POPULARITAS.COM – Perdagangan manusia atau dikenal dengan human trafficking merupakan kejahatan luar biasa yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia mana pun. Kejahatan ini terbentuk dengan berbagai macam modus.
Perdagangan orang atau perdagangan manusia merupakan bentuk kejahatan terorganisir yang melibatkan eksploitasi ekonomi terhadap manusia, sehingga tindak pidana ini dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mendefinisikan, perdagangan orang atau perdagangan manusia merupakan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Di Indonesia, kasus perdagangan manusia masih terbilang marak terjadi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan, sejak 2017 hingga Oktober 2022, tercatat ada 2.356 laporan korban tindak pidana perdagangan manusia.
Dari data tersebut diketahui bahwa sebanyak 50,97% korban perdagangan manusia merupakan anak-anak, sementara 46,14% lainnya merupakan perempuan, dan sebanyak 2,89% merupakan laki-laki.
Tak terkecuali di Aceh. Di provinsi yang berjuluk Tanah Rencong ini juga marak terjadinya aksi perdagangan manusia, meski tak sebanyak di wilayah lainnya. Sebut saja yang saat ini masih hangat diperbincangkan hingga ke tingkat internasional, yaitu penyelundupan imigran etnis Rohingya.
Bahkan, persoalan tersebut mendapat atensi khusus dari pemerintah pusat yang bekerjasama dengan berbagai negara lainnya, khususnya di Asia Tenggara, untuk mengungkap sindikat perdagangan manusia itu sendiri.
Tak hanya para kaum lelaki, namun juga banyak kaum perempuan serta anak-anak etnis Rohingya yang menjadikan korban dalam penyelundupan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tersebut.
Begitu juga dengan beberapa kasus lainnya yang terjadi di beberapa wilayah Aceh beberapa waktu lalu. Sebut saja misalnya, orang tua yang tega menjual anaknya sendiri kepada orang lain atau para pria hidung belang demi mendapatkan keuntungan.
Pemerintah Aceh menunjukkan keseriusannya dalam upaya pencegahan dan penanganan perdagangan manusia dengan membentuk Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Provinsi dan Rencana Aksi Provinsi (RAP) untuk perdagangan manusia.
Bukan tanpa sebab, pembentukan satuan tugas tersebut bertujuan untuk memberikan efektifitas sekaligus menjamin pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPPO.
Kasus perdagangan manusia, baik itu terhadap perempuan dan anak khususnya di Aceh, perlu keterlibatan seluruh pihak baik unsur pemerintah, lembaga masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat untuk dapat berkoordinasi.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana melalui Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Tiara Sutari, aparat penegak hukum merupakan mitra kerja dari DP3A Aceh dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk tindak pidana perdagangan orang.
“Aparat penegak hukum tergabung dalam Tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO berdasarkan Keputusan Gubenur Aceh Nomor 260/936/2022,” ujar Tiara kepada popularitas.com.
Oleh karena itu, sambung Tiara, dapat dipastikan dalam proses penanganannya bekerja secara koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama terutama dalam hal penegakan hukum untuk memberikan keadilan bagi korban.
Selain dari itu, peran dari masyarakat dalam upaya pencegahan serta penanganan korban TPPO juga sangat dibutuhkan. Masyarakat hendaknya dapat memberikan informasi atau melaporkan adanya TPPO, serta ikut menangani korban.
Hal yang sama juga diutarakan Dirreskrimum Polda Aceh, Kombes Pol Ade Harianto. Bahkan saat mengungkap kasus penyelundupan imigran Rohingya beberapa waktu lalu, ia berharap agar tak ada lagi penyelundupan manusia yang terjadi di Aceh ke depan.
“Apalagi sanksi hukum yang diterapkan terhadap kasus tindak pidana perdagangan manusia tersebut sangat berat,” kata dia beberapa waktu lalu.
Bagi para pelaku yang melanggar undang-undang tentang perdagangan manusia, diancam dengan hukuman penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta. (*)