EdukasiNews

‘Sudah Saatnya Ada Bioskop di Aceh’

Gedung Taman Budaya Banda Aceh. ©2018 Merdeka.com/Afif

POPULARITAS.COM – Gedung Taman Budaya, Banda Aceh yang terletak di Jalan Teuku Umar, Seutui, Banda Aceh ramai dipadati pengunjung. Rata-rata para remaja, bahkan ada yang menggunakan cadar masuk dalam ruang gelap di gedung tersebut.

Depan pintu masuk gedung Taman Budaya ada tiga perempuan muda duduk sambil menawarkan tiket kepada pengunjung yang hendak menonton Ayat-Ayat Cinta 2 yang sedang heboh di dunia perfilman Nusantara.

Harga tiket Rp 30.000 per lembar, 10 persen dari harga itu akan didonasikan kepada Palestina. Ratusan muda-mudi pun mengantri dengan tertib depan pintu masuk Taman Budaya, Banda Aceh. Di tiang ruang lobi gedung tertulis arah petunjuk masuk.

Bagi kaum Adam diminta untuk berbelok ke kiri, lalu naik ke lantai dua melalui tangga. Sedangkan kaum Hawa langsung lurus, ada dua pintu masuk, kiri dan kanan yang dijaga oleh panitia.

Saat menonton film tersebut, laki-laki dan perempuan duduk berpisah, tidak berbaur seperti menonton dalam bioskop. Laki-laki berada di lantai dua, sedang perempuan di lantai satu.

Tempat duduk di lantai dua jangan terbayang berbaris bertingkat seperti dalam bioskop. Penyelenggara hanya menyediakan kursi, duduknya mendatar hingga menyulitkan yang duduk di belakang.

Bagi yang di belakang mengalami kesulitan, karena akan terhalang oleh orang yang duduk di depannya. Terlebih bila yang duduk di depan berbadan besar dan tinggi, sehingga penonton di belakang harus melongok kiri dan kanan agar bisa terlihat layar lebar.

Meskipun dengan fasilitas seadanya, animo warga Kota Banda Aceh menonton film tersebut sangat antusias. Buktinya, selama tiga hari diputar film tersebut, lebih 10 ribu tiket sudah laku. Terakhir, Minggu (4/3/2018) lalu menjadi puncak dan penuh sesak ruang Taman Budaya, Banda Aceh.

Jangan salah, ini bukanlah bioskop yang dikhususkan untuk tempat menonton film. Akan tetapi, ini gedung pentas seni, tempat berkumpul seniman di Banda Aceh yang kemudian disulap menjadi tempat menonton film.

Mengapa demikian? Iya, karena Banda Aceh sejak 2004 silam sudah tidak ada lagi bisokop. Bila ada warga Banda Aceh yang hobi menonton berbagai genre film, mereka harus merogoh banyak kocek untuk berangkat ke Medan, Sumatera Utara.

Keberadaan bioskop di Aceh bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 1900 tercatat ada beberapa bioskop cukup berkembang di Aceh, khususnya di Banda Aceh. Seperti bioskop bioskop Rex, Thung Fang yang kemudian dibalik nama bioskop Merpati, keduanya berada di Peunayong, Banda Aceh dan bioskop Garuda terletak di Jalan Imam Bonjol, Banda Aceh.

Demikian juga ada sejumlah bioskop berada di kabupaten/kota lainnya di Aceh. Seperti di Bireuen ada Bioscoop, Bioscoop Langsa, Tiong Rha Bioscoop Lhokseumawe, Gemeente Bioscoop Sigli dan sejumlah bioskop lainnya di seluruh Aceh.

Namun, paska Aceh dilanda tsunami dan perdamaian dirajut antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Semua bioskop mati suri dan harus gulung tikar. Ini juga disebabkan ada beberapa pihak yang tak sepakat yang kemudian meminta pemerintah untuk menutup seluruh bioskop di Aceh.

Padahal keberadaan bioskop dianggap perlu untuk mengenal aktor-aktor asal Aceh yang terkenal. Sebut saja misalnya, P Ramlee (Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh) nyaris banyak pemuda di Aceh tak mengenal tokoh aktor ini. Padahal dia putra terbaik Aceh yang menjadi aktor di Malaysia dan sangat cukup terkenal melalui karya-karya filmnya.

Berdasarkan data dari Wikipedia, dia telah membintangi 66 judul film. Karya-karya itu telah memenangkan penghargaan film seperti Eagle Award dan sejumlah penghargaan lainnya. Namun, sayangnya film seperti itu tidak dikenal di Serambi Mekkah.

Tak hanya itu, ada sejumlah film edukatif selalu terlambat ditonton oleh warga Aceh, akibat dari tidak adanya bioskop. Contoh di depan mata seperti Ayat-Ayat Cinta 2, lalu film kritis lainnya.

Seperti film Istirahatlah Kata-Kata, film mengisahkan seorang aktivis yang selalu mengkritik kebijakan kediktatoran Soeharto sebelum reformasi, kemudian tokoh itu, Wiji Tukul hilang yang diduga diculik, jasadnya hingga sekarang tak diketahui.

Ada juga sejumlah film lainnya, seperti film Night Bus yang juga harus diputar di komunitas-komunitas pecinta film di Aceh. Bahkan film ini juga sempat diputar di Taman Budaya, Banda Aceh. Ini dikarenakan tidak memiliki bioskop di Aceh.

Ada sejumlah film lainnya yang harus diputar oleh komunitas atau di Taman Budaya akhir-akhir ini. Padahal, animo warga pecinta film edukatif semakin meningkat, demikian juga pelaku perfilman lokal semakin berkembang.

“Sudah saatnya ada bioskop di Banda Aceh, agar film-film edukatif bisa kita tonton, sangat sepakat ada bioskop di Banda Aceh,” kata seorang warga kota Banda Aceh, Dara usai menonton film Ayat-Ayat Cinta 2.

Ia berharap kepada pemerintah untuk memberikan izin kepada pihak pengembang bioskop di Banda Aceh. Bila perlu, Dara menyebutkan, bioskop tersebut dibuat oleh pemerintah kota Banda Aceh sendiri, sehingga semua penghasilan bisa masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Banda Aceh.

Sementara itu, seorang pecinta film dan marketing film AAC2, Farid Rizki mengaku sudah saatnya Kota Banda Aceh memiliki bioskop. Bioskop tidak selamanya negatif, tetapi bioskop juga bisa dipergunakan untuk kepentingan edukatif dan dakwah dengan menyediakan konten-konten yang islami dan bermanfaat untuk semua kalangan.

“Jangan selalu berpikir negatif keberadaan bioskop. Bioskop itu ibarat pisau, siapa yang menggunakannya, kalau perampok yang pegang ya jadi alat membunuh, kalau yang masak pegang kan bermanfaat bisa ada makanan yang lezat,” ungkap Farid Rizki yang akrab disapa Bang Ayid.

Selama ini pandangan banyak orang saat mendengar bioskop akan berbaur antara laki-laki dan perempuan. Padahal, menurut Bang Ayid tidak selama demikian, bisa dibuat bioskop khusus di Aceh memisahkan antara laki-laki dan perempuan.

Sehingga tidak menimbulkan dugaan-dugaan dan kecurigaan akan terjadi pelanggaran syariat Islam selama menonton dalam bioskop. Demikian juga dengan jadwal akan disesuaikan agar tidak terganggu waktu-waktu salat, sehingga keberadaan bioskop bisa bermanfaat untuk kepentingan dakwah dan edukatif.

Menurutnya, perkembangan perfilman saat ini sudah semakin maju dan banyak berbagai genre diproduksi. Tidak hanya film barat atau perang yang ada konten dewasa, tetapi saat ini cukup banyak diproduksi film bernuansa dakwah dan edukatif.

Terlebih, sebutnya, di Aceh sendiri banyak komunitas-komunitas perfilman yang nantinya bisa berkembang dengan adanya bioskop. Semua film lokal yang diproduksi itu bisa ditonton oleh masyarakat Aceh.

Tentunya, sebut Bang Ayid, keuntungan secara ekonomis cukup banyak, karena perputaran uang akan terjadi di Aceh. Selama ini, ada banyak uang dari Aceh keluar ke Medan, Sumatera Utara untuk menyalurkan hobi menonton berbagai genre film.

“Ada multi efek sebenarnya, sekarang misalnya ada penjual asongan yang hidup ekonominya, parkir dan sejumlah dagangan lainnya yang membuka lapangan pekerjaan baru,” tukasnya.

Justru menurut Bang Ayid, dengan kehadiran film-film bernuansa islami dan edukatif bisa menggantikan film-film yang tidak layak ditonton oleh masyarakat. “Dari Aceh kita seharusnya memulai, jadi saya pikir sudah saatnya di Banda Aceh ada bioskop yang islami,” tuturnya.

Menurutnya, untuk tidak ditonton oleh masyarakat dan pemuda-pemudi di Aceh tidak mungkin. Karena setelah diputar oleh bioskop, tentunya akan ada film-film bajakan yang tentunya melanggar aturan yang berlaku di Indonesia.

“Jadi ada banyak kawan-kawan saya banyak menonton ke luar daerah, jadi uangnya lari keluar daerah dan dimanfaatkan oleh orang luar daerah,” jelasnya.

Persoalan bioskop di Aceh menurut pandangan Bang Ayid hanya persoalan pengaturan saja, sehingga tidak berbaur antara laki-laki dan perempuan. Baik dari antrean sampai proses nonton. Semua bisa dilakukan bisa ada niat untuk membuat bioskop yang bernuansa islami, edukatif dan bahkan membuat diskusi singkat usai menonton berbagai film yang edukatif. [acl/merdeka.com]

Penulis : A.Acal

Shares: