Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh

Bukit Kerang, jejak purbakala di Aceh Tamiang, kini jadi wisata sejarah

POPULARITAS.COM – Di Aceh Tamiang, terdapat satu situs yang diduga berusia ribuan tahun. Bukit Kerang, begitu warga menyebut nama tempat itu. Lokasinya di tengah areal perkebunan sawit di Gampong Masjid, Kecamatan Bendahara.

Bukit Kerang berdiri diatas lahan seluas 36 x 31 meter persegi. Ketinggian situs ini berbentuk gundukan setinggi 4,5 meter dengan luas kurang lebih 25 x 20 meter. Tempat ini telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Sebagai sejarah peninggalan purbakala, tempat ini kerap dikunjungi para peneliti, mahasiswa dan juga arkeolog untuk melakukan riset dan penelitian.

Jarak dari pusat pemerintahan ke lokasi kurang lebih berjarak 23 kilometer, atau sekitar 50 menit perjalanan untuk tiba di Kecamatan Bendahara. Tapi tidak mudah untuk tiba di tempat itu. Selain lokasinya berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Kondisi jalan menuju lokasi itu pun cukup memprihatinkan. Hanya berupa tanah keras bercampur batu kerikil. 

Belum lagi kondisi dari jalan raya menuju ke tumpukan kerang tersebut yang harus menyeberangi parit selebar kurang lebih tiga meter, dan hanya menggunakan balok kayu selebar kaki orang dewasa sebagai jembatannya. 

Situs cagar budaya itu terlihat tidak terawat. Sebagian pagar pembatas Bukit Kerang sudah jebol, sementara bagian yang masih utuh terlihat lusuh. Kesan tidak terawat semakin kuat saat melihat rumput-rumput liar yang tumbuh di situ. Bahkan di samping gundukan tumbuhan sejenis sirih, yang menutupi sebagian tumpukan kulit kerang. 

Arkeolog Aceh sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim menjelaskan bahwa, tumpukan kulit kerang (moluska) yang berada di Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh tersebut sebenarnya merupakan sampah dapur dari manusia purba, dalam bahasa Belanda sampah dapur itu disebut kjjokenmordinger. 

Adanya sampah moluska itu, kata Husaini, menjadi petunjuk bahwa ada peradaban manusia purba di wilayah Aceh pada masa itu. Menurutnya, berdasarkan penelitian, sekitar enam ribu hingga 10 ribu tahun lalu manusia prasejarah datang ke Aceh Tamiang. Mereka mendiami wilayah pantai timur Sumatera. “Dan moluska sendiri adalah bahan makanan termudah yang bisa ditemukan di sana. Dan pada masa itu manusianya masih hidup berpindah pindah (nomaden),” kata Husaini. 

Bukit kerang semacam itu, kata Husaini bukan hanya terdapat di Desa Mesjid Kecamatan Bendahara saja, tetapi juga ditemukan di Desa Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, yang dinamakan Bukit Remis. “Terdapat perbedaan sampah moluska yang terdapat di Kecamatan Bendahara dan Desa Pangkalan. Kulit moluska yang terdapat di Bendahara lebih tebal dibandingkan dengan yang ada di Pangkalan. Hal ini dapat disebabkan pengaruh iklim, dan perbedaan air. Jika di Pangkalan, moluska air tawar,” ujarnya. 

Sebenarnya sampah prasejarah jenis itu juga pernah ditemukan di sepanjang pesisir pantai, tetapi sampah-sampah purba itu akhirnya habis. Hanya di Aceh Tamiang saja yang tersisa. Sedangkan di daerah lain di Aceh sudah hilang akibat tergusur oleh bangunan dan sebab lainnya. “Di Langsa hingga Lhokseumawe pernah ditemukan. Bahkan di Lhokseumawe sendiri pernah ditemukan kapak Sumatera,” lanjutnya. 

Penelitian tentang kedua situs bukit kerang itu sudah dilakukan oleh arkeolog luar negeri sejak zaman penjajahan Belanda. Jumlah kerang yang ada di situs Bukit Kerang, lanjut Husaini, sudah banyak berkurang. Salah satu penyebabnya adalah masyarakat mengambilnya untuk digunakan sebagai bahan baku kapur. “Perlu upaya turun tangan pemerintah dalam mempertahankan dan menjaga cagar budaya yang sangat berharga ini. Jika tidak, lambat waktu situs ini akan hilang. 

Sebenarnya Aceh wajib bangga masih memiliki situs prasejarah ini. Sebab yang masih utuh situs seperti ini hanya ada di Perancis dan Malaysia,” kata dia. Dia berharap agar situs ini disosialisasikan atau diperkenalkan kepada anak sekolah dan guru sejarah, agar mereka menjadi lebih faham. “Karena situs itu mempunyai nilai penting, sejarah, ilmu, pariwisata, dan banyak hal hal yang bisa diambil. 

Sehingga keberadaannya tidak hilang di telan masa. Sebab cagar ini bisa rusak karena alam, bisa rusak karena tangan manusia. Jadi prinsipnya harus dilindungi sesuai dengan perintah undangan undangan nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” ujarnya. 

Terpisah, Juru Pelihara situs Bukit Kerang, Husni Hidayat menuturkan, untuk mengoptimalkan cagar budaya Bukit Kerang menjadi objek wisata sesuai standar memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Paling sedikit anggaran yang harus di gelontorkan sekitar Rp 1 Miliar,” kata Husni.

Sebab, kata dia, banyak fasilitas yang mesti dibangun lagi sebagai upaya pendukung objek wisata tersebut. Dengan begitu, secara otomatis akan menarik minat wisatawan dengan sendirinya.

Ia mengakui, sebelumnya situs cagar budaya Bukit Kerang yang berada di desanya itu kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah daerah sendiri maupun provinsi. Sehingga kondisi Bukit Kerang terlihat kusam dan kumuh, menunjukkan kesan tidak terawat.

“Namun, selama beberapa tahun belakangan ini sudah mulai terlihat kepedulian Pemkab. Sebagian pagar yang rusak sudah diperbaiki dan di cat ulang,” katanya.
Meskipun prosesnya lambat, namun sedikit demi sedikit situs Bukit Kerang tersebut sudah mulai bersih dan indah untuk di kunjungi. Sehingga, T Husni Hidayat optimis Bukit Kerang dapat terus berkembang menjadi objek wisata, dikarenakan situs tersebut merupakan sisa peninggalan manusia purbakala yang hidup ribuan tahun lalu.

“Bahkan, sebagian peneliti menyebut jika Bukit Kerang itu hanya ada 1 di Indonesia, yakni yang terdapat di Desa Masjid ini,” ujarnya.

“Tidak hanya masyarakat di Kecamatan Bendahara saja yang bangga memiliki situs ini. Negara ini pun seharusnya patut bangga dengan situs Bukit Kerang tersebut. Karena situs seperti ini di dunia hanya terdapat di 4 negara, salah satunya Aceh Tamiang, Indonesia,”pungkasnya.

Shares: