HeadlineNews

Epidemiologi Menilai Sekolah Tatap Muka Januari 2021 Tidak Realistis

Epidemiologi Menilai Sekolah Tatap Muka Januari 2021 Tidak Realistis

 – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim telah mengeluarkan kebijakan rencana belajar tatap muka awal Januari 2021 nanti.

Kebijakan ini kemudian mendapat respon pro dan kontra, ada yang menilai rencana tersebut tidak realistis lantaran positivity rate penyebaran virus corona di Indonesia masih di atas 10 persen.

Nadiem menyampaikan, diberlakukan kembali belajar tatap muka tergantung kesiapan dari pemerintah daerah sendiri. Apakah pemerintah local setempat sudah siap atau tidak menerapkan protocol Kesehatan pencegahan virus corona.

Hal yang membedakan kebijakan pada Agustus 2020 lalu. Pembukaan belajar tatap muka per Januari mendatang, pemerintah daerah tidak lagi berdasarkan peta zonasi resiko yang disusun Satgas Covid-19, tetapi diberi kewenangan untuk memilah daerah-daerah secara detil untuk belajar tatap muka.

Kebijakan baru Nadiem mendapat respon pro dan kontra di tengah masyarakat. Kendati ada banyak juga orang tua yang sepakat dengan kebijakan pemerintah, lantaran selama belajar daring kesulitan mendampingi anaknya.

Kritik tajam yang disampaikan berbagai komponen, hingga dinilai tidak realistis selain positivity rate atau tingkat penularan virus corona di Indonesia masih di atas 10 persen. Faktor Pilkada Serentak pada Desember, yang menurut pakar epidemiologi, berpotensi menambah angka kasus positif.

Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI) menyebut mayoritas sekolah tidak memiliki pedoman berperilaku bagi seluruh warga sekolah ketika akan memulai pembelajaran tatap muka.

Tapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan pembelajaran tatap muka harus dimulai karena sistem jarak jauh dengan daring dan luring disebut “tidak ideal dan memiliki banyak kelemahan”.

Pembelajaran tatap muka pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 yang dimulai Januari tahun depan akan serentak dilakukan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Tapi dari pantauan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada Oktober lalu di Pulau Jawa, mayoritas sekolah tidak memiliki dan tidak mengetahui pedoman berperilaku bagi warga sekolah.

Pedoman yang ia maksud yakni mengatur bagaimana tenaga pendidik dan siswa berperilaku di lingkungan sekolah.

Bahkan menjabarkan tindakan guru dan murid mulai saat berangkat dari rumah, tiba di sekolah, dan proses belajar mengajar.

Tujuannya, kata Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, untuk mencegah klaster penularan Covid-19.

“Misalnya guru, sebelum berangkat harus mengukur suhu tubuh berapa? Apakah penciumannya baik? Pengecapnya baik? Kalau tidak, lebih baik tidak ke sekolah. Begitu juga diterapkan kepada siswa,” ujar Heru Purnomo kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (22/11/2020).

“Jadi itu bentuk preventif. Jika itu belum ada, maka sekolah bisa berpotensi untuk jadi klaster penyebaran Covid-19. Kesiapan fisik dan psikis harus lengkap dan ada,” katanya.

“Karena kunci keberhasilan pembelajaran tatap muka ada di situ.”

Pedoman berperilaku, katanya, bisa disusun oleh guru dan gugus tugas penanganan Covid di sekolah masing-masing dengan panduan pemerintah pusat.

Sebab sejauh pengamatannya, kebanyakan sekolah hanya siap secara teknis mulai dari alat pengukur suhu tubuh atau thermogun, disinfektan, tempat mencuci tangan, dan masker.

Segala kesiapan itu pun harus dipastikan betul oleh Dinas Pendidikan dengan mengecek langsung ke lapangan bukan secara online. Heru khawatir, sekolah yang bandel akan berbohong.

‘Tidak realistis’

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, menilai kebijakan pemerintah yang membuka sekolah pada Januari tahun depan tidak realistis.
Dasarnya karena positivity rate atau tingkat penularan virus corona di Indonesia masing tinggi yakni di atas 10 persen.

Sementara saran Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, pelonggaran kegiatan di suatu negara bisa dilakukan jika posivity rate di bawah 5 persen.

Jika berpatokan pada hal itu, maka ia menyarankan pemerintah agar membatalkan keputusan tersebut. Sebab, besar kemungkinan terjadi klaster penularan Covid-19.

“Yang terjadi kluster Covid-19 pada negara yang mengabaikan indikator pelonggaran seperti Amerika Serikat. Amerika membuka sekolah pada Agustus dan September dalam kondisi positivity rate di atas 10 persen,” imbuh Dicky Budiman kepada BBC News Indonesia.

“Dalam kondisi begitu, banyak klasternya. Terjadi peningkatan kasus infeksi pada anak-anak hingga 100% dalam satu bulan,” lanjutnya.

“Artinya berbahaya sekali bagi Indonesia kalau memaksakan membuka sekolah di mana kondisinya Indonesia enggak jauh berbeda dengan AS. Jadi potensi klaster Covid-19 jelas tinggi.”

Persoalan lain, sebulan sebelum pembukaan sekolah atau pada Desember 2020 ada hajatan Pilkada serentak di 270 daerah.

Selain itu juga pada akhir tahun 2020 ada libur panjang.

Dua hal tersebut, menurut Dicky, sudah pasti menimbulkan kluster penularan Covid-19 sehingga dampaknya positivity rate atau tingkat penularan virus corona akan semakin tinggi.

“Kecuali Desember ditiadakan keramaian. Pengetesan juga ditingkatkan bisa kita lihat di Januari, lalu dievaluasi lagi. Tapi dengan asumsi sekarang sangat tidak realistis. Itu namanya mengorbankan anak-anak kita.”

Apa tanggapan pemerintah?

Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Menengah di Kemendikbud, Jumeri, mengatakan kebijakan pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran 2020/2021 yang dimulai Januari tahun depan tidak bisa ditunda lagi.

Sebab pembelajaran jarak jauh dengan daring (online) dan luring (offline) disebut “tidak ideal dan banyak kelamahan-kelamahan yang mendasar,” kata Jumeri,
“Kita tidak perfect dengan itu [pembelajaran jarak jauh]. Jadi butuh pengembahan supaya tidak merugikan peserta didik,” kata Jumeri.

Kendati keputusan ini diberlakukan secara serentak mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi tapi pemerintah daerah diberi keluasaan untuk mengambil keputusan wilayah mana yang bisa segera dilakukan pembelajaran tatap muka.

Dalam pantauan Kemendikbud, kasus Covid-19 banyak terjadi di wilayah perkotaan. Sementara di pedesaan, minim.

“Kalau kabupaten atau kota mungkin bahaya, tapi ada kecamatan-kecamatan atau desa-desa yang sudah aman.”
“Nah kepala daerah bisa membuka sekolah di desa-desa itu dulu.”

Dalam waktu sebulan ini pula, Kemendikbud akan menyiapkan berbagai aturan yang diperlukan untuk membantu sekolah dan guru dalam menyiapkan pembelajaran tatap muka.

Pada pekan depan, pihaknya akan memanggil semua kepala dinas untuk menjelaskan pedoman berperilaku dan kesiapan teknis yang diperlukan tenaga pendidik.

“Pedoman berperilaku sudah ada. Jadi para guru tidak usah khawatir. Kami akan melakukan rapat koordinasi dengan kepala dinas. Masih ada waktu satu bulan untuk persiapan. Kami undang secara fisik supaya jelas.”

Jumeri juga menjelaskan, jika di satu sekolah terjadi kasus Covid-19 maka sekolah tersebut harus ditutup selama dua minggu untuk kemudian dilakukan pelacakan oleh puskesmas setempat.

“Kita punya pengalaman sembilan bulan hadapi Covid-19 apabila disiplin bagus tingkat penyebaran hampir tidak ada.”

Pada konferensi pers yang digelar Jumat (20/11/2020), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menyatakan walau keputusan membuka sekolah berada di tangan pemerintah daerah, tapi pembukaan sekolah juga harus disetujui kepala sekolah dan perwakilan orang tua murid.

“Kalau tiga pihak ini tidak mengizinkan, maka sekolah tidak diperkenankan dibuka,” kata Nadiem.

Kalaupun sekolah nantinya kembali dibuka, Nadiem menyebut orang tua tetap berhak menentukan apakah anak mereka akan mengikuti proses pembelajaran tatap muka di sekolah atau tidak.

“Orang tua masih bisa tidak memperkenankan anaknya untuk datang ke sekolah untuk melakukan tatap muka. Hak terakhir dari siswa individu, walau sekolahnya sudah tatap muka, masih ada di orang tua,” kata Nadiem.[]

Sumber: bbcIndonesia/CNNIndonesia

Shares: