News

Pejabat Pijay dituding terima Rp10 miliar dari proyek migas, BPMA beri penjelasan

SKK Migas akui eksplorasi Repsol Andaman III gagal, BPMA : Kami belum terima laporan
Deputi Dukungan Bisnis BPMA, Afrul Wahyuni. Foto: Ist

POPULARITAS.COM – Deputi Dukungan Bisnis Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Afrul Wahyuni merasa heran sekaligus lucu terkait tudingan anggota dewan Pidie Jaya, bahwa ada oknum pejabat daerah tersebut yang menerima fee Rp 10 miliar dari perusahaan migas.

Bahkan dia menyebutkan, jika anggota dewan tersebut yakin serta mengantongi bukti atas tudingannya itu, lebih baik dilaporkan saja ke penegak hukum sebagai bentuk gratifikasi sehingga tidak menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat.

Pasalnya, menurut dia penyerahan fee Rp 10 miliar oleh perusahaan Migas di Blok Andaman III untuk oknum pejabat daerah Pidie Jaya sangat sulit terjadi.

Soalnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) itu sendiri, saat ini masih sebatas melakukan pengeboran sumur pertama atau tahapan eksplorasi atas untuk mencari kandungan pasti cadangan Migas di Blok Andaman III di lepas pantai Pidie Jaya itu.

Kemudian proses pengurusan izin baik eksplorasi maupun produksi Migas itu merupakan wewenangnya Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian.

Tidak hanya untuk sekelas Repsol yang merupakan perusahaan multi nasional yang sahamnya tercatat di bursa saham di New York, tentunya tidak akan mengeluarkan biaya yang tak tercatat dan tidak ada dalam perencanaan perusahaan.

Namun begitu, kata dia jika anggota dewan Pidie Jaya tersebut memiliki bukti yang kuat atas tudingan fee Rp 10 miliar untuk melaporkan penegak hukum seraya membawakan bukti-bukti yang sah agar tidak menjadi fitnah.

“Maaf, kalau saya bilang itu tudingan atau apa? Mungkin tinggal diproses saja pembuktiannya. Katakanlah siapa anggota dewan yang mendapat isu itu tinggal diperlihatkan di proses hukum, begitu juga sebaliknya dengan pihak Pemkab yang tertuding itu biar ngak timbul fitnah kan,” Afrul Wahyuni kepada popularitas.com, pekan lalu.

Secara regulasi, Afrul menjelaskan, perusahaan berskala international, pemberian fee atau gratifikasi dalam jumlah tidak sedikit saat perusahaan tersebut masih dalam fase pencarian kepastian cadangan migas, sangat sulit terjadi.

Soalnya segala bentuk pengeluaran itu yang dilakukan oleh sebuah perusahaan itu pasti dilakukan pencatatan.

“Alih-alih melakukan gratifikasi, untuk pengeluaran dalam bentuk program saja pada fase eksplorasi yang sedang dilakukan saat ini, pelaksanaannya harus direncanakan di setiap tahunnya,” ungkapnya.

Selain itu, untuk proses pengurusan izin eksplorasi hingga produksi Migas itu sendiri merupakan wewenangnya pemerintah pusat dalam hal ini kementerian.

Kemudian letak migas tersebut yang merupakan blok Andaman III berada di 40 mil dari bibir pantai Pidie Jaya.

“Jadi, yang maksud saya, atas urgensi apa mereka (Repsol) memberikan bantuan atau fee kepada pejabat kabupaten yang di luar program, untuk kepentingan apa. Something yang tidak masuk logika itu,” tuturnya dengan nada heran.

Tambahnya, KKKS itu sendiri saat ini masih dalam fase eksplorasi atau pengeboran sumur rencong 1X, sehingga saat melakukan segala bentuk pengeluaran pastinya menggunakan skema cost recovery.

Di mana semua pengeluaran tersebut haruslah dicatat dan dilaporkan. Sehingga nantinya saat sudah berproduksi, segala biaya yang dikeluarkan tersebut dapat ditagih kembali.

Sehingga dalam hal tudingan pemberian fee Rp 10 miliar kepada oknum pejabat Pemkab Pidie Jaya itu, dia lantas bertanya, mekanisme seperti apa yang harus dilaporkan oleh Repsol untuk pengeluaran tersebut.

Apalagi, di saat KKKS tersebut masih dalam tahap eksplorasi, hal-hal berbau fee itu secara regulasi sangat tidak dimungkinkan terjadi.

“Contoh, saya punya perusahaan, dan saya mau kasih fee ke Pemkab Rp 10 miliar. Biar dapat balik lagi ke perusahaan, kan harus menjadi cost recoveri itu, jadi dalam bentuk apa itu. Dan untuk mengajukan itu ada proses evaluasi, ada proses audit dan segala macam. Maka itu saya bilang tidak dimungkinkan terjadi kalau secara prosesnya,” jelasnya.

Untuk mencegah isu tersebut menjadi fitnah, Afrul menyarankan anggota DPRK Pidie Jaya itu untuk menyebutkan siapa dan melaporkan ke penegak hukum.

“Kasihan juga orang yang tertuding kalau ternyata itu fitnah,” tandasnya.

Sejatinya, BPMA merasa heran atas tudingan oknum pejabat Pidie Jaya menerima fee Rp 10 miliar dari perusahaan migas meras, soalnya Repsol tidak akan mengeluarkan uang perusahaan tanpa tercatat dalam pencatatan cost recovery korporasi.

Sebagai contoh ungkapnya, pihak Repsol membuat program untuk Kabupaten Pidie, Pidie Jaya dan Bireuen dengan nilai USD 100 ribu, itu semua tercatat dalam mekanisme cost recovery.

Cost program itu tercatat, nanti mereka (Repsol) bisa menagih kembali saat mereka sudah berproduksi. Apakah lima tahun lagi atau enam tahun lagi. Tetapi kalau itu tidak tercatat, mereka tidak akan keluarkan. Pertanyaannya maukah perusahaan tidak mau diganti uangnya,” bebernya.

Bisa jadi apa yang disampaikan anggota dewan itu menurutnya, salah persepsi dan juga salah informasi. Tetapi dia tidak bisa menafikan, terkadang anggota dewan yang mengatakan tudingan itu memiliki bukti-bukti apalah sehingga menyampaikan hal itu di forum resmi.

“Kita di BPMA agak tersenyum saat membaca berita itu. Jadi biar tidak timbul fitnah dan merugikan Pidie Jaya, ya sebaiknya dilaporkan ke aparat hukum dengan bukti-bukti yang sah,” ucapnya.

Shares: