HeadlineIn-Depth

“Pingpong” Isu Referendum di Aceh

Isu referendum sedang menggelora di Aceh dalam dua hari terakhir. Namun para elit politik seakan tak seirama dalam menanggapinya. Tolak tarik pendapat mereka bak permainan bola pingpong tanpa smash akhir.
Foto koleksi Serambi Indonesia

Isu referendum sedang menggelora di Aceh dalam dua hari terakhir. Namun para elit politik seakan tak seirama dalam menanggapinya. Tolak tarik pendapat mereka bak permainan bola pingpong tanpa smash akhir.

***

SUARA referendum hak menentukan nasib sendiri di Aceh kembali mencuat ke permukaan. Kali ini wacana menggelar jajak pendapat bagaimana nasib Aceh ke depan ini disuarakan oleh mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf. Entah apa yang membuat Mualem, sapaan akrab Muzakir Manaf di kalangan kombatan GAM, melempar isu referendum di Aceh saat acara peringatan meninggalnya Wali Nangroe Aceh Teungku Hasan Muhammad di Tiro ke 9 tersebut.

Namun, kata-kata referendum Aceh telah diucapkan dan kini menggelinding ke ranah publik dengan liar. Banyak yang sepakat dengan isu referendum ini terutama dari para tokoh “nasionalisme Aceh”. Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan faktor apa yang membuat Mualem menyarankan adanya referendum jilid II di Aceh.

Ketua Harian Partai Nanggroe Aceh (PNA), Samsul Bahri alias Tiyong, misalnya. Seperti diketahui, PNA sempat “berpisah” dengan Partai Aceh yang dikomandoi oleh Muzakkir Manaf dalam 10 tahun terakhir karena adanya perbedaan paham politik. Namun, kata referendum seperti menyihir dua partai politik lokal ini untuk kembali merapatkan barisan.

Tiyong menyebutkan keinginan untuk melaksanakan referendum mungkin saja aspirasi sebagian rakyat Aceh yang disampaikan Muzakir Manaf, mengingat dirinya adalah Ketua Umum Parpol pemenang Pemilu di Aceh, terlepas kemudian pemerintah menolak atau mengabulkan permintaan tersebut.

“Kami beranggapan, pernyataan tersebut bukanlah bentuk pembangkangan dan perlawanan terhadap negara. Maka dalam hal ini pilihan sikap politik Mualem (Muzakir Manaf) harus tetap dihormati dan dihargai oleh semua pihak,” kata Tiyong di Banda Aceh, Selasa, 28 Mei 2019.

Dia turut mendukung referendum untuk Aceh jika pemerintah pusat mencoba mengkhianati hak-hak rakyat Aceh sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Lagipula menurutnya UUPA selama ini tersandera oleh regulasi lain yang selevel di tingkat nasional.

Tiyong juga mengatakan, saat ini masih banyak hak-hak Aceh yang belum diberikan sepenuhnya atau dibatasi pelaksanaannya oleh pemerintah pusat.

“Oleh karena itu ke depan kami menuntut agar UUPA dapat direvisi dalam rangka penguatan peran dan fungsinya. Sehingga dalam pelaksanaannya, UUPA tidak lagi tersandera oleh regulasi lain,” ujarnya.

Setakat dengan Partai Aceh dan Partai Nanggroe Aceh, Muhibbussabri A Wahab yang saat ini “mengimami” Partai Daerah Aceh (PDA) juga menilai pelaksanaan referendum di daerah tersebut sah-sah saja. “Kalau itu memang keinginan rakyat Aceh, ya kita dukung pendapat Mualem itu,” kata Muhibbussabri di Banda Aceh, Selasa, 28 Mei 2019.

Pernyataan senada juga disampaikan politisi Partai Aceh yang saat ini masih menguasai suara mayoritas di DPR Aceh. Adalah Tgk Khalidi yang dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap wacana referendum yang disampaikan pimpinannya di Partai Aceh (PA). “Saya sangat setuju dengan wacana referendum jilid II di Aceh seperti yang disuarakan Mualem (Muazakir Manaf). Referendum adalah bagian dari mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik. Rakyat Aceh punya hak dalam menentukan masa depannya sendiri. Jadi kita mendukung penuh upaya politik Aceh lewat referendum,” ujarnya di Banda Aceh, Selasa, 28 Mei 2019.

Menurut anggota DPRA dari Dapil 9 ini, masyarakat Aceh telah lama menanti pergerakan elit politik Aceh yang mengarah pada refendum.

Apalagi sebutnya, Pemerintah Indonesia saat ini telah menunjukkan upaya pengkhianatan terhadap perjanjian damai atau MoU Helsinki.yang disepakati pada 15 Agustus 2005 silam antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia.

“Bila kebijakan pusat kedepannya merugikan rakyat Aceh, salah satunya mengkhianati buti-butir MoU Helsinki dan UUPA, maka tidak ada jalan lain bagi rakyat Aceh kecuali referendum. Masyarakat Aceh berhak berdiri di atas kaki sendiri,” tegasnya.

Kata sepakat lainnya untuk menggelar referendum di Aceh juga mencuat dari dua anggota DPD asal Aceh di Jakarta. Mereka adalah Fachrul Razi, MIP yang adalah mantan Juru Bicara Partai Aceh, serta Rafly yang merupakan budayawan dan kini kembali terpilih menjadi anggota DPR RI dari PKS pada Pileg 2019.

Headline koran Serambi Indonesia terkait Referendum pada 1999 lalu

Isu referendum Aceh untuk menentukan nasib sendiri memang sempat populer pada 1999 lalu. Hampir seluruh warga Aceh familiar dengan kata referendum, dimana terjadi mobilisasi massa dari pelosok daerah Aceh ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Namun, referendum masa itu tidak sampai pada jajak pendapat atau pemilihan umum raya: memilih Aceh tetap bersama NKRI atau merdeka dari Indonesia.

Pada periode tersebut, isu referendum sempat muncul di dua provinsi di Indonesia. Pertama Aceh kemudian Timor Timur. Berbeda dengan Aceh, provinsi Timor Timur justru sukses dengan pelaksanaan referendum yang mengakibatkan daerah tersebut kini menjadi negara sendiri.

Kini wacana referendum di Aceh kembali dihembuskan oleh seorang mantan kombatan GAM yang memiliki pengaruh besar di perpolitikan daerah. Namun, ternyata tidak semua pihak mendukung referendum yang menggelinding dalam beberapa hari terakhir tersebut. Petinggi partai SIRA, misalnya. Sebagai partai politik lokal yang pada pemilu 2019 meraih satu kursi di DPRA dan mayoritas pejabat partai adalah penggagas referendum Aceh pada 1998-1999 lalu, SIRA menunjukkan sikap berbeda terkait isu yang disampaikan Mualem tersebut.

Dikutip dari Serambi Indonesia edisi Rabu, 29 Mei 2019, Muhammad Nazar yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua SIRA menilai referendum yang diwacanakan tersebut sama sekali tidak bermanfaat untuk perbaikan keadaan di Aceh, bahkan jika dipaksakan dan dipropagandakan secara berlanjut justru merugikan Aceh.

“Dengan kasat mata politik kan bisa dilihat itu ada kepentingan pribadi, kekecewaan dan bisa ditunggangi. Kita tidak pernah berharap lagi ada orang Aceh atau tokoh lokal Aceh yang direkayasa orang lain lalu jualan isu perjuangan Aceh untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan elit pemerintah di daerah maupun di pusat,” ujar Nazar.

Muhammad Nazar justru menyarankan, Aceh kalangan luar Jawa harus bersiap dengan segala kemampuan dan keahlian untuk membangun daerah secara cepat, berkualitas dan bermanfaat jangka panjang.

“Sehingga apapun yang terjadi terhadap Indonesia, ya Aceh harus siap. Demikian juga di luar Jawa harus siap. Jika ada kesiapan itu, manakala Indonesia eksis, maka rakyat Acehpun berperan. Dan jika Indonesia bubar maka Acehpun siap,” ujarnya.

Ia menyarankan para pemimpin Aceh dan luar Jawa menyiapkan rakyatnya, seperti kesiapan Kazakhstan, yang pernah kuat saat bersama Uni Soviet dan tetap kuat dan siap ketika Societ bubar dan Kazhkhstan menjadi negara.

“Kalau sekarang kan cuma siap ngomong kata referendum saja. Begitu dituding makar atau dikejar aparat pasti berbondong-bondong lagi bikin paspor lari ke Malasyia atau Thailand,” kata Muhammad Nazar.

Sementara Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menghargai wacana yang disampaikan Muzakir Manaf tersebut. Namun, menurut Nova, semua pendapat tentang memperbaiki Aceh haruslah berlandaskan konstitusi.

Nova yang juga Ketua Partai Demokrat Aceh mengatakan, kalau usul referendum itu memiliki peluang berdasarkan konstitusi dan perundangan-undangan yang ada, bukan tidak mungkin referendum untuk Aceh bisa terlaksana. Akan tetapi dia enggan mengeluarkan kalimat sepakat dengan pernyataan ketua Partai Aceh tersebut.

“Kita bahas lebih dalam sesudah hari raya lah. Mungkin kita juga perlu buka referensi. Nah, di pemerintah Aceh kita, tentu juga ada yang menggali, melihat, peraturan perundangan-undangannya. Nanti kita teliti dengan baik,” sebutnya.

Secara pribadi, Nova menuturkan, tiap wacana dari siapapun yang memikirkan Aceh ke depan lebih baik, dia akan sepakat. “Kalau muaranya tetap untuk kesejahteraan rakyat, harus dihargai,” tuturnya.*(RED)

Shares: