News

Jejak ‘Lintah Darat’ di Negeri Syariat

Keberadaan rentenir berkedok koperasi simpan pinjam bukan lagi rahasia umum bagi khalayak di kota syariat Islam. Mereka diduga menjamur bak cendawan di musim hujan. Setelah Aceh dihumbalang tsunami, apakah operasi para rentenir berhenti atau masih marak di ibukota provinsi paling barat Pulau Sumatera ini?
Ilustrasi

Keberadaan rentenir berkedok koperasi simpan pinjam bukan lagi rahasia umum bagi khalayak di kota syariat Islam. Mereka diduga menjamur bak cendawan di musim hujan. Setelah Aceh dihumbalang tsunami, apakah operasi para rentenir berhenti atau masih marak di ibukota provinsi paling barat Pulau Sumatera ini?

***

SUATU malam di penghujung Maret 2019, seorang ‘korban rentenir’ di Kota Banda Aceh berkisah tentang pengalamannya yang bertahun-tahun berurusan dengan “lintah darat”. Boleh dikata, korban yang tidak mau ditulis namanya ini sudah masuk terlalu jauh ke dalam jurang “bisnis riba” tersebut. Dia mengaku kesulitan keluar dari jeratan. Baru-baru ini rumah yang ditempati bersama istri tercinta pun terpaksa dijual demi menutupi utangnya kepada sang rentenir. Sumber lain bahkan menyebut, selain menjual rumah, ‘korban rentenir’ ini juga harus bercerai dengan istrinya.

Korban enggan menceritakan lebih dalam tentang biduk rumah tangganya yang hancur lebur akibat tersentuh bisnis para lintah darat. Dia hanya ingin fokus melanjutkan kisahnya berurusan dengan bisnis riba yang membuatnya dikejar utang. Awal gelutannya dengan dunia bisnis keuangan ini menjadi bahan pembuka fakta.

“Awalnya saya tidak paham sistem koperasi ini karena bukan pengalaman pribadi. Ini pengalaman istri saya. Jadi nggak tahu mulainya dari mana, tiba-tiba utang-utang. Uang yang diambil istri dari koperasi sudah membengkak, sudah membesar. Dan, nggak hanya dari satu koperasi. Ada tujuh atau delapan koperasi,” katanya memulai.

Berawal dari utang yang mendadak menumpuk ini, ia mencoba mencari tahu sistem kerja para rentenir. Usahanya berbuah hasil. Koperasi tempat istrinya meminjam uang diketahui. Ternyata, rentenir berkedok koperasi ini bukan sutu. Mereka banyak. Dalam mencari “mangsa” pun para pemberi modal tak meminta agunan. Kepercayaan menjadi senjata awal mereka untuk meyakinkan calon korban agar berani meminjam sehingga terlilit utang.

Tak hanya itu, sistem yang dibangun antar sesama koperasi tersebut juga saling terkait antara satu sama lain. Besar dugaan, koperasi-koperasi yang umumnya tidak terdata di Dinas Perindustrian dan Koperasi tersebut saling bekerjasama. Ini terbukti saat seorang peminjam kesulitan membayar, maka “nasabah” diperkenalkan ke wadah lembaga keuangan lain yang menerapkan sistem serupa. Tujuannya satu, tetap mengikat korban dalam sistem utang yang tak kunjung lunas tersebut.

Dari cerita beberapa korban, diketahui para pemberi pinjaman tersebut biasanya mendatangi para pedagang kecil ke lapak dagangan masing-masing. Awalnya, mereka menawarkan uang atau pinjaman ini ke gerobak-gerobak di pinggir jalan atau usaha-usaha kecil. Penawaran dilakukan oleh anggota khusus di lapangan yang bergerak secara sembunyi-sembunyi. “Pinjaman yang diberikan Rp5 juta dan yang harus dibayarkan Rp100 ribu per hari,” kata korban.

Pinjaman sebesar Rp5 juta tersebut disebut pinjaman pokok. Nantinya, para peminjam diberikan waktu 24 kali untuk membayar angsuran. Per satu kali angsuran ditetapkan Rp250 ribu. Total yang harus ditutupi peminjam menjadi Rp6 juta yang di dalamnya termasuk jasa pinjaman 5 persen, dan juga jasa pelayanan 15 persen.

Ada juga yang memberikan pinjaman sebesar Rp5 juta yang sistem pembayarannya nyaris sama, per satu kali bayar ditetapkan jumlah angsuran pokok Rp250 ribu. Namun, para peminjam juga diwajibkan membayar jasa pinjaman 5 persen dan jasa pelayanan 15 persen. Sehingga total yang wajib disetor per satu kali angsuran sebesar Rp750 ribu.

Adapula koperasi yang menerapkan biaya administrasi sebesar 5 persen dari simpanan pokok Rp250 ribu, selain meminta jasa-jasa yang disebut tadi. Biasanya para peminjam dijanjikan mendapat cashback Rp250 ribu di akhir pelunasan.

“Jadi Rp250 ribu kali 24 angsuran, ditambah jasa pelayanan 15 persen, ditambah jasa pinjaman 5 persen, ditambah administrasi 5 persen, ditambah simpanan pokok 5 persen,” kata sumber tadi.

Anehnya, para pemberi pinjaman tersebut sama sekali tak menyodorkan formulir-formulir yang harus diisi oleh “buruannya”. Mereka juga hanya mengandalkan selembar kertas berwarna yang diberi nomor untuk mencatat, atau sebagai bukti bagi si peminjam telah melunasi utang-utangnya.

Selain itu, para pemberi pinjaman ini juga tidak memerlukan persetujuan keluarga saat seseorang meminjam kepada mereka.

Ada juga pinjaman pokok yang diberikan Rp5 juta dengan jasa pinjaman sebesar Rp1,2 juta. Totalnya menjadi Rp 7.200.000 dengan sistem cicil 24 kali angsuran, dengan jumlah Rp300 per satu kali cicil. Untuk sistem ini juga menerapkan sistem simpanan pokok sebesar Rp300 ribu yang dikembalikan pada saat pelunasan angsuran.

Para pelaku koperasi tersebut biasanya bakal menegur para peminjam yang tidak mampu menutup angsurannya, sesuai waktu yang disepakati. Tegurannya beragam, mulai dari ancaman verbal berupa pelaporan ke pihak penegak hukum hingga ancaman kekerasan.

Alih-alih melunak, tak jarang koperasi-koperasi rentenir ini juga mengancam para peminjam yang kesulitan membayar dengan mengirimkan debt collector dari beragam latarbelakang profesi. Bahkan, berdasarkan pengakuan sumber popularitas.com, ada juga koperasi yang mengandalkan oknum dari kesatuan tertentu untuk mengejar piutang mereka.

“Kalau saya lihat ada yang bergaya preman, ada yang baru tamat SMA, ada juga yang masih muda, ada yang memang memberikan waktu, ada juga yang menekan harus langsung membayar. Jadi yang saya tahu ada dari kesatuan tertentu. Dalam hal ini kesatuan militer yang saya maksud,” katanya.

Lantas koperasi apa saja yang menerapkan sistem seperti itu?

Berdasarkan pengalaman sumber media ini, diketahui sedikitnya ada belasan koperasi yang menerapkan sistem riba. Di antara koperasi tersebut banyak yang tidak terdaftar resmi sebagai lembaga keuangan atau berbadan hukum koperasi. Kepastian berbadan hukum tersebut sebenarnya dapat dilacak dengan mudah di situs resmi nik.depkop.go.id.

Dalam pasal 18 poin 1 Permen 10 tahun 2016 tentang pendataan koperasi tanggal 29 Juni 2016 Bab 6 Nomor Induk Koperasi Bagian 1, disebutkan bahwa koperasi harus memiliki 16 sertifikat Nomor Induk Koperasi atau NIK. Pemberian sertifikat NIK koperasi ini dilakukan dengan maksud memberikan kepastian dan keberadaan koperasi secara legal sebagai badan hukum.

Namun, dari penelusuran diketahui nyaris keseluruhan koperasi yang menjerat narasumber media ini tidak memiliki NIK resmi dari instansi pemerintah, alias NIK yang mereka perlihatkan bodong. Beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki NIK sama sekali.

Korban kemudian merincikan belasan nama koperasi yang diduga mengantongi NIK bodong, dan koperasi yang menjeratnya selama ini. Sejumlah inisial koperasi tersebut adalah KSU GS, KSU KM, KSP PK, KSU, MA, SR, Koperasi GA dan terakhir Koperasi Bon.

Lantas masih beroperasikah koperasi-koperasi tersebut di negeri syariat sekarang ini?[] (Tim Redaksi)

Baca juga:

Shares: