POPULARITAS.COM – Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Munawar Liza Zainal menjadi salah satu pemateri dalam diskusi dengan tema “Kelembagaan Wali Nanggroe dalam Kekhususan Aceh” yang digelar oleh Lembaga Aceh Resource & Development (ARD) di Banda Aceh, Sabtu (15/10/2022).
Dalam paparannya, mantan Wali Kota Sabang ini meluruskan persepsi sebagian masyarakat Aceh yang selama ini menganggap bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah miliknya salah satu partai politik lokal, yakni Partai Aceh (PA).
“Ketika Wali Nanggroe ada ikatan parpol, sebagian mungkin menerima karena ketokohan Tgk Malik sebagai orang yang harus dihormati, tetapi kadang-kadang sebagian lain tidak menerima, oh berarti mereka itu Wali PA dan segala macam,” kata Munawar Liza.
Oleh karena itu, Munawar Liza ingin persepsi tersebut dapat dihilangkan. Ini karena Lembaga Wali Nanggroe adalah sebuah lembaga independen yang lahir dari hasil perjuangan GAM. Seyogyanya, lembaga ini berperan menengahi setiap permasalahan yang terjadi di Aceh.
Munawar Liza menjelaskan, setelah perundingan MoU Helsinki antara GAM dengan RI pada 2005 silam, dunia internasional dan RI menganggap jika GAM tidak ada lagi, tetapi telah berubah menjadi institusi-institusi.
Insitusi dimaksud, jelas Munawar Liza, dalam bentuk partai politik lokal. Pada prinsipnya, Munawar Liza menilai bahwa GAM tetap masih ada sampai saat ini, hanya saja tidak punya senjata dan tidak lagi minta merdeka.
“Pada prinsipnya GAM itu sebenarnya sebagai signatory, dia masih ada, dia sebagai lembaga masih ada, cuma GAM pasca MoU tidak punya senjata dan tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan. Jadi itu batasan atau garisnya,” tegas Munawar Liza.
Namun, Munawar Liza mengaku masih mendapati jika sebagian para petinggi pejuang kemerdekaan Aceh menganggap GAM berubah menjadi KPA, lalu berubah menjadi PA. Sehingga, timbul persepsi jika PA itu adalah GAM.
“Sebenarnya yang saya tahu waktu itu GAM itu adalah sebuah rumah besar, kemudian untuk bertepurnya mantan kombatan GAM masuk organisasi namanya transisi atau KPA, kemudian GAM bentuk parpol yaitu PA, jadi GAM tidak melebur menjadi PA, tetapi GAM itu membentuk parpol bernama PA,” jelasnya.
Dikarenakan ada pemikiran-pemikiran bahwa GAM sudah bertransformasi ke PA, kata Munawar Liza, sehingga lembaga-lembaga keistimawaan yang dibentuk di Aceh dianggap milik PA.
“Ini sebenarnya harus kita luruskan kembali, karena kita sayang kepada PA, cinta kepada PA dan partai-partai lokal lain. Tetapi maksudnya harus ada batasan bahwa PA itu bukan GAM, tetapi parpol yang dibentuk oleh GAM guna meneruskan ideologi-ideologi atau perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan GAM.”
“Kalau tidak, maka lembaga-lembaga keistimewaan yang terbentuk, termasuk Lembaga Wali Nanggroe, terpengaruh oleh hal ini, sehingga oleh sebagian rakyat Aceh dirasakan bukan milik mereka,” jelas Munawar Liza.
Hal itu, tambah Munawar Liza, diyakini menjadi penyebab masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap Wali Nanggroe. Padahal, katanya, Wali Nanggroe punya tanggung jawab besar dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat di daerah ini.
Misalnya, ketika eksekutif dan legislatis berseteru, Wali Nanggroe bertanggung jawab untuk mendamaikan kedua belah pihak. Demikian juga pihak yang berseteru, mereka harus mematuhi nasihat dari Wali Nanggroe.
Hal tersebut, menurut Munawar Liza, belum dijalankan sepenuhnya oleh Wali Nanggroe selama ini. Oleh karena itu, ini menjadi catatan di masa yang akan datang.
“Makanya sangat bagus kita buka bukaan di acara ini untuk memperkuat institusi Wali Nangggroe sebagai pemersatu yang independen di Aceh yang menguatkan dinul Islam, juga memperkuat parlok yang ada di Aceh yang memang menjadi pertaruhan di MoU Helsinki,” ujar Munawar Liza.
Dalam kesempatan itu, Munawar Liza juga mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini pemerintah pusat dan beberapa lembaga lainnya berdiskusi tentang eksistensi partai lokal di Aceh.
Pemerintah pusat, kata dia, beranggapan jika partai lokal sekarang tak jauh beda dengan partai nasional, sehingga disarankan untuk dibubarkan saja.
“Tetapi kita jawab, tidak, parlok adalah harga sangat mahal, yang ditinggalkan GAM karena tidak minta merdeka, sehingga parlok harus dipelihara, dikuakan, dibaguskan menjadi parlok-parlok yang modern yang mampu mengubah Aceh ini menjadi lebih baik,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri mengaku partai pimpinan Muzakir Manaf ini sepakat menguatkan peran Wali Nanggroe, tentu melalui revisi qanun yang bakal dilakukan DPR Aceh.
“Terutama masalah anggaran, sampai hari ini wali hanya mendapatkan gaji saja, sedangkan fasilitas lainnya tidak didapatkan, kecuali fasilitas layanan untuk jamuan tamu dan segala macam, tetapi yang lain tidak ada,” katanya.
Persoalan anggaran itu terkadang membuat Nurzahri bingung dalam menanggapi setiap pernyataan publik, terutama kenapa Wali Nanggroe tidak tidak pernah membantu masyarakat.
“Karena memang tidak ada anggaran, saat lembaga ini terbentuk, nomenklatur anggarannya tidak ada, kita pergi Kementerian Keuangan tidak mau membuka rekening untuk lembaga ini,” ujarnya.
Selain Munawar Liza dan Nurzahri, diskusi tersebut juga diisi oleh para narasumber lainnya, yaitu Taufik Abda selaku Aktivis Pegiat Adat dan Reusam Aceh dan Prof Syahrizal Abbas selaku Tuha Peut Lembaga Wali Nanggroe.
Jalannya diskusi dipandu oleh Adi Warsidi, wartawan senior Aceh yang juga Ceo Acehkini.
Leave a comment