Opini

Mutasi tak Berujung

Oleh Zainal Abidin
WAJAR ketika pejabat baru di jajaran Pemerintah Aceh yang dimaklumatkan pada 10 Maret 2017 takut mengeluarkan kebijakan menyangkut penggunaan anggaran (Serambi, 30/3/2017). Konon pejabat baru ini menapak dengan langkah gontai setelah pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi pratama (Eselon II) di lingkungan Pemerintah Aceh melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Memperlihatkan semakin bimbang dan tak karuan tatkala Dirjen Otda Kemendagri menyatakan, pengeluaran yang ditandatangani oleh atau peruntukan bagi pejabat yang diangkat secara tidak sah, maka diperhitungkan sebagai “kerugian negara dan harus dikembalikan setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Serambi, 30/3/2017). Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 31 Maret 2017, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan pengangkatan dan pelantikan 33 Pejabat Eselon II oleh Gubernur Aceh sah dan telah mendapat izin lisan dan tertulis darinya (Serambi, 1/4/2017).
Rapat paripurna DPRA pada 7 April 2017 malah kembali mempertanyakan izin tertulis sebagaimana dilontarkan Mendagri itu. Menyimak ketidakjelasan pernyataan Mendagri berbeda dengan surat Dirjen Otda dan disikapi beragam pula di Aceh. Semacam dialektika modus Alibaba (konvensional), si Ali di depan dan si Baba di belakang. Si Ali sebagai “Gubernur dan pejabat” yang dilantik berada di depan, sementara si Baba peran “Menteri” berperan di belakang. Dalam lingkaran ini, sehingga kalau terjadi persoalan karena kesalahan atau kekeliruan dalam penerbitan keputusan mutasi tersebut, maka si Ali yang terjerat dan ditangkap, si Baba aman. Tulisan ini mencari ujung dari perdebatan yang belum berujung.
Teknikalitas berhukum
Bila disimak dengan seksama dalam perspektif teknikalitas berhukum bahwa Surat dari Kemendagri No.820/2138/Otda tertanggal 24 Maret 2017 dan pernyataan Dirjen Otda tersebut dapat diketengahkan konklusi bahwa oleh karena keputusan pengangkatan pejabat di jajaran Pemerintah Aceh melanggar peraturan perundang-undangan, maka pejabat yang diangkat itu dinilai tidak sah. Muchsan dalam bukunya Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Perdilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Cet. IV 2007 hal. 31) mengingatkan, dimana semua perbuatan pemerintah haruslah legal, maksudnya sah menurut undang-undang (wetmatig). Perbuatan pemerintah yang tidak sesuai dengan undang-undang ini disebut dengan perbuatan illegal atau onwetmatig.
Guru Besar Hukum Administrasi Negara UGM ini memberi contoh seorang penjabat mengambil keputusan sendiri, padahal ketentuan UU dia diwajibkan meminta persetujuan dari instansi pemerintah lain, maka keputusan yang demikian jelas merupakan keputusan yang bersifat onwetmatig. Dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus memperhatikan persyaratan, agar keputusan tersebut sah menurut hukum. Para ahli Hukum Administrasi Negara telah menentukan syarat sahnya sebuah KTUN harus memenuhi syarat materiil dan formil.
Klausul materiil berisi: 1) Organ pemerintah yang membuat KTUN harus berwenang untuk itu; 2) tidak boleh mengandung kekurangan yuridis; 3) KTUN itu harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan perundang-undangan lain, serta isi dan tujuan KTUN itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. Kandungan syarat formil: 1) bentuk KTUN itu harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang mendasarinya; 2) prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya; dan 3) syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.
Dalam frame yang sama Philipus M Hadjon menerangkan setiap pejabat administrasi negara dalam membuat keputusan terikat pada asas legalitas. Ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi wewenang, prosedur dan substansi. Sehingga setiap tindak pemerintahan harus dilandaskan pada wewenang yang sah, prosedur yang tepat dan substansi yang tidak melenceng (2011; 17). Wewenang, substansi dan prosedur merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal inilah barulah lahir asas vermoeden van rechtmatigheid atau setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara harus dianggap sah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan tidak sah.
Dalam pandangan lain, suatu KTUN baru dianggap sah setelah melalui dan terpenuhi syarat formil dan materil. Adalah postulat yang nyata-nyata keliru, prematur dan contradiction in terminis jika dikatakan setiap keputusan pejabat tata usaha negara harus dianggap sah tanpa memperhatikan syarat materil dan formil suatu keputusan atau tanpa memperhatikan wewenang, substansi dan prosedur.
Ahli hukum administrasi negara mencontohkan, seorang kepala sekolah adalah pejabat tata usaha negara mengeluarkan suatu keputusan tentang pemberian Surat Izin Mengemudi (SIM) kepada siswanya. Kalau mengacu pada asas pra sah atau vermoeden van rechtmatigheid tanpa melihat syarat materil dan formil suatu keputusan atau menutup mata dari landasan wewenang, substansi dan prosedur, maka kita akan mengatakan keputusan itu sah dan berlaku kecuali ada keputusan pengadilan menyatakan tidak sah. Padahal amat nyata kepala sekolah itu tidak memenuhi syarat materil atau tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SIM kepada siswanya.

Jadi tindak kepala sekolah itu tidak memiliki landasan wewenang yang sah, maka tidak perlu menunggu keputusan pengadilan dulu untuk menyatakan keputusan itu tidak sah. Dalam kaitan ini, maka keputusan mutasi pejabat eselon II di jajaran pemerintah Aceh tidak memenuhi syarat materil karena melanggar peraturan perundangan lain (Pasal 71 ayat (2) UU No.10 Tahun 2016 dan UU No.5 Tahun 2014) maupun syarat formil, berupa syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan berupa persetujuan atasan atau keputusan tersebut tidak sesuai prosedur, karenanya tidak sah.
Memerlukan persetujuan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU No.10 Tahun 2016, maka keputusan Gubernur memutasi pejabat dalam masa Pilkada termasuk keputusan yang masih memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No.51 Tahun 2009. Menurut UU tersebut bukanlah KTUN, sama posisinya dengan jual-beli atau sewa-menyewa yang dibuat antara pemerintah dengan perorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata bukanlah KTUN.
Penjelasan Pasal 2 huruf c UU No.5 Tahun 1986 menerangkan bahwa KTUN yang masih memerlukan persetujuan adalah keputusan untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain dalam rangka pengawasan administratif. Oleh karenanya keputusan jenis ini belum memenuhi kualifikasi sebagai KTUN. Sebelum diperoleh persetujuan maka KATUN tersebut belum memnuhi unsur final sebagai syarat keberlakuan KATUN (Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986), sehingga belum menimbulkan akibat hukum tata usaha negara (belum melahirkan hak dan kewajiban).
Amat masuk akal ketika Dirjen Otda mengingatkan pengeluaran yang ditandatangani oleh atau peruntukan bagi pejabat yang diangkat secara tidak sah, maka diperhitungkan sebagai “kerugian negara”. Jika telah menimbulkan kerugian akibat dikeluarkan keputusan tersebut, maka tidak di bawa ke PTUN melainkan gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri (penjelasan Pasal 2 huruf c UU No.5 Tahun 1986).
Seandainya di bawa ke PTUN sesuai prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara, bisa saja tetap diterima tetapi dalam proses dismissal akan diputuskan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena memang bukan kompetensi PTUN dan pokok perkara pasti tidak akan diperiksa menjadi sia-sia. Sama seperti permohonan/gugatan perselisihan hasil Pilkada yang tidak memenuhi syarat ambang batas selisih suara, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menerima dan semua diputuskan permohonan tidak dapat diterima, pokok perkara tidak diperiksa lagi.
Dirjen Otda dalam suratnya telah menyatakan keputusan Mutasi pejabat di jajaran Pemerintah Aceh melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka keputusan mutasi itu dinilai tidak sah. Surat Menteri bukanlah surat biasa, melainkan tindakan tata usaha negara yang memiliki daya laku (gelding) dan daya ikat (gebonden) terhadap yang dituju (adressat) sejak tanggal dikeluarkan. Bagir Manan menyatakan meskipun bukan peraturan perundang-undangan, surat dari pejabat tata usaha negara itu berdimensi hukum (2006). Tidak patuh terhadap surat yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara, dapat dijatuhkan sanksi terhadap pejabat tata usaha bawahan itu. Justru pernyataan Mendagri bukanlah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan tidak memiliki daya ikat karena Pasal 1 angka 3 UU 5 Tahun 1986 mensyaratkan KTUN itu harus tertulis.
Suatu keputusan yang tidak sah berupa macam-macam pembatalan: 1) batal (nietig) atau batal mutlak (absoluut nietig) akibat suatu perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada, pembatalan oleh hakim karena adanya kekurangan yang esensil dan bersifat ex-tunc; 2) batal demi hukum (nietig van rechtswege) sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tidak diperlukan putusan hakim atau badan pemerintahan lain untuk membatalkannya dan pembatalan bersifat ex-tunc; 3) dapat dibatalkan (vernietigbaar) perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap sah sampai ada pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah yang berkompeten dan pembatalan itu bersifat ex-nunc atau sejak dibatalkan. Terhadap keputusan yang belum memperoleh persetujuan atasan, maka unsur final keputusan belum terpenuhi sehingga hak dan kewajiban belum lahir adalah berjenis keputusan tidak sah dan batal demi hukum berdimensi ex-tunc (semua perbuatan dianggap belum pernah ada).
Zainal Abidin, SH, M.Si, MH., Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiahk Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: [email protected]

(Sumber : aceh.tribunnews.com)

Shares: