NewsSyariat Islam

Pergub hukum acara jinayah sesuai dalil Alquran dan Qanun

Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Dr. Munawar menegaskan, Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat tidaklah bertentangan dengan qanun. Pergub tersebut justru untuk memperkuat aturan yang sebelumnya telah ada yaitu Qanun No. 7 Tahun 2013.
Pergub hukum acara jinayah sesuai dalil Alquran dan Qanun

POPULARITAS.COM – Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Dr. Munawar menegaskan, Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat tidaklah bertentangan dengan qanun. Pergub tersebut justru untuk memperkuat aturan yang sebelumnya telah ada yaitu Qanun No. 7 Tahun 2013.

Jika di qanun disebutkan bahwa uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir, sama halnya dengan Pergub. Hanya saja lokasi pelaksanaannya dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Menurutnya di dalam qanun ada beberapa hal yang seharusnya tidak diperbolehkan, tetapi justru terjadi. Misal pada Pasal 262 ayat 2 yang dalam isinya disebutkan bahwa uqubat cambuk tidak boleh dihadiri oleh anak-anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun. Menurut Munawar aturan tersebut selama ini sering dilanggar.

Selain itu, dalam pasal yang sama di ayat 4, menyebutkan bahwa jarak antara tempat berdiri terhukum dengan masyarakat penyaksi paling dekat 12 meter.

“Jadi Pergub tidak untuk menghilangkan substansi dari Qanun, tapi justru memperkuat aturan seperti yang tertera dalam Qanun,” kata Dr. Munawar.

Selebihnya, isi dari Pergub No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat, sama dengan Qanun No. 7 Tahun 2013. Hanya tempat terbuka yang lebih mudah dikendalikan, yaitu hukuman cambuk akan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.

Berikut isi Qanun No. 7 Tahun 2013 dan Pergub No. 5 Tahun 2018;

1. Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat

Pasal 262
(1) ‘Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir.
(2) Pelaksanaan ‘Uqubat cambuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak-anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
(3) Pelaksanaan `uqubat cambuk dilaksanakan di atas alas (bidang) berukuran minimal 3 x 3 meter.
(4) Jarak antara tempat berdiri terhukum dengan masyarakat penyaksi paling dekat 12 (dua belas) meter.
(5) Jaksa, hakim pengawas, dokter yang ditunjuk dan petugas pencambuk berdiri di atas atau di sekitar alas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selama pencambukan berlangsung.

2. Pergub No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat

Pasal 30
(1) ‘Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir.
(2) Pelaksanaan ‘uqubat cambuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak-anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Tempat terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertempat di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.
(4) Pelaksanaan ‘uqubat cambuk di Lembaga Pemasyarakatan atau Rutan/Cabang Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah adanya naskah kerjasama antara Pemerintah Aceh dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pelaksanaan ‘uqubat cambuk dalam Lapas/Rutan/Cabang Rutan diatur dalam naskah kerjasama.
(6) Sebelum adanya naskah kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka ‘uqubat cambuk dilaksanakan pada tempat terbuka lainnya.

Sementara itu, Ustad Farhan Abu Furaihan, dalam paparannya kepada media ini, menjelaskan, bahwa, dalil huddud atau pelaksanaan hukuman cambuk, dapat kita lihat didalam Alquran, surat An nur ayat ke 2, yang berbunyi.

‎الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Ustad Farhan, yang merupakan alumni Darul Hadis Yaman, seorang Hafiz Alquran 30 juzz, dan banyak menguasai berbagai hadis, melanjutkan, jika kita menterjemahkan surat tersebut, dengan berpedoman pada Kitab Ibnu Katsir, pada kata ‘Tha’ifah dalam surat An nur ayat 2 tersebut, terdapat sejumlah pendapat para ulama dan tabiin, yakni, pada kata Tha’ifah, atau kalangan dari orang mukminin yang mempersaksikan hukuman cambuk tersebut. Pendapat fiqh dari dari kitab Ibnu Katsir, diantaranya adalah;

1. Hasan Al Basri, syaratnya Alaniya, atau terang terangan dan dilakukan di lapangan terbuka.

2. Hasan Al Basri,Tha’ifah dalam surat Annur, bermakna dan syaratnya boleh disaksikan dua ornag atau lebih.

3. Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa kalimat thoifah itu mencakup satu orang atau lebih(minimal satu orang)

4. ‘Ikrima, Tha’ifah bermakna, mencakup dipersaksikan 1 ornag atau lebih.

5. Atta’ Ibn Abi Rabbah, berpendapat 1 orang atau lebih.

6. Ishak bin Rohawe, berpendapat, dipersaksikan dua orang atau lebih.

7. Zuhri, guru Imam Malik berpendapat, dapat dipersaksikan tiga orang atau lebih,

8. Said bin Zubir berpendapat, dapat dipersaksikan dua orang atau lebih,

9. Dan Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat, Tha’ifah bermakna, dipersyaratkan dapat dipersaksikan 4 orang atau lebih.

Jadi, terang Ustad Farhan, Pergub 5 tahun 2018, yang memgatur lebih lanjut tentang pelaksanaan hukuman cambuk dilaksankan di Lapas, secara kaidah Dalil Alquran dan Assunah tidak bertentangan, selama didalam Lapas itu, orang yang menyaksikan ada, dan jumlahnya sesuai dengan pendapat yang tersebut diatas, dan siapapun yang ingin datang melihat dan mempersaksikan, diperbolehkan.

Sedangakan mengenai tempat pelaksanaan hukuman cambuk itu sendiri, sambung Farhan, Alquran tidak mempersyaratkan dilaksanakan dimana, sebab yang diatur hanya masalah Tha’ifah, jumlah kalangan mukminin yang ikut mempersaksikan, sebut Farhan.

Namun dari sisi fiqh, ada pendapat ulama yang menyebutkan bahwa, ditempat lapangan terbuka lebih baik, terang Farhan, diantaranya Syaikh Utsaimin, menerangkan bahwa dapat dilaksanakan ditempat terbuka, dan semua orang bisa melihat dengan bebas, baik sengaja atau secara tidak sengaja.

Kenapa lebih baik, sebab Diantara hikmah, Penerapan hukum Jinayah adalah membuat jera, sebab dapat dilihat semua kaum muslimin, namun Kalau dikatakan, bahwa, penerapan didalam Lapas itu tidak benar dan bertentangan dengan dalil Alquran dan hadis, dan kemudian kita mencela dan menyalahkan pemimpin terkait penerapannya itu didalam Lapas, itu juga sebuah sikap yang keliru, sebab, tegas Farhan, ada kaidah dalam fiqh Islam yang mengatur tatacaranya, dan sebagaimana saya terangkan diatas, tentang pendapat para ulama, bahwa, Pergub yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh itu, sesuai dengan kaidah dan dalil, tukasnya.

Sementara itu, Sekjen DPP Gerakan titipan rakyat (GETAR) Aceh, Teuku Izin, mendukung langkah pemerintah, yang menerbitkan aturan mengenai tata cara pelaksanaan hukuman cambuk, yang akan di langsungkan secara terbuka dan dilaksanakan di lembaga permasyarakatan (Lapas), yang ada di seluruh wilayah Aceh.

Menurut Teuku Izin, atau karib disapa Apung ini, pelaksana hukuman cambuk di Lapas, yang secara teknis diatur dalam peraturan gubernur (Pergub) nomor 15 tahun 2018, merupakan langkah yang patut didukung semua pihak, sebab, terangnya, hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan aturan diatasnya, seperti Qanun Jinayah, sebut Apung.

Dan tentu saja, kaidah hukum yang digunakan dalam Pergub tersebut, tentu telah mengambil landasan Alquran dan sunnah sebagai rujukan, dan Gubernur Aceh, tidak secara sembarangan mengambil langkah tanpa melibatkan ulama yang paham ilmu tafsir dan fiqh.

Atas dasar pertimbangan itulah, tegas Apung, pihaknya sebagai salah satu elemen rakyat Aceh, sangat mendukung langkah dan kebijakan gubernur Aceh tersebut, dan meminta semua pihak, untuk secara jernih melihat ini sebagai itikad positif yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh.

Apung jika mengharapkan kepada pihak lain, yang merasa kurang puas atas langkah yang diambil oleh gubernur, untuk dapat membuka ruang dialog, bukan kemudian saling menyerang secara fisik, ataupun melakukan tindakan lainnya, yang justru semakin memperkeruh suasana yang ada. “Aspirasi semua pihak sebaiknya dapat disalurkan dengan membuka ruang dialog,” tukasnya. (***)

Shares: