Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh

Menelusuri jejak sejarah Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara, aset budaya nyaris terlupakan

Menelusuri jejak sejarah Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara, aset budaya nyaris terlupakan

POPULARITAS.COMSamudera Pasee atau Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M, yang terletak di wilayah pesisir utara Sumatera, tepatnya di Aceh.

Samudera Pasai punya beberapa keistimewaan, yang mana salah satunya adalah menjadi pusat perdagangan. Kerajaan ini mampu mengekspor hasil bumi seperti lada, sutra, kapur barus hingga emas dalam jumlah besar.

Kerajaan ini juga menjadi pusat perkembangan agama IsIam di nusantara, bahkan se- Asia Tenggara, sehingga dijuluki sebagai Serambi Mekkah, sekaligus pusat karya sastra yang mengadaptasi bahasa Arab masuk ke wilayah Sumatera, yang lalu disebut bahasa Jawi.

Salah satu karya tulis yang ada dan tinggi akan nilai sejarahnya adalah Hikayat Raja Pasai atau disingkat HRP. Karya sastra tersebut pun menjadi tanda dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di Indonesia.

Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya menyebut bahwa meski para sejarawan masih bersilang pendapat tentang beberapa hal, namun mereka setuju Kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama.

“Para sejarawan memang masih bersilang pendapat tentang Perlak dan situs lain sebelum Samudera Pasai, tapi mereka setuju untuk menyebutkan Kerajaan Samudera Pasai yang berada di Aceh Utara ini sebagai situs kerajaan Islam pertama,” ungkapnya.

Dari penelusuran popularitas.com, Kerajaan Samudera Pasai disebut merupakan gabungan dari Kerajaan Pasee (Pasai) dan Peureulak, yang mana raja pertama di kerajaan ini adalah Malik al-Saleh atau Meurah Silu atau Sultan Malikussaleh.

Dalam jurnal acehdalamsejarah.blogspot.com dijelaskan bahwa pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting saat itu, yang kerap dikunjungi oleh para saudagar dari Cina, Arab, India, Siam dan Persia.

Sebagai bandar besar perdagangan, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut Deureuham atau dirham. Mata uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut.

Ada sejumlah raja yang pernah memerintah kala itu, seperti Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M), Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M), Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326-1345 M), Sultan Malik Az-Zahir (1346 M), Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383 M), dan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383-1405 M).

Kemudian, Sultanah Nahrasiyah (1405-1412 M), Sultan Sallah Ad -Din (1402 M), Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir (1455 M), Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455-1477 M), Sultan Zain Al-‘Abidin (1477-1500 M), Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501-1513 M), serta Sultan Zain Al’Abidin (1513-1524 M).

Menurut catatan Muhammad Yunus Jamil, seorang sejarawan yang telah tutup usia di tahun 1978 silam, para pejabat kerajaan yang menguasai seluruh wilayah Aceh itu terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana.

Sebut saja seperti Saiyid Ghiyasyuddin sebagai Perdana Menteri, Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani sebagai Syaikhul Islam (ulama atau sosok yang dihormati) dan Ali Hisamuddin Al Malabari sebagai Menteri Luar Negeri.

Dari beberapa referensi, kemunduran Kerajaan Samudera Pasai disebabkan karena beberapa hal, salah satunya karena serangan Majapahit pada 1349, hingga akhirnya kerajaan ini ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh.

Sejumlah bukti arkeologi dan bukti keberadaan Samudera Pasai hingga kini dapat ditemui di wilayah Aceh Utara, seperti adanya monumen di Museum Islam Samudera Pasai hingga makam raja-raja Pasai, termasuk raja pertama yakni Meurah Silu atau Sultan Malikussaleh.

Bahkan, Museum Islam Samudra Pasai sengaja dibangun untuk memamerkan hasil koleksi benda-benda bersejarah peradaban Islam pada masa Kerajaan Samudra Pasai. Pemerintah terus mengembangkan museum ini demi menggenjot minat kunjungan wisatawan ke lokasi ini.

Berdasarkan data yang ada, sejak Museum Islam Samudera Pasai itu diresmikan tahun 2019 lalu, sudah tujuh ribuan lebih orang yang berkunjung, mulai dari Aceh, luar Aceh bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Thailand, Filipina hingga Turki.

Jejak peninggalan Kerajaan Samudera Pasai lainnya juga dapat kita temui di museum tersebut, seperti adanya koleksi koin emas atau dirham, perhiasan, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian, senjata tradisional, buku-buku dan kitab karangan ulama abad pertengahan.

Sementara, di Museum Aceh, Banda Aceh, juga ada beberapa benda peninggalan Samudera Pasai, seperti Lonceng Cakra Donya, gerabah dan keramik asing serta benda logam, hingga hikayat raja-raja Pasai dan naskah.

“Samudera Pasai merupakan sejarah yang sangat besar munculnya Islam pertama di nusantara. Museum Islam Samudera Pasai menjadi wisata sejarah dan religi yang ingin kita kembangkan dan menjadi fokus pemerintah daerah untuk ke generasi di masa depan,” ujar Fauzi Yusuf alias Sidom Peng yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Bupati Aceh Utara.

“Ke depan kita harapkan sejarah peradaban Islam Samudera Pasai bisa masuk ke dalam kurikulum sekolah, sehingga para generasi penerus bisa mengetahui sejarah yang sudah mendunia ini sehingga menumbuhkan cinta akan sejarah,” kata dia.

Selain itu, pada bulan Juli 2023 lalu, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara juga pernah menggelar kegiatan yang diberi nama Pameran UMKM Samudera Expo di pelataran Museum Islam Samudera Pasai tersebut.

Pj Bupati Aceh Utara, Mahyuzar mengatakan bahwa kegiatan tersebut diselenggarakan agar dapat menggerakkan perekonomian masyarakat di Bumi Samudera Pasai.

“Kegiatan pameran ini dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat di Aceh Utara, melalui kegiatan UMKM diharapkan mampu menjadi penyangga ekonomi Aceh maupun ekonomi nasional,” kata dia.

Sementara, Kadisbudpar Aceh, Almunizal Kamal yang hadir untuk meresmikan kegiatan itu mewakili Pj Gubernur Aceh mengatakan, melalui Samudra Expo UMKM ini dapat menjadi sebagai sarana untuk pengenalan seni budaya dan produk UMKM di daerah ini.

“Diharapkan UMKM nantinya dapat lebih meningkatkan daya saing dan pelayanan yang berkualitas kepada konsumen, sehingga diterima masyarakat luas yang akhirnya memberikan nilai tambah bagi para pelaku UMKM. Jika UMKM bangkit, maka secara langsung memberikan dampak pada peningkatan perekonomian,” ungkapnya. (*)

Shares: