POPULARITAS.COM – Kombes Pol Dr Dedy Tabrani, sebagai peserta didik (Serdik) Sespimti Polri ke-33, paparkan tugas akhirnya pada acara Focus Group Disccusion (FGD) yang dilangsungkan di Hotel Cosmo Amarossa di Jakarta, Senin 29 Juli 2024.
Lewat Naskah strategis perorangan (Nastrap), Dedy Tabrani menyampaikan bahwa, program deradikalisasi yang dijalankan saat ini, belum sesuai dengan UU anti-teror yang berlaku di Indonesia.
Sebagai contoh, kata Dedy, jika merujuk kasus terorisme yang diputuskan pengadilan, dari 427 perkara terorisme, terdapat 25 pelaku diantaranya merupakan residivis. “Nah, ini secara langsung perlihatkan fakta bahwa program deradikalisasi belum berjalan efektif,” katanya.
Dia menambahkan, pada tataran implementasi program deradikalisasi, kegiatannya tidak berjalan integratif dan berkesinambungan. Misalnya, belum ada Peraturan Kepala BNPT tentang hal itu. Akibatnya, tidak ada teknis penanangan atau standar operasional prosedur (SOP) yang mengatur pelaksanaan program tersebut ketika narapidana terorisme keluar dari tahanan.
Semestinya, pola deradikalisasi harus dijalankan secara integratif, yakni keterlibatan semua intitusi, seperti, BNPT, Densus 88 Antiteror, Kejaksaan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
“Ada kekosongan aturan yang secara teknis bisa digunakan atau sebagai acuan untuk menjalankan program deradikalisasi secara integratif dan berkelanjutan,” paparnya.
Untuk itu, pungkas Dedi, saat ini dibutuhkan satu landasan peraturan, berupa standar operasional prosedur (SOP) yang bisa dijadikan modul bersama setiap institusi secara kolaboratif dalam menjalankan program deradikalisasi di Indonesia.
Sementara itu, Irjen. Pol. Edi Hartono selaku pembimbing penulisan Nastrap ini menyampaikan bahwa proses deradikalisasi harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan.
Masalah yang umum terjadi adalah kurangnya koordinasi antara petugas Lapas; antara lain kurangnya jumlah pamong (pembina di dalam Lapas) yang mengurus para narapidana.
Dr. Muh. Syauqillah, dari Universitas Indonesia menyampaikan beberapa masukan terkait penelitian Nastrap yang dilakukan oleh Kombes.Pol. Dedy Tabrani yaitu: 1) BNPT harus ada di level strategis, tidak boleh operasional: siapa melakukan apa, BNPT merupakan badan koordinasi dan evaluasi. 2) Pendekatan budaya (kearifan lokal), misalnya penggunaan musik daerah untuk mereduksi paham radikalisme. Kita gunakan kesenian daerah untuk mengembalikan para narapidana ke akar budaya masing-masing dan 3) Pentingnya profesionalitas maupun passion (ketulusan dan keihklasan).
Dr. Solahudin dari Universitas Indonesia menyampaikan pandangan serupa denga yang disampaikan oleh Syauqillah. Menurut Solahudin, UU terorisme kita saat ini sudah kuat, memperluas pemidanaan, akan tetapi undang-undang yang kuat justru memperluas kesempatan terjadinya residivisme.
Oleh karena itu, Solahudin menambahkan bahwa BNPT harus ada di level strategis/koordinasi sehingga Criminal justice system dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, bukan oleh BNPT. Hal ini penting supaya tidak tercipta overlapping mengingat fokus kerja masing-masing memang berbeda sehingga harus ada aturan yang jelas terkait hal ini.