POPULARITAS.COM – Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kebebasan yang didambakan belum sepenuhnya diraih. Bangsa ini masih menghadapi upaya Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya. Namun, satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah semangat rakyat Indonesia yang tidak rela melihat negara yang telah merdeka kembali dijajah.
Di berbagai wilayah, termasuk Aceh, kemerdekaan itu dirasakan dengan cara unik. Aceh, yang dikenal dengan ketangguhannya melawan penjajahan, menunjukkan keberanian luar biasa selama masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Meskipun Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah, Aceh tetap tidak dapat ditaklukkan—kecuali Sabang, Pulau Weh.
Kabar proklamasi kemerdekaan yang disampaikan di Jakarta menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru negeri. Melalui telegram dan utusan, berita itu mencapai Banda Aceh (Kutaraja) pada 18 Agustus 1945. Syamaun Gaharu, yang saat itu menjabat sebagai Chu-i (Letnan Satu) Gyugun, menerima kabar tersebut dari seorang tentara Jepang. Sementara itu, Husin Jusuf di Bireuen mendengar kemerdekaan melalui siaran radio Jepang pada 19 Agustus.
Pada 20 Agustus 1945, berita ini mulai tersebar luas di Aceh. Para pemuda di Kantor Hodoka (Penerangan) curiga terhadap pergerakan Jepang dan menyadap informasi dari siaran Radio Jakarta yang ditujukan kepada Teuku Nyak Arif, Ketua Aceh Syu Sangi-Kay. Ali Hasjmy, yang mengelola surat kabar Atjeh Sinbun, sudah mengetahui bahwa Jepang kalah pada 14 Agustus 1945. Namun, perintah untuk tidak menerbitkan koran lebih lanjut karena kekalahan Jepang menunjukkan bahwa perubahan besar tengah terjadi.
Masyarakat Aceh merespons kabar kekalahan Jepang dengan euforia. Selebaran yang mengabarkan kemerdekaan Indonesia ditempel di berbagai sudut kota. Meski demikian, keadaan tetap berbahaya karena pos tentara Jepang masih aktif di beberapa tempat di Kutaraja.
Puncak dari perlawanan simbolis terjadi pada 24 Agustus 1945, ketika para pemuda Aceh mengibarkan bendera Merah Putih di halaman Kantor Atjeh Syu Keimubu (kini Gedung Juang). Pengibaran bendera tersebut dipimpin oleh Muhammad Hasyim, Wakil Kepala Polisi yang diangkat Jepang. Saat bendera Merah Putih berkibar, tentara Jepang yang sedang berpatroli mendatangi lokasi dan menurunkannya, menggantinya dengan Hinomaru, bendera Jepang.
Namun, para pemuda Aceh tidak menyerah. Setiap kali bendera diturunkan oleh Jepang, mereka kembali menaikkannya. Pertikaian terus berulang hingga akhirnya seorang pemuda bernama Amin Bugis mengambil langkah berani. Ia memanjat tiang bendera dan mengikat Merah Putih di pucuk tiang, sementara tali pengerek bendera ia potong. Tentara Jepang pun terdiam tak berdaya dan meninggalkan lokasi dengan kepala tertunduk.
Bendera Merah Putih yang berkibar di Aceh pada 24 Agustus 1945 menjadi simbol kemenangan, bukan hanya atas Jepang, tetapi juga atas keinginan rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih. Kini, prasasti yang didirikan di lokasi pengibaran tersebut mengingatkan kita akan keberanian dan semangat juang rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Husaini Ibrahim, seorang sejarawan Aceh mengatakan, Aceh merupakan daerah yang tak pernah sepenuhnya bisa ditaklukkan oleh penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Ketika perang revolusi berkobar di seluruh negeri, Aceh tetap menjadi benteng pertahanan yang kuat. Peristiwa pengibaran Merah Putih ini menjadi salah satu contoh bagaimana semangat rakyat Aceh selalu menyala dalam mempertahankan kedaulatan negara.
“Pengibaran Merah Putih di Aceh pada 24 Agustus 1945 merupakan bukti nyata keberanian rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan. Ini bukan hanya simbol perlawanan terhadap Jepang, tetapi juga bentuk keteguhan bahwa Aceh tidak akan tunduk pada kekuatan asing,” ujar Husaini. (*)