HeadlineNews

MaTA: Pembangunan Aceh Berdasarkan Kepentingan Elit

Bawaslu Aceh diminta tuntaskan pelanggaran pidana Pemilu
Koordinator Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) Alfian. (ist)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun 2018 mencapai Rp2,9 triliun, jika merujuk pengakuan Kepala Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA), Bustami Hamzah. Jumlah ini menjadi SiLPA tertinggi pada tahun 2018 dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Tingginya SiLPA 2018 provinsi Aceh tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai hal tersebut merupakan akumulasi kepentingan “pengelolaan anggaran” antara eksekutif dengan legislatif yang saling menguasai, dan terjadi saban tahun di Aceh. Status pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) melalui Pergub juga bukan penyebab utama tingginya SiLPA Aceh pada tahun 2018. Karena, kondisi pengesahan APBA melalui qanun juga dinilai belum mampu menyerap keseluruhan anggaran yang disepakati.

Baca: SILPA Aceh 2018 senilai Rp2,9 Triliun

“Sangat mendasar, perencanaan dan anggaran kita selalu bermasalah. Artinya pembangunan Aceh selama ini berdasarkan kepentingan elit, bukan kebutuhan dasar rakyat yang menjadi prioritas,” ungkap Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menjawab popularitas.com, Senin, 24 Juni 2019.

Lagipula selama ini pembangunan di Aceh belum seluruhnya dapat difungsikan. Alfian mengungkapkan kondisi tersebut bahkan dapat ditemukan hingga level kecamatan yang ada di Aceh.

Lebih lanjut Alfian menyebutkan adanya kepentingan legislatif untuk menguasai dana aspirasi, atau sekarang dikenal dengan pokok pikiran (pokir), juga telah menyebabkan hilangnya fungsi parlemen dalam menjalankan pengawasan. Baik itu dari tahapan perencanaan, penganggaran dan sampai pelaksanaan.

Baca: Aceh dan DKI SILPA tertinggi anggaran 2018

“Peran legislatif di saat pembahasan dengan eksekutif hanya memastikan bagaimana dapat menguasai dana pokir, jadi tidak ada yang fokus. Masing-masing memikirkan anggarannya sendiri, dan ini menjadi akar terjadi SiLPA tiap tahun,” ungkap Alfian. “Parahnya lagi, eksekutif sudah nyaman dengan pola yang begitu karena program elit di eksekutif juga mudah diloloskan, asal dewan sudah mendapat jatah,” kata Alfian lagi.

Dia kemudian mencontohkan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh sejak 2008 sampai sekarang yang tidak mampu menjadi daya ungkit dalam percepatan pemberantasan kemiskinan. Selain itu, hingga saat ini ekonomi rakyat Aceh juga sangat tergantung pada APBA.

“Uang Aceh saat ini dikuasai oleh para elit saja, dan semua berkepentingan dalam menguasai anggaran dan bagaimana menguntungkan mereka secara ekonomi, tapi mareka tidak peka bagaimana tanggung jawab untuk rakyat,” ujar Alfian.

Selanjutnya Alfian mencontohkan kasus penindakan Gubernur Aceh dengan Bupati Bener Meriah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memperlihatkan bagaimana elit di Aceh menguasai anggaran. Lebih lanjut dana Otsus, yang menurut Alfian, juga sangat rawan dikorupsi. Parahnya lagi, menurutnya, pemerintah Aceh sampai sekarang belum berupaya membangun sistem antikorupsi terhadap pengelolaan anggaran Aceh.

Alfian berharap sudah waktunya bagi publik di Aceh melakukan pengawasan dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang salah urus, sehingga anggaran Aceh benar-benar digunakan untuk kesehahteraan rakyat, bukan untuk dikuasai oleh elit politik, elit pemerintah dan pemodal. “SiLPA merupakan kegagalan dalam merealisasikan anggaran yang telah direncanakan sebelumnya, dan sudah sepatutnya publik meminta pertanggung jawaban mereka. Sehingga Aceh tidak dikendalikan oleh para kartel anggaran, dan itu sangat memuakkan bagi publik,” pungkas Alfian.*(BNA)

Shares: