News

Larangan People Power Dikhawatirkan Berefek Negatif kepada Pemerintah

BANDA ACEH (popularitas.com) – Upaya kepala daerah yang menghambat warga menyampaikan haknya terkait Pilpres 2019 dinilai dapat memunculkan polemik baru. Nantinya dikhawatirkan polemik ini dapat mengarah kepada ketidakpercayaan publik kepada sikap pemerintah.

Pendapat ini disampaikan Delky Noifrizal Qutni, aktivis Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) kepada popularitas.com, Jumat, 17 Mei 2019.

Dia menilai seharusnya pemerintah membiarkan saja publik bersikap dan menyampaikan aspirasinya terkait persoalan bangsa secara damai. Menurutnya pengekangan dan upaya menghambat justru akan menimbulkan nuansa perlawanan di kalangan masyarakat.

“Dikahawatirkan jika pemerintah daerah yang terkesan menghalangi ekspresi dan aspirasi publik justru menjadi sasaran ketidakpercayaan masyarakat,” kata Delky.

Delky menyebutkan kebebasan menyampaikan pendapat sudah diatur di dalam pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di dalam pasal itu menyebutkan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

“Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Jika dihalangi, dihambat, dikekang hak tersebut, maka secara tidak langsung juga bagian yang melanggar HAM itu sendiri,” kata Delky.

Masih kata Delky, di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 juga telah diatur tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Saya rasa tak perlu khawatir berlebihan terkai isu-isu people power yang berkembang. Berikan saja kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menyampaikan pendapat berdasarkan pendapat, tinggal lagi diawasi agar tak terjadi anarkisme,” tambanya.

Delky menyebutkan, aksi-aksi besar seperti aksi 115, 212 dan 411 serta aksi 1212 sebenarnya juga bagian dari menyampaikan pendapat di depan umum yang melibatkan jutaan orang. Alhasil, aksi tersebut menjadi paling santun yang pernah ada di bumi Pertiwi, kendatipun awalnya sempat dituding dengan beragam pendapat yang seakan-akan aksi tersebut melanggar dan seterusnya.

“Kami meyakini, selama para ulama dan para habib di depan yang menjadi komando, Insya Allah kesantunan dalam demonstrasi dan menyampaikan pendapat itu akan dikedepankan. Upaya menyampaikan kedaulatan rakyat itu dibenarkan secara konstitusi, sejauh tak ada upaya-upaya yang tak melawan konstitusi itu sendiri, itu sih sah-sah saja,” kata aktivis Aceh itu.

Delky menyampaikan kekhawatiran dan ekspresi berlebihan yang mengarah kepada pengekangan hak berpendapat justru tak elok dalam demokrasi. Dia lantas memetik analogi fisika yang berkaitan dengan hukum Newton. Dimana, F Aksi sama dengan minus F reaksi.

Menurutnya semakin besar aksi dalam upaya menghambat laju pergerakan massa untuk melakukan demonstrasi, maka semakin besar pula hasrat publik untuk melakukan demonstrasi. “Misalkan ketika tak dihambat, tak dikekang jumlah massanya 1.000 orang, maka ketika ada gaya (upaya) dihambat, dikekang dan dihalangi bisa jadi laju massanya bertambah tergantung seberapa besar tekanan itu dilakukan,” ujarnya.

Pemuda yang juga menjabat sebagai Sekjen Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya Aceh (MeuSeRAYA) itu menyarankan, saat ini yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, terutama Aceh, adalah bagaimana pemerintah hadir dengan bijaksana untuk menyambut dan menjawab kegelisahan publik terkait persoalan bangsa. Menurutnya jika pemerintah berhasil hadir merespon dan menanggapi kegelisahan publik dengan cara yang bijaksana, dia menilai kekhawatiran tidak akan terjadi.

“Intinya, tinggal bagaimana cara pemerintah atau negara merespon kegelisahan publik tersebut secara bijaksana, kuncinya ada disitu. Kita juga menyarankan Plt Gubernur Aceh melaksanakan do’a bersama untuk bangsa pada 22 Mei mendatang, bahwasanya semua persoalan bangsa ini kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Hal-hal seperti itu lebih bijaksana ketimbang mempersoalkan keikutsertaan masyarakat dalam menyuarakan persoalan bangsa,” ujarnya lagi

Delky juga berharap persoalan-persoalan hiruk pikuk politik pasca pemilu ini tak berimbas signifikan terhadap kondisi kebijakan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh. Meskipun dia tidak menampik kondisi politik bangsa saat ini memang sedang dilematis.

“Jangan sampai effect pilpres ini justru membuat publik semakin terkendala dengan kebutuhan-kebutuhan dasar dan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh terbaikan. Itu tugas yang lebih penting pemerintah Aceh, bukan seruan dan menghambat laju massa dari Aceh menuju Jakarta,” pungkasnya.*(RIL)

Shares: