HeadlineOpini

Gelombang balik dari penjaringan tokoh pendamping Mualem

Gelombang balik dari penjaringan tokoh pendamping Mualem

POPULARITAS.COM – Awalnya saya menilai positif apa yang dilakukan oleh Partai Aceh (PA) menyelenggarakan seleksi terhadap bakal calon wakil Gubernur untuk mendampingi Mualem atau Muzakir Manaf, sebagai bakal calon Gubernur Aceh, pada Pilkada 27 November 2024 mendatang. Seleksi internal Partai Politik (Parpol) yang membuka kesempatan bagi personil di luar partai ini, dalam dunia politik lazim disebut konvensi. Dengan melakukan konvensi biasanya Parpol ingin menunjukkan bahwa dia demokratis, terbuka, dan modern. Memang begitu konsepnya.

Tetapi, setelah berjalan jauh, hingga sampai pada penentuan hasil seleksi dari “konvensi” PA ini, ternyata semuanya seakan berjalan salah kaprah, dan justru menjadi bumerang, sehingga menimbulkan gesekan internal yang tidak produktif bagi PA sendiri. Sangat disayangkan, sesuatu yang awalnya baik, jadi kontraproduktif, dan menurut saya merugikan PA secara politik.

Sabtu (17/8) yang lalu, Serambinews memberitakan, Zulfadhli, atau yang disapa Abang Samalanga, mempertanyakan keabsahan penunjukan Ketua Gerindra Aceh, Fadhlullah alias Dek Fad sebagai pendamping (wakil) Muzakir Manaf, hasil “konvensi”. Ia menilai ada kejanggalan pengumuman yang disampaikan Ketua Tim Seleksi Calon Kepala Daerah Partai Aceh, Dr. Nurlis Effendi, karena pengumuman itu dilakukan dengan tanpa adanya surat penujukkan resmi kepada Dek Fad, dari DPP Gerindra. Zulfadhli mencurigai ada yang salah dengan pengumuman hasil konvensi tersebut. Karena itu ia meminta agar DPP Partai Aceh melakukan evaluasi kinerja terhadap Nurlis Effendi. Bahkan, kepada Serambinews ia berkata, “Kalau terbukti ada permainan, maka saya kira Nurlis (sebagai Ketua seleksi) harus dipecat dari Partai Aceh”.

Selanjutnya, mengutip Zulfadhli, Serambinews menulis, apa yang disampaikan Nurlis Effendi, itu bertolakbelakang dengan upaya keras Mualem dan PA yang sedang terus melakukan penggalangan dukungan publik. Dari penjelasan ini, jelas bahwa tujuan konvensi salahsatunya adalah sebagai bagian dari upaya menggalang simpati publik dan meningkatkan persepsi positif untuk PA, sebagai Parpol modern, demokratis serta terbuka. Tapi, sebenarnya bukan soal ini benar yang semata menjadi masalah dalam konvensi ini. Proses “konvensi” ini sudah terlihat bermasalah, ketika muncul 8 (delapan) nama para tokoh politik yang diseleksi oleh PA, dan selanjutnya mengerucut menjadi 4 (empat) nama.

Pada Jumat, 26 Juli 2024, PA mengumumkan 4 (empat) nama dari 8 (delapan) nama yang lulus dalam seleksi tahap pertama. Mereka antara lain; Kamaruddin Abubabar yagn biasa disebut Abu Razak (Sekjen PA), Muslim (Ketua Partai Demokrat), Dr. Mufakkir Muhammad, dan Dr. Murniati M. Kes. Sementara, meskipun tidak disebutkan langsung, diketahui bahwa empat tokoh yang tidak lulus seleksi antara lain: Dek Fad atau Fadhlullah (Ketua Gerindra Aceh), T.M. Nurlif (Ketua Golkar Aceh), Mawardi Ali (Ketua PAN Aceh) dan Tu Sop atau Tgk. H. Muhammad Yusuf (ulama asal Bireueun).

Hasil seleksi ini sendiri sebenarnya sudah kontraproduktif kalau kalau dilihat dari tujuan seharusnya. Pertama, kalau dilihat dari tujuan untuk kualitas profillingnya sangat kontraproduktif. Misalnya: T.M. Nurlif, yang notabene Ketua Golkar Aceh, yang memiliki kursi signifikan di DPRA adalah mantan anggota DPR-RI empat (4) periode, dan mantan anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI, bahkan ia juga dikenal sebagai mantan Sekjen DPP Pemuda Pancasila PP), bersama Yapto yang sudah malang-melintang dalam dunia politik nasional. Selain itu, Ia juga memiliki pengikut cukup besar di Indonesia. 

Begitu juga Mawardi Ali; selain sebagai Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh, ia adalah mantan Bupati Aceh Besar dan juga mantan anggota DPRA. Sudah pasti memiliki kualifikasi secara politik maupun pemerintahan. Tapi kedua tokoh hebat ini tidak lolos, atau kasarnya ditolak oleh PA. Tapi lucunya, justru Mufakkir Muhamad serta Murniati, dua akademisi yang relatif tidak memiliki rekam jejak signifikan atau reputasi tinggi dalam politik, serta tidak memiliki pengikut yang besar, atau pengalaman birokrasi pemerintahan justru lolos seleksi 4 besar.

Kedua, terkait soal Dek Fad; Ia termasuk satu dari empat orang yang tidak lulus seleksi 4 besar, padahal notabene dia adalah Ketua DPD Partai Gerindra Aceh yang sudah duduk di DPR-RI selama dua periode, yang juga adalah Partai Pengusung Mualem. Dengan kata lain, Dek Fad termasuk “orang dalam” Mualem, khususnya kalau dilihat dari posisi Mualem yang juga sebagai Pembina Partai Gerindra Aceh. Ini juga terasa kurang klop, dan agak membingungkan bagi publik, tapi bagi yang cermat ini menunjukkan ada “masalah” secara internal. Dan yang ketiga; terkait soal Tu Sop; yang secara kontroversial tidak lolos, padahal sebagai seorang ulama, Tu Sop yang cukup disegani di kawasan Bireun dan Pantai Utara Aceh termasuk lumayan disegani.

Dengan tidak lolosnya 3 tokoh partai; Nurlif (Golkar), Mawardi Ali (PAN) dan Dek Fad (Gerindra) dalam empat besar, menimbulkan keraguan; benarkah PA sungguh-sungguh ingin mencari dan mendapatkan kualitas pemimpin terbaik untuk Wakil Mualem?. Benarkah konvensi mencari calon wakil itu sungguh-sungguh untuk menunjukkan PA sebagai partai modern, terbuka dan demokratis?

Sampai disini, publik mulai ragu, mengingat dari empat besar yang lulus, tidak satupun memiliki pengalam birokrasi pemerintahan, kecuali Muslim yang pernah duduk di DPR-RI selama 2 (dua periode). Selebihnya adalah dua akademisi (UIN) dan (Univ Ubudyiyah), plus Abu Razak yang notabene adalah Sekretaris Mualem sendiri di PA yang saat ini memimpin KONI Aceh (komite olahraga nasional Indonesia). Sederhananya; kualitas tokoh yang tidak lolos secara pengalaman politik dan reputasi politik, serta kerlibatan dalam birokrasi pemerintahan, jauh lebih baik dibanding mereka yang lolos.

Masalahnya juga tidak berhenti disitu; secara politik, muncul pertanyaan; akan kemanakah Golkar dan PAN setelah lamaran mereka menjadi wakil mualem ternyata “ditolak” dengan tidak meloloskan mereka hingga seleksi empat besar? Apakah penolakan ini tidak menyebabkan “rasa malu” dan “kecil hati” kedua partai yang selama Pemilu serentak kemarin masuk dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mendukung Prabowo. Bukankah penolakan lamaran menjadi wakil, merupakan “tamparan” keras dari pihak penyelenggara konvensi, khususnya PA dan Mualem?; bahwa mereka ternyata tidak di “terge”, alias tidak dianggap. Bahkan sekedar masuk ke empat besar saja tidak lolos.

Seperti sudah diduga, perkembangan politik semakin hari semakin jelas; bahwa PAN dan Golkar akan segera merapat ke kubu “OM Bus”. Jika ini benar terlaksana, dan kemungkinannya sangat besar demikian; jelaslah bahwa pelaksanaan “konvensi” PA, ternyatas terbukti; kontaproduktif. Alih-alih menambah sekutu justru menambah musuh. Kemarin sore, saya mendapatkan kabar angin sepoi-sepoi “PAN dan Golkar pasti mendukung”, OM Bus. Gawat.

Disisi lain, ternyata penolakan Tu Sop menjadi calon wakil mualem juga melahirkan gelombang politik baru tersendiri; beredar kabar, para ulama gerah dengan hasil “konvensi” tersebut. Mereka tersinggung, mengapa sosok seorang ulama yang cukup terpandang dan dianggap mampu, bisa tidak lolos dalam seleksi atau konvensi calon wakil gubernur Mualem?. 

Reaksinya memang tidak langsung. Tapi sebuah berita tidak enak terbit di Media online “Theaceh Post.com”, tepat peringatan 17 Agustus kemarin. Seorang tokoh ulama Aceh yang selama ini aktif dalam organisasi PA yang mendukung Mualem, menyatakan mundur dari PA. Beliau adalah Tgk. H.Muhammad Ali, pimpinan Dayah Bustanul Huda, yang lebih dikenal Abu Paya Pasie menyatakan mundur dari jabatan Tuha Peut Wali Nanggroe, Ketua Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Ketua Penasihat Partai Aceh.

Dalam kondisi seperti ini, tentu saja ini menjadi pukulan tersendiri bagi kubu tim pemenangan Mualem dan PA. Memang Theacehpost.com tidak menyebutkan alasan pengunduran diri Abu Paya Pasi ini, tapi menulis; “beredar kabar di masyarakat bahwa muundurnya Abu Paya Pasi ini ada hubungannya dengan rekomendasi ulama Aceh terkait sosok calon wakil gubernur Aceh untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024”. Sepertinya tambah gawat,apalagi  ketika kubu Tu Sop juga sudah menyatakan; tutup pintu untuk Mualem. Berita itu ditulis headline di Harian Serambi Indonesia. Sepertinya memang tidak ada jalan kembali bagi PA. Terus melaju dan mungkin desain strategi serta taktik baru.

Tapi benarkah isu wakil gubernur Aceh ini, sejauh dalam ulasan ini, justru menguntungkan kubu “Om Bus”, yang justru samasekali tidak bicara sepatah kata pun soal Gubernur, kecuali “Sabar, Bos”?; Padahal kita sama-sama tahu dalam perkembangan politik terbaru, menunjuk ke arah yang sama; semua yang tidak diterima Mualem sedang, akan dan atau telah bergeser menuju ke kubu “Om Bus”? Soal ini biarlah waktu yang menjawab, dalam beberapa hari ke depan ini sudah pasti jelas.

Namun yang pasti, gara-gara konvensi ini, malah telah terjadi gelombang balik ke arah PA, dari titik konvensi yang awalnya sungguh saya anggap inisiatif yang baik dalam sistim demokrasi, tapi sayangnya justru kontraproduktif diujungnya. Mungkin ini seperti pepatah tua dari buku ahli perang Cina, Sun Tzu tentang Memenangkan Perang, yang kerap saya baca: “Strategi tanpa taktik adalah jalan panjang dan lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan”. Saran saya; masih ada waktu untuk terus berkonsolidasi, baik bagi Mualem apalagi bagi kubu “Om Bus”, yang tampak tenang seperti ombak yang tidur sebelum badai. Maka inilah saatnya, “adu otak”; bukan “adu otot”. Tidak akan mudah, karena, ini bukan kisah tentang “kotak kosong”. Demokrasi makin asyik kalau kita melakoninya seperti sebuah permainan pikiran.

Oleh Wiratmadinata

Penulis adalah Akademisi

Shares: