POPULARITAS.COM – Kerkhof Peucut merupakan kompleks pemakaman militer Belanda yang ada di pusat kota Banda Aceh, tepatnya di kawasan Gampong Sukaramai (biasa orang menyebut Blower), Kecamatan Baiturrahman.
Tempat ini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang layak untuk dikunjungi, karena menjadi saksi bisu perjuangan Aceh terhadap penjajahan kolonial Belanda selama puluhan tahun.
Dari penelusuran popularitas.com, Kerkhof dalam bahasa Belanda berarti halaman gereja atau kuburan, sedangkan Peucut atau Peutjut adalah panggilan dari putra Sultan Iskandar Muda yakni Meurah Pupok.
Ya, selain kuburan serdadu Belanda, juga ada makam Meurah Pupok di tengah kompleks ini. Ia dimakamkan jauh sekitar 300 tahun sebelum Belanda menjadikan tempat ini sebagai kompleks perkuburan serdadunya.
Meurah Pupok wafat dan dimakamkan di tempat itu usai dirajam oleh sang ayah, Sultan Iskandar Muda, pemimpin kerajaan Aceh yang sangat berjaya pada masanya, lantaran telah melanggar syariat Islam dengan berbuat zina.
Kompleks Kerkhof Peucut juga disebut-sebut sebagai kompleks kuburan militer Belanda terbesar kedua di dunia. Ada sekitar 2.200 tentara Belanda, termasuk beberapa jenderal, yang dimakamkan di lokasi ini.
Selain itu, ada pula penduduk pribumi yang sengaja direkrut oleh pihak Belanda untuk dijadikan tentara Marsose dan pasukan KNIL untuk melawan Aceh, yang ikut dimakamkan di sini.
Mereka yang direkrut oleh para penjajah kala itu berasal dari wilayah Ambon, Manado, serta Pulau Jawa. Hal tersebut juga dapat dilihat dari sejumlah nama yang tertera di dinding kompleks Kerkhof.
Menurut Sudirman, dalam penelitian sejarahnya yang berjudul “Kompleks Makam Kerkhof di Banda Aceh, Cermin Kedahsyatan Perang Aceh”, kala itu Pemerintah Hindia Belanda sangat menyukai prajurit dari Ambon dan Jawa, karena dinilai baik sebagai tentara.
“Pemerintah Hindia Belanda sangat menyukai prajurit dari Ambon dan pulau Jawa karena mereka sebagai tentara yang baik,” ujar Sudirman dalam tinjauan sejarahnya.
“Setiap makam tentara prajurit dari Ambon dibubuhi tanda Amb, sedangkan makam prajurit pribumi dari pulau Jawa dan selainnya dibubuhi tanda I,” tulis Sudirman lagi.
Dalam tulisannya, Sudirman menjelaskan bahwa nama-nama tentara Belanda yang tewas dituliskan dalam 23 kelompok berdasarkan tahun dan lokasi tewasnya mereka. Kelompok yang dimaksud terdiri dari:
1.) Belanda yang tewas pada ekspedisi pertama dan kedua di Masjid Raya Banda Aceh pada 1873 dan 1874,
2.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lambhuk di Kampung Lambhuk pada 1873 dan 1874,
3.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lueng Bata di Kemukiman Lueng Bata pada 1874,
4.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Aroen pada 1875,
5.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Olehkarang-Pango di Kampung Ulee Kareng dan Pango pada 1876,
6.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lambaro pada 1876,
7.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lampagger pada 1876,
8.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Kajoeleh pada 1876 dan 1877,
9.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Simpang Ulim dan Samalanga pada 1822, 1878, 1878, dan pertempuran Samalanga pada 1877, 1880, dan 1882,
10.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Tjot Rang-Pajaoe pada 1882 dan Lepong Ara pada 1883 dan 1884,
11.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Gedong en Sigli pada 1878,
12.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran di wilayah XXII en XXVI Moekims pada 1878 dan 1879,
13.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Tjot Basetoel pada 1883 dan 1884, serta Krueng Kale pada 1883,
14.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lambari en Tenom pada 1884,
15.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran di Rigaih pada 1886,
16.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Kandang pada 1891,
17.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Kota Toeankoe pada 1889 dan pertempuran Edi pada 1889 dan 1890,
18.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Lambesoi pada 1884 dan Koewala pada 1887,
19.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Podiamat, Banda Aceh pada 1889,
20.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran Kampung Kunyet pada 1899,
21.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran di berbagai daerah dalam wilayah Atjeh en Onderhoorigheden pada 1910,
22.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada pertempuran di berbagai daerah dalam wilayah Zuidel-Atjehsche Landschappen pada 1925 dan 1927. (Juga ada makam yang belum diketahui tempat tewasnya serdadu itu. Pada dinding pintu gerbang Kerkhof hanya terdapat tahunnya, yaitu pada 1896, 1897, 1898, 1899),
23.) Makam serdadu Belanda yang tewas pada 1900, 1901, 1902, 1903, 1904, 1905, 1906, 1907, 1908, 1909, 1910, serta 1935.
“Angka pasti jumlah kuburan yang terdapat di tempat itu tidak dapat ditemukan lagi sejak pendudukan Jepang 1942,” sebut Sudirman.
“Di tempat ini kurang dari sepertiga mereka yang mati secara keseluruhan di Aceh karena perang atau bencana alam. Kerkhof adalah kompleks makam tentara Belanda terluas di dunia,” sambung dia.
Sementara itu, sejarawan Aceh, Rusdi Sufi pernah menyebutkan bahwa Belanda mulai menyerang Aceh pada 1873-1904, setelah rakyat Aceh menolak bergabung dengan Hindia Belanda kala itu.
“Saat itu hampir seluruh wilayah di nusantara telah dikuasai Belanda, hanya Aceh saja lah yang menolak, sehingga Belanda menyatakan perang terhadap Aceh,” ungkapnya saat itu.
Pada masa Hindia Belanda, Masjid Raya Baiturrahman dikuasai pasukan Belanda. Mereka sempat membakar masjid itu meski lalu dibangun kembali. Pada periode pertama perang tersebut (1873-1874), masyarakat Aceh menahan serangan Belanda.
Pada 14 April 1873, pemimpin pasukan Belanda yakni Mayor Jenderal J.L.H. Pel. Kohler, tewas ditembak oleh pejuang Aceh dalam pertempuran di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Selain Kohler, ada jenderal lain yang ikut dikuburkan di sana.
Jenazah Kohler lalu dibawa ke Tanah Abang, Jakarta, untuk dikuburkan di sana. Saat pembongkaran kuburan di Tanah Abang pada tahun 1978 guna pembangunan, Pemerintah Belanda lalu meminta izin kepada Pemerintah Aceh agar Kohler dapat dikuburkan di Kerkhof.
“Saat itu, Pemerintah Aceh mengizinkan Kohler dimakamkan di Kerkhof,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) tersebut dan tutup usia pada tahun 2018 lalu.
Menurut Rusdi, jenazah serdadu Belanda yang dikuburkan di Kerkhof Peucut berasal dari seluruh daerah di Aceh. Mereka yang tewas dalam perang, dievakuasi ke Kutaraja (sekarang disebut Banda Aceh).
Belanda lalu membuat kuburan untuk serdadu mereka di atas lahan kosong milik orang Yahudi. Selama bertahun-tahun usai Belanda keluar dari Aceh, Kerkhof pun tak ada yang mengurus, hingga terlihat kotor dan tak terawat.
Barulah kemudian pada tahun 1976, seorang kolonel Marsose bernama J.H.J. Brendgen, datang kembali untuk melihat langsung kondisi perkuburan militer Belanda tersebut.
Karena kondisinya yang sangat memprihatinkan, Brendgen pun berinisiatif untuk membuat sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Dana Peutjut (Stichting Peutjut-Fonds), yang mana yayasan ini menyalurkan dana untuk perawatan Kerkhof.
Kerkhof Peucut menjadi salah satu bukti keberanian dan ketangguhan rakyat Aceh dalam melawan penjajahan, sekaligus bukti nyata Sultan Iskandar Muda yang menjunjung tinggi hukum IsIam.
Para wisatawan lokal termasuk wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Tanah Rencong, khususnya kota Banda Aceh, juga kerap mengunjungi tempat ini. Selain itu, pemerintah Belanda juga sangat hormat dengan warga Aceh yang telah merawat kompleks kuburan ini, yang menjadi salah satu bukti sejarah.