EditorialNews

Tujuh Tahun Penjara Bukan Sekejap

kasus korupsi pengadaan damkar modern untuk pengadilan tingkat dasar sudah usai. Majelis hakim Tipikor Banda Aceh sudah menjatuhkan vonis kepada para pelakunya pada 26 dan 27 Oktober 2017. Satu terdakwa dihukum empat tahun dan tiga lainnya tujuh tahun penjara.
Damar modern| Foto dokumen redaksi

PERSIDANGAN kasus korupsi pengadaan damkar modern untuk pengadilan tingkat dasar sudah usai. Majelis hakim Tipikor Banda Aceh sudah menjatuhkan vonis kepada para pelakunya pada 26 dan 27 Oktober 2017. Satu terdakwa dihukum empat tahun dan tiga lainnya tujuh tahun penjara.

Dibandingkan kerugian negara sesuai audit BPKP Rp 4,7 miliar dari nilai kontrak rekanan  Rp 16, 889 miliar, hukuman majelis kepada para terdakwa dapat dianggap setimpal. Sebab, setiap satu rupiah uang negara harus dipertanggung jawabkan penggunaannya.

Ketegasan hakim memberi hukuman kepada para pelaku korupsi (bukan hanya kasus damkar) dengan harapan; dapat menjadi efek jera pada pelakunya dan menjadi pelajaran bagi mereka yang saat ini dapat amanah mengelola keuangan negara dan daerah. Namun pertanyaanya bagaimana dengan beberapa kasus dugaan korupsi lain yang selama ini ditangani penegak hukum di Aceh? Apakah mereka tak layak diberi efek jera dengan penjara?

Pengadaan damkar modern bertangga sebenarnya bukanlah satu-satunya kasus “besar” di Aceh. Masih ada kasus-kasus lain yang boleh disebut lebih “dahsyat”. Seperti kasus pengadaan traktor tahun 2013 pada Dinas Pertanian Aceh Rp.39,2 miliar, kasus dana eks kombatan GAM Rp. 650 miiar, kasus pembangunan gedung Kankemenag Aceh dan sederet kasus lainnya. Tergantung penegak hukum dalam hal ini polisi dan penyidik kejaksaan mau atau tidaknya untuk mengungkap!

Mengemukanya kasus pengadaan damkar ini hanya karena “kaget” oleh pagu anggaran sebesar Rp17,5 miliar dari APBA 2014 yang anggaran sebesar itu, hanya untuk membeli satu unit mobil damkar yang manfaatnya belum tentu penting untuk sekelas Kota Banda Aceh. Sementara angka kemiskinan di seantro Aceh yang mestinya paling utama ditangani terus bertambah.

Kekagetan itu kemudian menyulut mata publik menyorotnya. Penyerehan damkar dari rekanan kepada Pemerinah Aceh, 17 Desember 2014 silam, yang mestinya melahirkan berita seremoni terbalik menjadi sorotan negatif publilk. Iabarat gayung bersambut, kondisi itu kemudian langsung ditindak lanjuti serius oleh penydik Kejaksaan Negeri Banda Aceh dan menjadi sebuah kasus.

Persoalan damkar sudah usai untuk pengadilan tingkat dasar. Pelakunya sudah divonis. Siti Maryami selaku Kuasa Pengguna Anggaan (KPA) sekaligus PPK yang juga eks Sekretaris Dinas Pendapatan dan KekayaanAceh (DPKA) divonis empa tahun penjara, denda Rp 200 juta subside dua bulan kurungan.

Sementara Syahrial selaku Ketua Kelompok Kerja (Pokja) dan rekanan: Direktur PT Dhezan Karya Perdana Deni Octa Pribadi dan Komisrais Utama (Komut) PT Dhezan Karya Perdana, Ratziati masing-masing dihukum tujuh tahun penjara denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.

Hukuman ini tentu belum berkekuatan hukum tetap (inkrach) karena masih ada upaya hukum banding dan kasasi bagi pera terdakwa sesuai anjuran Kitab Undang-undang Hukum Aara Pidana (KUHAP). Ada banyak terdakwa yang divonis di atas lima tahun mengajukan banding hingga kasasi, karena hukuman sepeti dialami rekanan damkar selam tujuh tahun penjara bukanlah waktu yang singkat.[]

Shares: