HukumNews

Kompol Fadillah dilaporkan ke Polda Aceh dan Kompolnas

Masa penahanan habis, dua tersangka kasus lahan zikir dikeluarkan dari tahanan
Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama. Foto: -

POPULARITAS.COM – Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Aceh dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 7 November 2023 kemarin.

Fadillah dilaporkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh bersama Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Katahati Institute atas penghentian kasus dugaan korupsi SPPD fiktif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Koordinator MaTA, Alfian mengungkapkan, pihaknya melaporkan hal tersebut Kabag ke Wassidik, Kabid Propam, Irwasda hingga ke Kompolnas.

“Laporan itu disampaikan tertulis pada tanggal 7 November 2023 kemarin, menyikapi penghentian kasus dugaan korupsi SPPD fiktif KKR Aceh,” ujarnya, Jumat (10/11/2023).

Menurut Alfian, tindakan Fadillah yang menghentikan kasus dugaan korupsi itu dengan alasan adanya pengembalian kerugian negara adalah perbuatan melawan hukum yang sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Selain itu, juga bertentangan dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Oleh karenanya yang bersangkutan layak diberikan sanksi untuk mempertanggungjawabkan tindakan tidak profesionalnya itu,” tegas Alfian.

“Kami juga telah mengajukan permohonan supervisi kepada KPK pada 9 November 2023. Permohonan supervisi ini sejalan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki KPK sebagaimana diamanatkan UU KPK dan Perpres Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya.

Dengan adanya supervisi KPK, lanjut dia, diharapkan kasus ini dapat berlanjut ke pengadilan dan pelakunya segera diadili.

Pihaknya menilai, pernyataan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh bahwa kasus ini tidak dihentikan tetapi dipulihkan, hanyalah permainan bahasa untuk mengelabui publik atas upayanya melindungi pelaku tindak pidana korupsi.

“Masih ada opsi lain yang seharusnya dapat ditempuh untuk memulihkan kerugian keuangan negara tanpa harus menggunakan cara-cara impunitas,” katanya.

“Polresta Banda Aceh sedang mempertontonkan ketidakadilan dan ketidakberpihakannya kepada rakyat Aceh, terutama korban konflik,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat menjelaskan, dalih Polresta Banda Aceh yang menghentikan kasus ini karena adanya MoU antara Kemendagri, Kejaksaan dan Kepolisian bukanlah alasan hukum yang sah.

MoU tersebut, kata dia, hanyalah kesepakatan yang dibuat antara ketiga lembaga yang dimaksud.

“Kesepakatan mereka seharusnya tidak dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang. Apabila kesepakatan yang dibuat para pejabat itu dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang, maka Indonesia akan menjadi negara kekuasaan (machstaat) dan kehilangan maknanya sebagai negara hukum,” ungkapnya.

“Tidak ada alasan bagi Polresta Banda Aceh untuk menghentikan kasus ini. Tindak pidana dan alat buktinya sudah sangat jelas. Penyidik harus segera melanjutkan penyidikan dan menetapkan tersangkanya,” jelasnya.

Menurut Qodrat, penghentian kasus dugaan korupsi KKR Aceh hanya akan meningkatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi.

Keputusan Polresta Banda Aceh menghentikan kasus ini, sambungnya, menunjukkan bahwa institusi kepolisian itu tidak peka dan tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

“Hal itu akan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dengan adanya preseden ini, pejabat publik tidak akan segan lagi melakukan korupsi,” katanya.

“Para koruptor bisa berlindung di balik skema pengembalian kerugian negara. Apabila perbuatan korupsinya terendus, para koruptor tinggal mengembalikan hasil curiannya dan perkara akan ditutup begitu saja,” pungkasnya.

Shares: