POPULARITAS.COM – Kekerasan seksual suatu bentuk kejahatan luar biasa yang berdampak sangat buruk bagi korbannya, karena dapat merusak, serta meninggalkan luka mendalam yang sulit untuk dilupakan.
Kekerasan seksual meliputi berbagai tindakan, mulai dari pelecehan verbal hingga fisik, yang mencakup segala bentuk tindakan intimidasi, menekan atau memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual yang tak diinginkan.
Kekerasan seksual cermin dari ketidaksetaraan kekuatan dan kontrol yang seringkali menjadi dasar dari hubungan yang tak sehat. Fenomena ini memiliki dampak yang melampaui korban secara individu, menyebabkan kecemasan dan kerentanan yang meluas dalam masyarakat.
Kekerasan seksual menjadi persoalan serius yang memang harus ditangani secara tuntas. Semua pihak harus terlibat dalam penanganan masalah ini, tak terkecuali, demi kebaikan dari pada korban sendiri.
Oleh karenanya, semua pihak harus turun tangan untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Bahkan jika telah terjadi pun, korban yang mengalami kekerasan seksual ini wajib dilindungi serta dijaga oleh siapapun, khususnya keluarga.
Sekolah atau lembaga pendidikan yang setara, memiliki peran penting guna mencegah terjadinya aksi kekerasan seksual bagi anak, khususnya para siswa, serta ikut menjaga dan melindungi para korbannya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana melalui Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Tiara Sutari menyebut, saat ini di setiap satuan pendidikan telah dibentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.
Di Aceh sendiri, diketahui salah satu sekolah yakni SMA 1 Matangkuli telah memiliki aplikasi untuk pelaporan kekerasan dan perundungan yang dialami oleh siswa-siswi yang bernama LARASDUNG (Lapor Kekerasan dan Perundungan).
“DP3A sendiri juga bergabung dalam Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Aceh. Maka dapat dipastikan dalam proses pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak itu bekerja secara koordinasi, kolaborasi, dan kerjasama,” ujarnya kepada popularitas.com.
Tiara juga menjelaskan bahwa pada tanggal 21 Oktober 2024 dan 24 Oktober 2024 lalu, DP3A Aceh juga telah melaksanakan kegiatan sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan.
Salah satu tujuan digelarnya kegiatan tersebut adalah untuk mensosialisasikan kebijakan Pemerintah Aceh dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di satuan pendidikan. “Juga untuk meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat untuk pencegahan kekerasan terhadap anak dan penanganan, jika terjadinya kekerasan terhadap anak di lingkungannya, terutama lingkungan sekolah,” ungkapnya.
Adanya kegiatan tersebut, lanjut dia, diharapkan akan memperkuat koordinasi dan kolaborasi lembaga satuan pendidikan kewenangan provinsi dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
“Selain itu juga diharapkan tersedianya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah,” kata Tiara.
Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan SMA dan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PKLK) Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, Jhon Abdi juga menjelaskan, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pihak sekolah untuk melindungi serta menjaga korban kekerasan seksual.
Pertama, yaitu dengan membangun lingkungan yang aman dan suportif, salah satunya dengan memberikan pendidikan seksual sebagai bagian dari pencegahan terjadinya kekerasan seksual.
Menurut Jhon, memberikan pendidikan seks yang komprehensif kepada siswa sejak dini, termasuk tentang hak-hak tubuh, consent, dan jenis-jenis kekerasan seksual sangatlah penting.
“Kemudian melakukan sosialisasi secara berkala tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan melibatkan seluruh warga sekolah, baik itu siswa, guru, serta staf,” katanya.
Pihak sekolah juga perlu menyusun kebijakan di sekolah yang tegas terkait kekerasan seksual, termasuk prosedur pelaporan, penanganan, dan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
“Kemudian saluran pelaporan yang mudah dengan menyediakan berbagai saluran pelaporan yang mudah diakses siswa, seperti kotak pengaduan, hotline, atau guru yang ditunjuk sebagai tempat curhat,” ucapnya.
“Begitu juga dengan menyediakan layanan konseling bagi siswa yang menjadi korban atau saksi kekerasan seksual, baik yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun rujukan ke lembaga lain,” sambung Jhon.
Dalam hal penanganan kasus yang cepat dan tepat, pihak sekolah juga harus tanggap darurat dengan memberikan bantuan darurat kepada korban, seperti pendampingan, perawatan medis, dan dukungan psikologis.
Termasuk menjaga kerahasiaan identitas korban dan saksi, kecuali jika ada izin dari korban atau jika diperlukan untuk proses hukum, sekaligus melakukan investigasi yang menyeluruh dan objektif terhadap laporan kekerasan seksual, dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti guru, siswa, dan jika perlu pihak kepolisian.
“Memberikan sanksi yang tegas dan proporsional kepada pelaku kekerasan seksual, sesuai dengan kebijakan sekolah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga sangat perlu dilakukan,” ungkapnya.
“Selain itu, lakukan koordinasi dengan pihak luar (sekolah), dengan cara bekerja sama dengan pihak kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan layanan kesehatan untuk penanganan kasus yang lebih komprehensif,” ucapnya.
Pada tahap pemulihan korban, dukungan psikologis sangat diperlukan dengan memberikan dukungan psikologis jangka panjang kepada korban untuk membantu mereka mengatasi trauma dan kembali beraktivitas normal.
“Termasuk pendampingan akademik, yang mana memberikan pendampingan akademik kepada korban untuk memastikan mereka tetap dapat mengikuti proses belajar mengajar,” jelasnya.
“Selanjutnya adalah berkolaborasi dengan keluarga, yang mana bekerjasama dengan keluarga korban untuk memberikan dukungan dan perawatan yang komprehensif,” kata Jhon.
Untuk mencegah terjadinya aksi yang sama berulang, pihak sekolah juga perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap program pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta melakukan perbaikan jika diperlukan.
Memberikan pelatihan bagi tenaga pendidik secara berkala kepada guru dan staf sekolah tentang cara mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, cara merespons laporan, dan cara menciptakan lingkungan yang aman juga sangat penting untuk dilakukan.
Selain itu, kata dia, membangun kerjasama dengan komunitas sekitar untuk menciptakan lingkungan yang mendukung upaya pencegahan kekerasan seksual juga perlu dilakukan oleh pihak sekolah.
“Yang tidak kalah penting adalah tindakan cepat, di mana semakin cepat kasus kekerasan seksual ditangani, semakin baik pula dampaknya bagi korban,” ucap Jhon.
Jhon juga menambahkan bahwa kerjasama antara pihak sekolah, keluarga, serta lembaga terkait sangat penting untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi korban kekerasan seksual.
“Upaya pencegahan harus menjadi prioritas utama, sehingga kasus kekerasan seksual dapat diminimalisir. Dengan menerapkan semua langkah-langkah di atas, sekolah dapat menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua siswa,” pungkasnya.