang dipertaruhkan.
Usai bertanding memacu kuda tersebut, mereka yang terlibat dalam pacuan kuda kemudian bergotong-royong serta menyembelih ternak untuk makan bersama. Antusias warga dalam mengikuti Pacu Kude menarik perhatian Pemerintah Belanda kala itu, yang akhirnya menggelar pacuan kuda di Lapangan Belang Kolak pada tahun 1912.
Kegiatan yang digelar tersebut pun berlangsung dengan sangat meriah, apalagi diselenggarakan berbarengan dengan hari ulang tahun Ratu Belanda, yakni Wilhelmina. “Dulu sering digelar untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina. Budaya Pacu Kude tetap berlanjut hingga sekarang,” ucap mantan Wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus.
Keberadaan hadiah dalam pacuan kuda datang dari Ratu Wilhelmina, yang mana ia memberikan hadiah kepada pemenang. Bentuknya beragam, mulai dari biaya pakan kuda hingga piagam.
Akhirnya tradisi bagi-bagi hadiah Pacu Kude berlangsung hingga sekarang. Peraturan Pacu Kude pun dirubah, yang mana pada zaman Ratu Wilhelmina joki wajib menggunakan baju.
Arena Pacu Kude dibatasi dengan rotan agar kuda-kuda yang berpacu tak keluar dari arena. Hingga kini, Lapangan Belang Kolak merupakan salah satu arena pacuan kuda tertua di Gayo.
Di saat sekarang ini, Pacu Kude atau pacuan kuda tradisional Gayo masih terjaga. Para joki tetap memacu kuda tanpa pelana, namun aturan wasit tidak boleh diganggu gugat.
Kuda yang digunakan dalam Pacu Kude juga merupakan kuda lokal asli Tanah Gayo. Hal ini bukan tanpa alasan, agar menjaga kelestarian kuda lokal tanpa harus mengimpor kuda luar untuk bertarung. “Kuda-kuda lokal ini kita lestarikan, jangan sampai nanti kita fokus kuda luar sehingga kuda lokal punah, itu yang kita tidak mau,” ucap Firdaus.
Saat PON XXI 2024 Aceh-Sumut pada September kemarin, untuk cabor pacuan kuda juga digelar di Aceh Tengah tepatnya di Gelanggang HM Hasan Gayo, Kecamatan Pegasing.
Namun bedanya, dalam event empat tahun sekali tersebut pacuan kuda berlangsung dengan joki yang dilengkapi pelana dan kostum khusus, serta alat pelindung. Gelanggang HM Hasan Gayo pun menjadi arena pacuan kuda terbaik yang ada di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum KONI, Marciano Norman. “Lapangan ini yang terbaik di Indonesia,” ucap Marciano saat membuka pertandingan cabor pacuan kuda PON XXI 2024 pada September lalu.
Gelanggang HM Hasan Gayo dibangun di atas lahan seluas 27 hektar. Venue pacuan kuda sepanjang 1.400 meter ini dijadikan sebagai arena pertarungan dua hari kemarin.
“Saya yakin pacu kuda di Takengon ini akan semakin berkualitas dan membanggakan,” ucap pria yang merupakan mantan joki pacuan kuda tersebut.
Sementara, warga asal Jakarta sekaligus asisten pelatih berkuda kontingennya saat PON kemarin, Wahyu Wicaksono mengakui potensi pariwisata yang ada di Takengon, Aceh Tengah.
Menurut Wahyu, keindahan alam di Aceh Tengah sangat memukau dan dapat menjadi saya tarik wisatawan nasional. “Takengon atau Aceh Tengah punya alam yang sangat indah dan memukau, potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata berkuda,” katanya.
Ia juga menyampaikan bahwa pengelolaan arena pacuan kuda yang telah ada juga sangat penting agar pacuan kuda bisa menjadi atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan.
Dirinya berharap dengan pengelolaan yang lebih baik, pacuan kuda di Gayo menarik lebih banyak pengunjung. “Ini bisa jadi peluang besar untuk mengangkat pariwisata lokal,” katanya.
Hingga saat ini Pacu Kude menjadi hiburan rakyat sekaligus destinasi wisata budaya yang ada di Tanah Gayo. Setiap Pacu Kude digelar, ribuan masyarakat bakal memadati arena.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Almuniza Kamal menambahkan, Aceh Tengah miliki anugera bentang alam yang indah. Gunung, bukit, perkebunan kopi, sungai dan danau, semua menjadi satu kesatuan yang menarik untuk dikunjungi.
Alhamdulillah, saat ini, di kawasan itu telah dibangun lapangan pacuan kuda standar internasional saat PON 2024 lalu. Kita berharap, keberadaannya mampu jadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Pihaknya sendiri, pungkas Almuniza, kedepannya akan menggelar berbagai even yang bisa dilangsungkan di kawasan pacuan kuda tersebut, guna memperkenalkan stadion itu di kancah dunia. Harapan kita, para pehobi olahraga berkuda menjadikan Aceh Tengah sebagai salah satu agenda wisata mereka.