NewsOpini

JATRONEKAT

Membaca liputan eksklusif pada Harian Serambi Indonesia Tanggal 5 Maret 2018 pada halaman pertama yang berjudul “Poros Tengah Belum Juga Tembus” dan “Provinsi Diminta Buka Jalan Baru”. Kedua judul tersebut menceritakan tentang sebagian jalan pada lintas Tengah Aceh yang meliputi Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam yang belum semuanya tembus dengan pesisir Aceh baik lintas Barat maupun lintas Timur.
Kelapa Sawit Berkontribusi Besar

Oleh : Azanuddin Kurnia, SP, MP *

Membaca liputan eksklusif pada Harian Serambi Indonesia Tanggal 5 Maret 2018 pada halaman pertama yang berjudul “Poros Tengah Belum Juga Tembus” dan “Provinsi Diminta Buka Jalan Baru”. Kedua judul tersebut menceritakan tentang sebagian jalan pada lintas Tengah Aceh yang meliputi Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam yang belum semuanya tembus dengan pesisir Aceh baik lintas Barat maupun lintas Timur.

Secara umum kondisi infrastruktur jalan dilintas Tengah – Tenggara Aceh masih belum memadai bila dibandingkan dengan lintas Utara – Timur dan Barat – Selatan Aceh. Kondisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, walaupun secara perlahan pemerintah sudah berusaha untuk membuka keterisoliran daerah – daerah tersebut.

Dimana perkembangan jaringan jalan di Propinsi Aceh dikenal dengan sebutan program pembangunan jalan jaring laba-laba/sirip ikan era tahun 1980-an. Lalu program pembangunan jaringan jalan 16 jalan tembus era tahun 1990-an. Program penanganan jalan jalur Ladia Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka) era tahun 2000-an. Rencana pembangunan jalan Ladia Galaska sepanjang 1.586,69  Ladia Galaska terdiri dari jalur utama sepanjang 504,69 km, jalur pengembangan 710 km, dan jalur pendukung sepanjang 369 km. Dan saat ini pembangunan terus berjalan dengan berbagai nama dan program yang bermacam – macam.                                    

Kondisi pembangunan jalan pada lintas Tengah – Tenggara terutama pada Kabupaten Aceh Tenggara, mengingatkan saya pada beberapa tahun silam, tepatnya pada Tanggal 15 Januari 2015 yang lalu, Saya atas nama FoLAT (Forum Leuser Aceh Tenggara) dan beberapa aktivis lingkungan diundang Bupati Aceh Tenggara Bapak Hasanuddin B untuk mendengarkan sosialisasi dan diskusi tentang Jatronekat (Jalan Terowongan Kutacane Langkat) di ruang rapat Bupati Aceh Tenggara. Diskusi awalnya sedikit tegang tetapi untuk selanjutnya terus mencair. Beberapa aktivis mengemukakan pendapatnya tentang ide Jatronekat ini. Umumnya yang disampaikan oleh Kami peserta diskusi adalah mendukung ide tetapi belum pada tahap mendukung pelaksanaan. Untuk mendukung pelaksanaan, masih banyak proses yang harus dilihat.

Tanggal 15 tersebut, bukan kali pertama Saya mendengar jalan terowongan tersebut. Hanya saja kalau sekarang namanya Jatronekat, kalau sebelumnya adalah  Kulang (Kutacane –  Langkat). Info Kulang itu Saya dapat langsung dari Bupati sekitar lebih 1 tahun sebelum ini dan dalam berbagai kesempatan tidak resmi sering kami perbincangkan. Selain itu Saya juga mendengar dari berbagai pihak termasuk dari media. Pernyataan Saya tentang Kulang juga sudah sempat dimuat di media pada tahun 2014 yang lalu.                       

Apa yang ingin Saya sampaikan disini adalah, ide berani dan ide briliyan seorang Bupati Aceh Tenggara yang mengusulkan pembukaan jalan terowongan sejauh ± 30 km dari Aceh Tenggara menuju Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Beliau dengan tidak canggung mengusulkan hal tersebut kepada Aceh Tenggara, Aceh, dan Jakarta. Meminta dukungan berbagai pihak agar rencana berani dan gila ini bisa terwujud.                    

Kenapa Saya katakan berani ? Karena setahu Saya belum pernah ada yang mengusulkan secara intens pembukaan jalan terowongan sejauh 30 km membelah Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Juga briliyan kenapa ? beliau telah melakukan lompatan jauh agar apa yang konvensional selama ini memang harus dengan ide briliyan baru bisa terlaksana. Bila ini terwujud akan menjadi sejarah pertama untuk Indonesia, dan Saya salut untuk itu.

Terus terang Saya setuju dengan ide berani dan ide briliyan beliau. Bagi Saya ide adalah mimpi, dan mimpi merupakan hak azazi manusia dari Tuhan yang tidak bisa dilarang. Mana mungkin kita melarang orang untuk bermimpi. Jadi mari kita biarkan mimpi atau ide itu terus berkembang untuk bisa diwujudkan.  Tetapi sekali lagi, yang kita dukung saat ini adalah idenya bukan pelaksanaan jalan terowongannya. Untuk pelaksanaannya, masih menunggu berbagai proses terutama hasil kajian komprehensif. Bagaimana keputusannya tergantung kepada hasil kajian tersebut.

Saya memandang, ide Jatronekat adalah untuk memecah kebuntuan terhadap kondisi jalan Kutacane – Medan sejauh ± 200 km lebih. Sejak Saya masuk ke Kutacane Tahun 1986, sampai sekarang tidak ada jalan yang mulus satu tahun saja dari Kutacane  menuju Medan. Bagus yang ini, yang sana rusak, yang sana bagus, yang ini rusak. Begitu seterusnya. Jarak yang pendek tersebut terkadang harus ditempuh dalam waktu 6 – 8 jam dengan mobil pribadi/travel. Belum lagi lagi mobil barang tentu akan lebih lama.

Warga Aceh Tenggara dan Gayo Lues, memandang jalan tersebut adalah sebagai urat nadi perekonomian dan kesehatan. Sembilan bahan pokok, BBM, hasil bumi, bahan bangunan, dan lain sebagainya akan dibeli dan dijual dari Medan. Ketika ada yang sakit, kami akan membawanya ke Medan. Tetapi dengan jalan yang tidak mulus, jangankan membawa orang sakit, orang sehat pun bisa jadi sakit. Satu hari saja jalan longsor, maka secara cepat harga barang bergerak naik. Contohnya harga telur ayam ras, cabe, bawang, dan kebutuhan lain segera naik dengan alasan pasokan ke Aceh Tenggara dan Gayo Lues berkurang karena longsor di Tanah Karo. Aceh Tenggara dan Gayo Lues jadi mati dan seperti dimatikan secara ekonomi. Tidak mampu bergerak dan kalau bergerak lambat.

Kondisi jalan Kutacane – Medan sudah ratusan kali masyarakat, pejabat setingkat kabupaten, provinsi bahkan pejabat pusat yang mengatakan jalan harus ditingkatkan, diperbaiki, dan dimuluskan. Memang saat ini kondisinya sudah lebih baik bila dibanding dengan 10 tahun silam. Sudah sebagian ruas jalan layak pakai tetapi sayangnya itu tidak bertahan lama. Paling lama 2-3 tahun sudah mulai bolong – bolong lagi. Tidak tahu dimana salahnya, apakah terlalu banyak dikorupsi dana untuk jalan tersebut, atau tonase truck yang lewat sudah melebihi batas. Pembicaraan di warung kopi menyatakan bahwa keduanya masuk dalam ranah tersebut.

Dengan kondisi jalan yang demikian, banyak sekali yang dirugikan tidak hanya warga Aceh Tenggara, Gayo Lues, termasuk juga Tanah Karo, Dairi, dan dari Medan. Mobil akan cepat rusak karena sering masuk lobang bahkan kecelakaan. Harga barang – barang lebih mahal dari seharusnya dengan alasan lamanya perjalanan, hasil bumi dari Aceh Tenggara dan Gayo Lues termasuk komoditi pertanian seperti Kakao, Karet, Sawit, Pinang, dan lainnya ketika dijual ke Medan dan sekitarnya menjadi kualitasnya berkurang, dengan demikian harga tentu akan menjadi lebih murah. Jadi ketika membeli barang dari luar mahal dan ketika menjual keluar barang menjadi lebih murah dan masih banyak contoh lainnya. Menurut Bupati dalam pertemuan tersebut, dari Kakao saja pertahun bisa menghasilkan 600 Milyar. Tentu suatu potensi ekonomi yang sangat besar dan akan lebih baik bila kondisi jalan sangat mendukung untuk itu.

Belum lagi dari sisi pariwisata, banyak wisatawan lokal bahkan manca Negara yang mengurungkan niatnya untuk ke Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Padahal dikedua kabupaten tersebut ada Leuser yang sudah terkenal mendunia. Keindahan alamnya, ganasnya sungainya, eksotik, dan flora fauna yang lengkap telah memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Tetapi itu semua terkadang terkalahkan karena kondisi jalan yang tidak bagus, sehingga mereka hanya sampai Berastagi Kabupaten Tanah Karo. Tentu ini secara ekonomi merugikan dua kabupaten tersebut.

 

Selain alasan di atas, sepertinya Kabupaten Tanah Karo, Dairi, dan Provinsi Sumut belum memprioritaskan jalan tersebut menjadi bagian terpenting dalam pembangunan regional. Ini dapat terlihat dari kondisi jalan yang sangat lama rusak dan bagus sebentar nanti rusak lagi. Seolah – olah seperti dibiarkan walaupun ini bukanlah pernyataan yang tepat.

Cerita di atas adalah sekelumit alasan mengapa diperlukan Jatronekat. Aceh Tenggara dan Gayo Lues perlu percepatan pembangunan. Tentu ide ini kalau jadi bisa menjadi mega proyek tidaklah semudah kita membalik telapak tangan. Ada banyak hambatan dan tantangan menurut Saya yang harus dilalui. Beberapa hambatan tersebut juga perlu dicari solusinya yaitu :

 

  1. Jatronekat belum masuk dalam RTRWK dan RPJMK Aceh Tenggara

Ide Jatronekat belum masuk dalam RTRWK Aceh Tenggara Tahun 2012 – 2032 dan juga RPJMK. Tetapi dalam KLHS RTRWK Jatronekat tersebut telah diusulkan agar dalam evaluasi pertama Tahun 2017 dapat dimasukkan dalam RTRWK. Artinya baru tahun 2017 Jatronekat masuk dalam RTRWK. Nah, dengan pemerintahan baru sekarang ini, apakah hal tersebut sudah masuk dalam RPJMK ?

Hal ini sangat penting karena menurut undang – undang yang berkaitan dengan perencanaan dan tata ruang ; program, kegiatan, proyek bahkan mega proyek harus masuk dalam tata ruang sebelum pelaksanaanya. Bila tidak masuk dalam tata ruang maka bisa dipidana. Tentu ini tidak diinginkan oleh Bupati sendiri dan warga Aceh Tenggara. Untuk itu hal ini mutlak dilakukan.

Selain harus dimasukkan dalam RTRWK dan RPJMK Aceh Tenggara, Aceh Tenggara juga perlu melihat bagaimana RTRWK kabupaten tetangga seperti Kabupaten Tanah Karo, Kabupaten Langkat, dan juga RTRWP Sumatera Utara dan RTRWA. Hal ini menjadi penting agar adanya keselarasan dalam mendorong terjadinya pembangunan regional antar provinsi.

Rencana pembangunan Jatronekat tidak hanya dipandang sebagai pembangunan Aceh Tenggara dan Langkat, tetapi harus lebih luas bahwa ini adalah pembangunan regional 2 provinsi. Dengan memandang pembangunan regional, maka energy yang akan dicurahkan juga bisa semakin besar dan tingkat kepedulian para pihak juga akan semakin besar dan serius. Jatronekat ini bahkan mungkin bisa masuk dalam paket jalan tol sumatera yang akan dilaksanakan oleh Presiden Jokowi pada masa pemerintahannya. Yang saat ini untuk proses jalan tol sudah dimulai, dan untuk ruas Banda Aceh – Sigli sedang dilakukan pendataan lahan untuk ganti rugi.

 

  1. Anggaran yang terlalu besar

Untuk mewujudkan Jatronekat, menurut perhitungan Bupati Aceh Tenggara waktu itu memerlukan dana sekitar 4 trilyun. Bagi Aceh Tenggara dan Aceh tentu anggaran untuk satu proyek sangatlah besar. Dari mana nanti dicari anggaran tersebut ? bila disharing antara kabupaten, provinsi, dan pusat maka kita juga bisa bayangkan berapa tahun akan terlaksana ? Bila kita bandingkan dengan pembangunan Mesjid Taqwa Kutacane juga memakan waktu bertahun.  

Walau 4 trilyun, bila itu sudah sah dan disepakati oleh Pemerintah Indonesia, maka Saya yakin persoalan dana akan ada solusinya. Terhadap masalah dana ini Saya mengusulkan agar dilaksanakan saja oleh Internasional bekerjasama dengan kontraktor nasional atau BUMN. Berikan waktu pembuatan Jatronekat kepada mereka dan hak kelola selama 20 – 25 tahun. Karena Jatronekat itu akan ada jalur mobil/bus dan kereta api. Tentu untuk biaya perawatan memerlukan pengelolaan seperti jalan tol. Nah, biaya pengelolaan tersebut diberikan kepada mereka sebagai ganti biaya pembuatan terowongan tersebut dan sedikit keuntungan yang layak.

Dengan mekanisme seperti itu, tentunya Aceh Tenggara, Aceh, dan Indonesia akan lebih ringan beban dalam hal biaya. Dana 4 T itu kalau pun ada bisa dimanfaatakan untuk sektor lain seperti pemberdayaan masyarakat. Tinggal bagaimana melakukan pengawasan dan negoisasi dengan kontraktor internasional, nasional, dan BUMN. Mekanisme ini bisa dibicarakan dengan membuat proposal dan MoU untuk pola kerjasama.

Selain kerjasama teknis dan pelaksanaan antara internasional dengan kontraktor nasional dan BUMN, internasional juga harus punya kewajiban untuk melakukan transfer informasi dan teknologi dalam pembuatan terowongan. Indonesia belum berpengalaman membuat terowongan sampai 30 km. Untuk itu tidak ada salahnya bila kita juga belajar dari mereka.

 

  1. Masuk dalam Hutan Konservasi dan Hutan Lindung 

Jatronekat sepanjang ± 30 km tentu akan melewati dan membelah Hutan Konservasi  (HK) dan Hutan Lindung (HL). Terowongan tersebut tidak langsung 30 km tetapi pada lokasi tertentu akan keluar ke atas (daratan). Nah, ketika keluar sudah memasuki kawasan hutan. Untuk itu perlu dilakukan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pemrakarsa dalam hal ini Bupati Aceh Tenggara agar sudah memikirkan bagaimana melakukan proses pinjam pakai tersebut dari sekarang. Juga harus memikirkan bagaimana cara penyelamatan lingkungan dan hutan pada daerah yang dilewati oleh jalan maupun terowongan tersebut. Bila didalam tanah, Insya Allah tidak ada masalah karena belum ada peraturan yang membolehkan ataupun melarang. Yang ada masih untuk pertambangan dalam tanah atau pertambangan tertutup.

Jadi sudah selayaknya dari sekarang Bupati dan jajarannya melakukan komunikasi intensif dengan Kementrian LH dan Kehutanan termasuk jajaran dibawahnya seperti BBTNGL sebagai unit pengelola TNGL. Komunikasi yang intensif akan memberikan jalan keluar terhadap berbagai permasalahan yang muncul yang berkaitan dengan HK dan HL.

Aceh Tenggara harus bisa meyakinkan KemenLH dan Kehutanan serta para pihak lainnya bahwa dengan Jatronekat tidak akan terjadi pembukaan lahan TNGL dan HL secara signifikan sebagai dampak dari Jatronekat. Kalau tidak bisa diyakinkan, maka kecil kemungkinan ini disetujui. Untuk itu perlu dibangun komunikasi dari sekarang tentang bagaimana cara mengatasi kemungkinan – kemungkinan tersebut.

 

  1. Perlu Blue Print Penyelamatan Lingkungan dan Hutan

Berkaitan dengan lingkungan dan hutan maka diperlukan ide besar untuk mengatasinya. Saya sudah mengusulkan kepada Bupati pada pertemuan Tanggal 15 Januari 2015 yang lalu agar dibuat “blue print penyelamatan lingkungan”. Terhadap ide ini Bupati setuju dan akan ditindaklanjuti.

Di dalam blue print tersebut harus menceritakan berbagai kondisi Aceh Tenggara khususnya lagi masalah penyelamatan lingkungan dan hutan pra, sedang, dan pasca Jatronekat dibuat. Blue print harus dibuat apa adanya dan tidak direkayasa untuk maksud – maksud tertentu. Blue print ini bisa menjadi salah satu alat dan senjata dalam meminimalkan berbagai dampak negative yang akan muncul dari Jatronekat. Selain mekanisme dari KLHS, AMDAL, dan berbagai kajian lainnya.

Blue print juga bisa menjadi salah satu instrument untuk menangkal pihak – pihak yang tidak setuju terhadap pelaksanaan Jatronekat termasuk dari dunia Internasional. Internasional diyakini akan berteriak karena ini akan membelah, melewati TNGL  dan HL. Apalagi Leuser sudah menjadi warisan dunia yang juga harus dijaga oleh dunia internasional. Selain menangkal, blue print bisa menjadi salah satu alat negoisasi dengan berbagai pihak untuk turut serta mendukung Jatronekat. Dan blue print menjadi salah satu referensi dalam AMDAL dan berbagai kajian nantinya baik oleh pemrakarsa maupun oleh pelaksana proyek.

Selain urusan lingkungan dan hutan, masalah geologi juga sangatlah penting. Aceh dan sekitarnya adalah daerah rawan gempa. Disekitarnya juga ada Gunung Berapi Sinabung dan Gunung Sibayak di Tanah Karo. Selain itu juga rawan banjir dan longsor. Diharapkan para insinyur dan ahli – ahli yang akan terlibat dalam tim AMDAL dan berbagai kajian menggunakan keahliannya berdasarkan fakta dan hati nurani, bukan berdasarkan pesanan agar apapun hasil kajian muaranya harus jadi. Jadi, pemrakarsa nantinya harus menerima apapun hasil kajian, bila oke untuk lanjut adalah Alhamdulillah, tetapi bila berdasarkan hasil kajian tidak layak dibangun Jatronekat maka jangan dipaksakan.

 

  1. Daerah maju mendominasi daerah disekitarnya

Dalam ilmu pengembangan wilayah, daerah yang maju akan menyedot daerah yang berkembang atau kurang maju. Bila Jatronekat ini jadi, maka akan lancarlah jalan ke Langkat yang selanjutnya ke Medan maupun arah ke Kuala Simpang dan Pantai Timur Utara Aceh sampai ke Banda Aceh.

Kita akan berpikir bahwa sudah mudah dan dekat jalan ke Medan, tetapi apakah kita juga pernah berpikir bahwa Medan juga akan dekat dengan Aceh Tenggara dan Gayo Lues ? Apakah ada terpikir oleh kita (khususnya pemrakarsa) bahwa sumber – sumber ekonomi akan tersedot oleh para pengusaha dan pelaku ekonomi dari Langkat, Medan, dan sekitarnya. Bisa – bisa dari luar juga akan melakukan perambahan terhadap HK dan HL di Aceh Tenggara dan Gayo Lues.

Barang – barang dari Medan dan sekitarnya akan lebih mudah masuk dan itu bisa mematikan potensi yang ada di Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Apakah barang – barang di kedua kabupaten tersebut mampu bersaing dengan barang dari luar ? ini harus dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Belum lagi untuk tenaga kerja. Saat ini saja untuk tenaga kerja buruh kasar (bangunan) banyak orang datang dari luar dan secara linier banyak masyarakat tidak mendapatkan pekerjaan termasuk untuk pekerjaan kasar. Untuk pekerjaan kasar saja Aceh Tenggara dan Gayo Lues masih kalah dengan daerah lain.

Apakah potensi pertanian kita mampu bersaing dengan luar ? atau jangan – jangan tidak laku lagi barang pertanian kita. Pertanyaan ini dimunculkan bukan untuk pesimis tetapi justru untuk menguatkan bahwa kedua kabupaten ini tetap mampu bersaing dan bahkan semakin kuat dan termotivasi dengan adanya Jatronekat tersebut.

Artinya dari segala sektor Aceh Tenggara dan Gayo Lues harus sudah siap untuk bersaing dengan dunia luar. Juga harus sudah siap menerima budaya – budaya dari luar bahkan manca Negara tetapi dengan tidak terhanyut dengan budaya luar tersebut. Aceh Tenggara dan Gayo Lues adalah bagian dari Syariat Islam, untuk itu dari sisi ini juga harus diantisipasi kemungkinan pasca Jatronekat.

Dengan kita bersiap diri untuk itu, maka kita yakin akan mampu bersaing. Sudah seharusnya juga kerajinan dan industri rumah tangga sampai menengah dibangun di Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Minimalkan produk bahan mentah yang dijual tetapi paling tidak sudah bisa menjadi barang setengah jadi. Tentu ini akan menambah nilai tambah bagi masyarakat dan juga pemerintah kabupaten. Jangan pabrik kakao hanya menjadi gudang penyimpan biji kakao dan karet yang keluar juga masih mentah, itu sebagai salah satu contoh. Trade mark Aceh Tenggara ikan mas dan kakao harus memiliki nilai tambah untuk masyarakat dan pemkab. Termasuk juga jagung yang mampu memproduksi sampa 70 % produksi untuk Aceh berasal dari Aceh Tenggara. Jangan hanya pipilannya yang dijual, tetapi upayakan sudah mampu dalam bentuk tepung atau produk diversifikasi lainnya. Begitu juga dengan Gayo Lues dengan nilam dan serai wanginya.

 

  1. Konsep peningkatan ekonomi khususnya industri pertanian yang lemah

Bila alasan untuk Jatronekat lebih mengedepankan faktor jalan, maka bila Pemerintah Pusat tidak setuju, bisa saja mereka akan memperbaiki dan memperlebar jalan Kutacane – Medan lebih baik dari sekarang. Kemungkinan ini bisa saja muncul karena dengan alasan anggaran yang terlalu besar sampai 4 T. Pemerintah bisa saja menggelontorkan dana sebesar 500 M – 2 T untuk memperbaiki jalan tersebut.

Bila itu yang terjadi, maka jarak tempuh 6 – 8 jam bisa diperpendek menjadi 3 – 5 jam karena kondisi jalan yang sudah mulus. Lalu apa alasan Aceh Tenggara untuk meminta Jatronekat bila jalan tersebut sudah mulus ? Karena prediksi bila Jatronekat jadi akan memakan waktu tempuh sampai ke Medan sekitar 2 – 4 jam. Artinya tidak terlalu jauh dengan 3 – 5 jam. Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Argumentasinya adalah terlihat Pemerintah Aceh lebih respon terhadap Jalan Terowongan Geurutee dari Aceh Besar menuju Aceh Jaya. Dan Pemerintah Pusat pun telah merespon agar disegerakan dibuat kajian dan DED nya. Tentu ini masih menjadi tantangan berat bagi Aceh Tenggara.

Untuk itu, selain alasan jalan, maka faktor pertanian dan ekonomi masyarakat juga perlu menjadi dasar tambahan. Pemkab Aceh Tenggara perlu membuat road map (peta jalan) terhadap pertanian dan industri pertanian. Produk pertanian yang melimpah, apabila segera dipasarkan akan lebih memiliki nilai jual yang tinggi. Hal ini karena barang tidak lama dijalanan.

Aceh Tenggara perlu meyakinkan Aceh dan Jakarta bahwa produk – produk pertanian yang dihasilkan tidak hanya barang mentah tetapi juga bisa menghasilkan barang setengah jadi. Bila Jatronekat ini jadi maka arah untuk menuju Pelabuhan Belawan Sumut akan semakin dekat karena akan menggunakan jalan tol dari arah Kota Binjai. Selain itu untuk menghidupkan dan mendorong pelabuhan di Kuala Langsa, produk pertanian juga dapat dijual ke Langsa dan lebih dekat. Artinya konsep pembangunan regional akan lebih terasa.

Sebagian pesisir Aceh di Pantai Timur Utara bisa juga berinvestasi dan berusaha serta berdagang dengan Aceh Tenggara dan Gayo Lues terutama dalam perikanan dan komoditi yang tidak dimiliki Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Dua kabupaten ini juga bisa mendapatkan ikan laut yang segar tanpa harus takut dengan formalin.

Selain itu, bila Jalan Muara Situlen – Gelombang sudah selesai, maka hasil sawit berupa CPO dan minyak goring (akan dibangun pabrik di Subulussalam atau Aceh Barat Daya) akan mudah dipasarkan ke dataran tinggi di Aceh juga ke lintas Timur Utara Aceh termasuk juga ke Medan dan sekitarnya. Jatronekat ini merupakan salah satu alternatif untuk Selian jalur Kutacane – Medan, Muara Situlen – Gelombang, dan Kutacane – Blangkejeren, yang kesemuanya it sangat jarang sekali jalannya mulus sepanjang tahun.

Jadi untuk itu road map pertanian dan industri pertanian akan mampu meyakinkan para pihak bahwa Jatronekat itu sangatlah perlu dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sekali lagi untuk menjalankan ide besar maka kita juga harus berpikir dan bertindak besar. Road map ini juga harus transparan dan bercerita apa adanya, jangan angka –angka dan fakta direkayasa. Contohnya adalah rencana eksport kakao ke Singapura dan Malaysia dengan menggunakan Bandar Udara Alas Leuser Antara sampai sekarang belum terwujud. Padahal salah satu alasan untuk memperpanjang run way bandara adalah untuk pendaratan pesawat berbadan besar agar mampu melakukan eksport. Tetapi kenyataannya gimana ?, Wallahualam,  Bogor, 13 Maret 2018, tulisan ini di olah kembali dari tulisan pada Pebruari 2015 di Subulussalam Aceh

Shares: