POPULARITAS.COM – Kekerasan terhadap anak menjadi ancaman yang sangat serius terhadap tumbuh kembang si anak itu sendiri. Apalagi, pelaku kekerasan biasanya adalah orang terdekat, seperti keluarga, kerabat atau bahkan pengasuh maupun tenaga pendidik alias guru.
Kekerasan terhadap anak menimbulkan trauma yang mendalam dan pastinya dapat mengganggu perkembangan anak dalam jangka panjang. Jika memperhatikan data yang ada pada Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Aceh, kasus kekerasan anak kerap meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2022 misalnya, tercatat sebanyak 485 kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak. Lalu pada tahun 2023, meningkat menjadi 634 kasus.
Menurut Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Hari Santoso, anak yang menjadi korban kekerasan sangat menerima dampak yang menghambat tumbuh kembangnya.
Anak yang menjadi korban kekerasan fisik maupun psikologis, jelas dia, dapat mengalami ketakutan, rasa tidak aman, dan gelisah. “Bahkan hingga dendam, penurunan semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi pendiam, serta melemahnya mental,” katanya.
“Jika tidak ditangani dengan baik, anak bisa stres berat dan kehilangan kepercayaan diri, berpotensi memengaruhi proses belajar dan kehidupannya,” ungkapnya.
Perlindungan dan pemenuhan hak anak harus terus ditingkatkan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia. Hanya saja, hal itu masih menjadi tantangan.
Sejumlah Upaya Perlu Dilakukan
Menurut Direktur Flower Aceh, Riswati, selama ini banyak pihak yang merasa takut melaporkan dan menutupi kasus kekerasan dengan alasan aib. Sikap ini tak memberi efek jera bagi pelaku hingga semakin banyak korban selanjutnya. Tak hanya itu, perlu pemulihan psikologi yang komprehensif bagi para korban secara maksimal.
Ia juga mengatakan bahwa penyadaran atas hak kesehatan reproduksi dan seksual, serta upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat penting. Upaya ini bisa dilakukan dengan memperkuat mekanisme pencegahan dan penanganan berbasis komunitas dan lembaga pendidikan, termasuk memastikan kesadaran masyarakat. Selain itu, perlu adanya peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga layanan kekerasan terhadap anak untuk menjangkau hingga ke tingkat desa.
Kemudian, memastikan implementasi dan pengawasan kebijakan perlindungan perempuan dan anak berjalan dengan efektif. Optimalisasi kerjasama lintas sektor dan multipihak dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh sangat diperlukan. “Penting memperkuat fungsi keluarga terkait agama, cinta dan kasih sayang, perlindungan, fungsi reproduksi, pendidikan dan pengasuhan, ekonomi serta budaya dan lingkungan,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut dia, alokasi anggaran yang memadai untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak juga penting. “Serta memastikan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak dalam perencanaan dan pembangunan Aceh di semua tingkat,” katanya.
Perlu Perhatian Semua Pihak
Terpisah, M Reza Fahlevi Kirani mengatakan, perlu evaluasi secara komperhensif menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Isu terkait hal ini, kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh periode 2019-2024 tersebut, memerlukan perhatian dari semua pihak.
Selain itu, peran orangtua sendiri sangat penting dalam melindungi anak-anak mereka dengan pola pengasuhan yang baik. Pemerintah Aceh melalui dinas terkait diminta untuk menyusun skema baru yang efektif untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurut dia, selama ini skema yang ada masih kurang didukung oleh anggaran yang memadai dan sumber daya manusia.
Reza juga mengimbau pemerintah kabupaten dan kota untuk bersikap proaktif dan serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan di Aceh. Terkait penegakan hukum, menurutnya juga masih belum memberikan efek jera bagi pelaku, terutama pelaku pelecehan seksual maupun pemerkosaan terhadap anak.
Penanganan kasus kekerasan terhadap anak tidak hanya sebatas menangani pasca kejadian, tetapi juga bagaimana mencegah sebelum kasus itu terjadi. “Diperlukan pendekatan preventif dan kuratif yang harus dimasifkan mulai dari tingkat gampong, dengan melibatkan berbagai stakeholder seperti di tingkat akar rumput,” katanya.
“Harus ada pendekatan dengan aparatur gampong, karena mereka tau betul bagaimana karakter masyarakatnya, pasti ada identifikasi dimana kejadian dan potensi-potensinya,” jelas dia.
Upaya Perlindungan Melalui UPTD PPA
Di sisi lain, DP3A Aceh terus berupaya untuk meningkatkan layanan perlindungan anak melalui pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). “Saat ini, baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang memiliki UPTD PPA, dan 13 lainnya masih dalam proses pembentukan,” kata Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Aceh, Tiara Sutari.
Selain itu, pihaknya juga fokus pada pelatihan aktivis terpadu berbasis masyarakat desa yang ramah perempuan dan peduli anak. “Perlindungan anak erat kaitannya dengan perbaikan kualitas SDM, pentingnya partisipasi dari semua pihak dalam upaya perlindungan anak dari ancaman kekerasan,” sebutnya.
Upaya edukasi melalui gerakan forum anak, hadirnya fasilitas ramah anak seperti masjid ramah anak, pesantren ramah anak maupun fasilitas lainnya. “Sehingga, anak-anak memiliki wadah untuk mengekspresikan dirinya, menyuarakan haknya dan berkreasi,” kata Tiara.
Selain itu, Tiara pun mengimbau seluruh pihak terutama kepada masyarakat agar berani untuk melaporkan setiap tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Laporan dapat disampaikan ke Kantor UPTD PPA di Jalan Teungku Batee Timoh No 2 Gampong Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh atau melalui hotline UPTD PPA di nomor 0811-6808-875.
Keluarga Menjadi Benteng Utama
Di samping itu dirinya juga mengatakan bahwa keluarga menjadi benteng utama yang bisa melindungi anak dari risiko kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Penguatan fungsi keluarga menjadi sangat penting. Ia juga menyoroti fenomena fatherless atau kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak.
Selama ini, tugas mengasuh anak hanya dibebankan pada ibu. Padahal, ayah punya peran yang sama dalam membangun dan mengedukasi agar terhindar dari bahaya kekerasan. “Fungsi keluarga perlu diperkuat, terutama terkait dengan perlindungan, komunikasi, dan sosial,” ungkap Tiara.
Guna mencegah dan mengenali adanya kekerasan yang dialami anak, komunikasi menjadi hal penting yang harus diperhatikan. “Ketidakterbukaan anak kepada orangtua menjadi kendala dalam mengidentifikasi tindak kekerasan,” kata Tiara lagi.
Oleh karena itu, orangtua perlu waspada terhadap banyaknya kekerasan fisik dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang yang justru dikenal oleh anak.
Selain itu, anak pun perlu diajarkan untuk berani mengatakan tidak jika ada indikasi seperti pelecehan seksual yang terjadi padanya. Komitmen ini diperlukan agar kekerasan anak dapat berakhir serta hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa benar-benar dapat terpenuhi dan terlindungi. (*)