Headline

Tiga Negara di Timur Tengah Rayakan Idul Fitri Tak Ikuti Arab Saudi, Ada Apa?

Suasana shalat Idul Fitri di salah satu lapangan bola di Kota Gaza, Palestina. | Republika.com/ Foto: Dok MER-C Gaza

JAKARTA (popularitas.com) – Palestina menetapkan Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Rabu 5 Juni 2019. Mufti Besar Yerusalem, Syekh Muhammad Hussein mengatakan, Dewan Fatwa Palestina (Dar al-Iftaa) pada Senin 3 Juni malam di kompleks Masjid Al Aqsa tidak dapat melihat hilal.

“Oleh karena itu, puasa Ramadan diperpanjang sampai Selasa, dan Idul Fitri jatuh pada hari Rabu,” ujar Hussein, dilansir Wafa News Agency.

Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memberikan ucapan selamat Idul Fitri kepada seluruh warga Palestina dan negara-negara Muslim di dunia. Negara lainnya yang merayakan Idul Fitri pada hari ini antara lain Mesir, Suriah, dan Yordania.

Negara-negara di Timur Tengah merayakan Idul Fitri dengan waktu yang berbeda-beda. Biasanya secara tradisional, negara-negara di Timur Tengah mengikuti keputusan Arab Saudi dalam menentukan Idul Fitri. Perbedaan ini disebut karena adanya faktor politik.

Di Gaza, masjid-masjid menyerukan bahwa Idul Fitri jatuh pada hari Selasa setelah Arab Saudi mengumumkan keputusannya. Namun, ketika Mufti Hussein menyatakan tidak dapat melihat hilal pada Senin malam, maka perayaan Idul Fitri di Palestina berubah. Seorang imam di Masjid Al-Khalidi menyerukan kepada para jamaah agar mengikuti keputusan mufti.

Sementara itu, otoritas keagamaan di Libya awalnya menyatakan bahwa Idul Fitri jatuh pada Rabu. Namun perayaan Idul Fitri berubah menjadi hari Selasa mengikuti pengumuman Arab Saudi.

Seorang pakar gerakan Islam dan profesor di Universitas Nasional An-Najah di Nablus, Farid Abu Dhair mengatakan, ada spekulasi bahwa Gaza, Yordania, dan Otoritas Palestina tidak mengikuti keputusan Arab Saudi karena alasan politik.

Mereka meyakini, secara implisit Saudi mendukung rencana perdamaian antara Israel dan Palestina yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dia menambahkan, hal ini dapat memperburuk perpecahan umat Islam.

“Mufti akan selalu dan selalu mempertanyakan para astronom. Jika masyarakat Muslim bisa menyetujui pengamatan astronomi, itu akan menjadi tanda positif untuk menemukan titik temu di dunia Arab,” ujar Abu Dhair. (RED)

Sumber: Republika.co

 

Shares: