HeadlineNews

Perubahan iklim dan El Nino tantangan Indonesia

POPULARITAS.COM – Beberapa dekade lalu, tutupan es di Puncak Jaya, provinsi Papua tak pernah cair. Sebabnya, kawasan itu kerap disebut salju abadi oleh masyarakat. Namun kini, dampak perubahan iklim sebabkan salju di gunung itu pun telah mencair. 

El Nino yang terjadi tahun ini, diperkirakan semakin percepat kepunahan tutupan salju di puncak Papua. Jika, hal tersebut benar terjadi, maka semua pihak harus siap atas dampak perubahan iklim.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan bahwa, kondisi pucak es abadi di Papua kian mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat berdampak pada seluruh aspek kehidupan di wilayah tersebut.

Dia mengatakan, ekosistem salju abadi yang selama ini terbentuk di kawasan itu, dipastikan terdampak. Hal itu akan mengganggu dan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat Disana, katanya di laman Antara, Rabu (23/8/2023).

Kawasan yang telah terdampak perubahan iklim itu, justru akan makin cepat alami pencairan akibat El Nino yang ancam dunia global di tahun ini, tambahnya lagi.

Dwikorita mengatakan bahwa sejak tahun 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bersama Ohio State University, AS, telah melakukan studi terkait analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya. BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia kemudian terus melakukan kegiatan pemantauan secara berkala terhadap luas dan tebal gletser di Puncak Jaya.

Hasilnya, sejak pengamatan dilakukan sampai saat ini, tutupan es di Puncak Jaya mengalami pencairan dan menuju kepunahan.

Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 32 meter dan laju penipisan es sebesar 1 meter per tahun terjadi pada tahun 2010-2015. Kemudian saat terjadi El Nino kuat pada tahun 2015-2016, penipisan es pun mencapai 5 meter per tahun.

Dwikorita menekankan pula bahwa semua pihak perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan bersama baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dan pihak terkait lainnya.

Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan penerapan energi baru dan, atau terbarukan menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.

”Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan. Dalam Dialog untuk Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional di BAPPENAS tgl 21 Agustus yang lalu, BMKG merekomendasikan pula perlunya program yang lebih sistematis dan berkelanjutan untuk Observasi/pemantauan terhadap parameter lingkungan,” paparnya.

Sementara itu, Pakar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, Prof Emil Salim menilai, dampak perubahan iklim harus jadi landasan dalam membangun Indonesia.

Ia menyebutkan, tantangan terbesar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah potensi hilangnya pulau-pulau di tanah air sebagai akibat naiknya permukaan air Laut.

Ia mengatakan, terdapat 22 dari 28 provinsi di Indonesia berkategori top prioritas dari ancaman perubahan iklim. Sejumlah provinsi yang menempati posisi tertinggi top prioritas adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Tengah, Aceh, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.

Dia mengatakan sebagian besar provinsi yang masuk kategori super prioritas berasal dari bagian timur Indonesia.

“El Nino yang mulai mengubah suhu kita di Tanah Air berasal dari negara Amerika Selatan yang kemudian panas udaranya itu tertiup dari lautan Pasifik melalui kawasan NTT, dari bagian timur ke selatan, ke arah Pulau Jawa,” terangnya.

Kita diserang oleh El Nino dari timur, maka kepulauan provinsi-provinsi yang berada di timur Indonesia termasuk provinsi yang banyak menduduki top prioritas di dalam ancaman perubahan iklim,” kata mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Indonesia periode 1978-1993 itu pula.

Dampak dari perubahan iklim melalui lautan juga dialami bagian barat Indonesia. Mulai dari Aceh, Mentawai di Sumatera Barat, Nias di Sumatera Utara, hingga ke bagian selatan Indonesia.

“Indonesia adalah negara kepulauan yang diapit oleh Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Dua lautan ini mengalami perubahan yang fundamental akibat perubahan iklim dan kita terkepung oleh dua samudra ini. Maka, pengaruh dari dua samudra ini, 22 provinsi di Tanah Air kita mengalami ancaman dampak perubahan iklim,” kata Emil lagi.

Menurut dia, upaya mengimplementasikan pembangunan berketahanan iklim memerlukan dana yang besar, seperti tanggul lepas pantai, pemecah gelombang (wave breaker), dan penggalakan hutan bakau.

Kendati dana menjadi keterbatasan, Emil menganggap upaya mengatasi tantangan perubahan iklim harus segera dilakukan, karena fenomena tersebut berpotensi membuat pulau-pulau di Indonesia tercabik-cabik akibat berbagai bencana yang mungkin akan terjadi.

“Belum saya singgung soal dampak perubahan iklim pada air, pada pangan yang iklimnya mengalami perubahan, pada ikan yang lautnya mengalami suhu naik, pada kesehatan, pada jam kerja (para pekerja), pada suasana, dan sebagainya,” ujarnya lagi.

Karena itu, dia menilai kebijakan mencapai NZE pada tahun 2060 dapat digeser menjadi tahun 2030 sebagaimana disepakati Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Jika NZE tetap dicapai pada tahun 2060, ancaman perubahan iklim dianggap berpotensi lebih besar terjadi di Indonesia.

Editor : Hendro Saky

Shares: