POPULARITAS.COM – Di Aceh, khususnya di kota Banda Aceh, terdapat kawasan pemukiman yang dihuni para etnis Tionghoa (pecinan) bernama Peunayong, salah satu kawasan yang kini menjadi gampong (desa) yang berada dalam Kecamatan Kuta Alam.
Hampir keseluruhan bahkan hingga setiap sudut kawasan ini ditempati oleh para etnis Tionghoa. Banyak bangunan tua kental akan sejarahnya yang masih bertahan di kawasan tersebut sampai sekarang.
Masuknya etnis Tionghoa ke Banda Aceh terjadi sejak abad ke- 16, yang mana kala itu antara Aceh dan Tiongkok memiliki hubungan yang sangat baik, khususnya hubungan dagang. Mereka ke Aceh sebagai pedagang musiman, lalu menetap dan menjadi pedagang permanen.
Hubungan Cina dan Aceh diketahui telah terjalin harmonis abad ke-13 saat Kerajaan Samudra Pasai menerima kedatangan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1415 silam dengan menyerahkan cendera mata berupa Lonceng Cakradonya.
Dari penelusuran popularitas.com di Wikipedia, awalnya para etnis Cina yang datang ke Tanah Rencong dan menetap di kawasan pelabuhan yang letaknya juga tak jauh dari Peunayong. Lama-kelamaan, akhirnya mereka menetap di Peunayong.
Sejak dahulu, khususnya pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam sampai saat ini, salah satu kawasan tertua di Kutaraja ini menjadi salah satu pusat perdagangan di kota Banda Aceh, yang disebut-sebut sebagai Chinatown-nya Aceh.
Menurut catatan sejarah Aceh, nama Peunayong berasal dari bahasa Aceh yang memiliki arti ‘memayungi’. Dulunya, daerah ini dihuni beragam etnis, mulai dari Tionghoa, Persia hingga India. Namun lebih banyak etnis Tionghoa yang berada di daerah itu.
Dulunya Belanda juga mendesain kawasan ini sebagai Chinezen Kamp (pecinan) atau kawasan pemukiman Tionghoa. Perdagangan di kawasan ini juga cukup menonjol, karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina.
Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Peunayong juga menjadi kawasan sentral militer sekaligus pusat perdagangan, yang tentu kota tua ini menonjol sebagai pusat perdagangan terbesar di Bumi Serambi Mekkah.
Peunayong merupakan warisan budaya yang menyimpan bangunan-bangunan tua bersejarah, seperti pasar tradisional, toko obat-obatan, rumah makan hingga warung kopi, sehingga terkenal sebagai pusat perdagangan antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Tiongkok.
Hasnanda Putra, seorang pecinta sejarah mengungkapkan, di masa Sultan Iskandar Muda, Peunayong menjadi tempat menjamu para tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok. Mereka beristirahat di sini hingga berhari-hari sebelum menghadap sultan.
“Wilayah Peunayong dulu sampai ke Lampulo yang pernah dikenal sebagai Ujong Peunyong. Beberapa literatur sejarah menyebutkan tentang kawasan di ujung dekat laut yang didominasi etnis Cina dan dikenal sebagai pasar Kampung Cina,” ungkapnya.
“Mereka menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung kota di dekat laut dan disebut sebagai Kampung Cina,” kata pria yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Sabang tersebut.
“Pada zaman sultan, para pedagang termasuk dari Cina tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh. Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh, tempat tinggal mereka disebut perkampungan Cina, yang terletak di ujung kota dekat pelabuhan,” ungkapnya.
Selain itu, di kawasan tertua Peunayong ini pula terdapat rumah ibadah seperti gereja dan vihara di berbagai lokasi berbeda, sebagai tempat ibadah bagi mereka yang beragama Budha, Kristen Protestan, Katolik.
“Semuanya berlangsung dengan baik dan penuh kedamaian, warga Peunayong bisa dengan bebas melaksanakan ibadah tanpa hambatan apapun, semuanya berlangsung dengan baik damai dan nyaman,” katanya.
Pada tahun 2019 lalu, Peunayong juga ditetapkan sebagai ‘Gampong Sadar Kerukunan‘ oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh. Hal tersebut sebagai bukti sekaligus pengakuan negara bahwa kerukunan umat beragama yang kuat di wilayah kota tua ini.
Menurut Putra, Peunayong adalah wajah khas sebuah negeri paling toleran, di mana erbagai tempat ibadah berdiri megah di Peunayong, mulai dari masjid, gereja sampai vihara. Hanya di sini vihara bisa lebih banyak dari masjid.
“Ada empat vihara di sini yaitu vihara Dharma Bhakti, Buddha Sakyamuni, Maitri dan Dewi Samudera. Sementara gereja tiga yaitu Gereja Katholik peninggalan Belanda di kawasan Pante Pirak, Gereja Protestan Indonesia bagian barat dan Gereja Methodist di Pocut Baren perbatasan Peunayong Gampong Mulia,” bebernya.
“Dua masjid juga berdiri megah di Peunayong, yaitu Masjid Al Mutaqqien dengan latar Krueng Aceh dan taman kota di sampingnya, dan sebuah masjid indah lainnya Masjid Babuzamzam di sebelah utara,” ungkapnya.
Berbicara tentang kerukunan umat beragama seperti yang dimaksud di atas, hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie Siong atau yang akrab disapa Aky.
“Toleransi dalam keagamaan sangat luar biasa, tidak ada gesekan sama sekali,” katanya, seraya menambahkan bahwa warga Tionghoa paling banyak tinggal di Peunayong, yang membuat masyarakat Banda Aceh melabeli Peunayong sebagai Kampung Cina.
Contohnya saat bulan Ramadan, warga Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka, pun begitu sebaliknya untuk hal yang lain. Kehidupan etnis Tionghoa dan suku asli Aceh terbilang harmonis. “Tidak pernah ribut antara agama Islam dan agama Hindu, Buddha, dan Kristen,” tegas Aky.
Meski Tanah Rencong berstatus sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non muslim juga terjamin. Warga Aceh memang mayoritas muslim, namun ada juga yang berkeyakinan Nasrani, Buddha, dan Hindu.
“Toleransi umat beragama di Aceh menjadi tolok ukur bagi warga di luar tanah Rencong. Orang di luar Aceh terus memantau kerukunan antar umat beragama di sini, itu membuat persepsi mereka akan sampaikan ke orang lain ternyata Aceh itu luar biasa,” ungkap Aky.
Selain itu, Peunayong juga menjadi tempat yang dikenal sebagai tempat wisata kulinernya. Di kawasan ini terdapat sebuah tempat yang biasa disebut Rex, pusat kuliner yang setiap malam ramai dikunjungi oleh warga.
Beragam menu makanan dapat kita jumpai di situ, seperti sate matang, nasi goreng, mie Aceh, kerang rebus dan lainnya, termasuk masakan tradisional ala Tiongkok. Puas menyantap, anda dapat berburu souvenir Aceh yang letaknya juga berdekatan.