News

Tim USK temukan beberapa pasal UUPA dikunci oleh aturan perundang-undangan

Tim USK temukan beberapa pasal UUPA dikunci oleh aturan perundang-undangan
Tim USK temukan beberapa pasal UUPA dikunci oleh aturan perundang-undangan
Ilustrasi, Tim USK menyerahkan naskah akademik dan draft revisi UUPA kepada DPRA, Senin (1/11/2022). Foto: Humas DPRA

POPULARITAS.COM – Tim Universitas Syiah Kuala (USK) menyerahkan naskah akademik dan draft revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Senin (31/11/2022). Serah terima dilaksanakan dalam ruang sidang paripurna yang diterima langsung oleh Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri.

Selain menyerahkan draft dan naskah akademik UUPA, Tim USK turut mempresentasikan naskah akademik draft revisi UU RI No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Hadir dalam presentasi dan penyerahan naskah akademik tersebut Rektor USK, Prof Marwan. Ikut hadir dalam presentasi ini akademisi Fakultas Hukum sekaligus penyusun naskah, Prof Faisal A Rani, Ria Fitri, Husni Jalil, dan Sanusi Bintang.

Dalam draft revisi tersebut, Tim Penyusun Naskah Akademik turut menilai ulang tentang sistem Pemerintahan Aceh di dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, tim juga menempatkan Undang-Undang Pemerintah Aceh di dalam sistem hukum nasional.

Tim USK juga mendapatkan bahwa dalam UUPA terdapat beberapa pasal, khususnya terkait dengan penyerahan wewenang, selalu dikunci berdasarkan norma standar.

“Selalu dikunci dengan aturan perundang-undangan. Ini menjadi hambatan kita,” kata Juru Bicara Tim USK, Prof Faisal A Rani.

Menurutnya, akibat adanya frasa yang mengikat tersebut di dalam beberapa pasal UUPA turut mengakibatkan menerapkan asas-asas hukum di dalam penerapannya. Sehingga, menurut Prof Faisal, UU tersebut menjadi tergerogoti atau tereliminir dengan berlakunya UU baru.

“Ini yang banyak kita hambatan di dalam pelaksanaan, begitu kita ingin melaksanakan, itu selalu diuji dengan sistem hukum nasional. Karena itu keberadaan UU Pemerintah Aceh di dalam sistem hukum nasional, tidak bisa kita baca tunggal. Dia harus dibaca sistem hukum nasional berdasarkan diversitas hukum, di dalamnya terdapat berbagai sumber hukum. Nah oleh karena itu kita menempatkan UUPA sebagai subsistem dari sistem hukum nasional. Kalau kita menempatkan dia sebagai sistem hukum nasional, ini seperti kita tidak punya makna apa-apa,” ungkap Prof Faisal A Rani.

Pemahaman tersebut, menurut Prof Faisal baru berlaku sekarang dan beda konteks saat UU PA disusun pada tahun 2006 lalu. Pada masa penyusunan awal, UU PA ditempatkan sebagai sistem hukum nasional. “Tetapi begitu kita terapkan, kita hadapi berbagai persoalan, norma hukum, tereliminir,” kata Prof Faisal.

Selanjutnya, Tim Penyusun Naskah Akademik dari USK juga mengkaji tentang asas hukum. Dalam asas hukum diketahui undang-undang yang lebih tinggi menghapus undang-undang yang lebih rendah. “Undang-undang yang spesial menghapus undang-undang yang umum, undang-undang yang baru menghapus undang-undang yang lama,” kata Prof Faisal.

Dari beberapa persoalan itulah kemudian membuat Tim USK berharap adanya penghapusan frasa-frasa di dalam beberapa pasal yang berbunyi “sesuai dengan aturan perundang-undangan.” Frasa tersebut, menurut Tim USK, sangat mengganggu dalam pelaksanaan Undang-Undang Pemerintah Aceh.

“Dalam pandangan kami, penyerahan wewenang tidak boleh bersyarat, kalau bersyarat, wewenang itu hampir dipastikan tidak bisa dijalankan dengan baik,” papar Prof Faisal.

Prof Faisal menyampaikan terdapat beberapa pasal dalam UU PA yang menjadi catatan Tim USK untuk direvisi. Dia mencontohkan seperti Pasal 7, Pasal 67 terkait dengan masalah pejabat, Pasal 160, Pasal 165, Pasal 181, Pasal 183, Pasal 194, Pasal 235, Pasal 251, dan penambahan Pasal 254. Meskipun demikian, Prof Faisal mengakui tidak banyak yang diubah dalam revisi UU PA versi USK.

“Kalau kita mengajukan banyak sekali (perubahan), nanti bukan UU ini direvisi, tetapi dicabut. Kita tahu suasana geopolitik yang pada saat UU ini ditetapkan dengan (kondisi) sekarang, jauh berbeda di DPR RI,” ungkap Prof Faisal.

Prof Faisal mengakui banyak pasal di dalam UU PA yang bermasalah, tetapi sejauh ini menurutnya belum mengganggu sistem Pemerintahan Aceh. “Kalau semua kita sentuh, ini bukan perubahan lagi, pencabutan nanti,” tegasnya lagi.

Ketua DPR Aceh, Saiful Bahri atau akrab disapa Pon Yaya menyebutkan, penyerahan naskah akademik dan presentasi draft revisi UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tersebut merupakan tindak lanjut dari rapat-rapat yang pernah digelar Tim Advokasi UU PA. Dia mengatakan meski sudah ada draft yang disiapkan, tetapi DPR Aceh masih membuka ruang bagi masyarakat Aceh untuk memberi masukan-masukan terhadap pasal-pasal di dalam UU PA yang dianggap melemahkan kewenangan daerah tersebut.

“Nanti setelah ada sosialisasi di daerah-daerah, maka akan kita finalisasi lagi di DPR Aceh,” kata Saiful Bahri. “Jadi ini belum final, ini masih draft sementara,” kata Saiful Bahri lagi.

Selain itu, kata Saiful Bahri, kewenangan merevisi Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 berada di DPR RI. Sementara DPR Aceh, menurut Saiful Bahri, hanya membuat Daftar Isian Masalah (DIM) tentang hal apa saja yang dianggap tidak sesuai dengan kewenangan dan butir-butir perjanjian damai di Helsinki lalu.

“Kita bersama-sama telah menjumpai DPR RI untuk mempertanyakan tujuan revisi UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Apakah untuk memperkuat kewenangan Aceh atau justru sebaliknya,” kata Saiful Bahri.

Dalam pertemuan dengan Banleg DPR RI, kata Saiful Bahri, pihaknya mendapat masukan positif terkait wacana merevisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Menurut pengakuan Banleg DPR RI, mereka berkeinginan agar Aceh maju dan mendapat kewenangan seperti yang disepakati dalam MoU Helsinki. “Menurut keterangan dari Banleg DPR RI, maka itulah diharapkan partisipasi penuh dari semua anggota DPR Aceh dan masyarakat Aceh. Lantaran Banleg DPR RI meminta bantuan tersebut, maka kita penuhi untuk membuat naskah akademik dan draft revisi UU PA sesuai keinginan rakyat Aceh,” kata Pon Yaya yang turut didampingi Wakil Ketua Dalimi dan Ketua Banleg Mawardi atau Teungku Adek.

Presentasi Naskah Akademik dan draft revisi UU PA tersebut turut dihadiri sejumlah anggota DPR Aceh dari lintas fraksi. Hadir pula para politisi, akademisi dan praktisi hukum.

Salah satu anggota DPR Aceh, Tgk M Yunus, mengapresiasi kinerja Tim USK yang telah menyusun draft revisi UU PA. Dia berharap para koleganya untuk tidak jenuh membahas Undang-Undang Pemerintah Aceh yang menjadi kekhususan daerah tersebut. “Karena apa yang kita perjuangkan ini adalah kekhususan untuk anak cucu kita,” kata politisi dari Partai Aceh tersebut.

Sementara Nurzahri, politisi Partai Aceh yang ikut hadir dalam presentasi tersebut, mengaku tertarik dengan Norma, Standar dan Prosedur (NSP) dalam sebuah kajian undang-undang. Dia menyebutkan ada permasalahan dalam norma, standar, dan prosedur yang patut menjadi perhatian semua pihak, terutama Tim Kajian Advokasi.

“Ada putusan MK terkait dengan gugatan teman-teman di Papua, yaitu putusannya Nomor 47 Tahun 2001 tentang UU Otsus Papua. Dimana dalam narasi hukum MK, sama persis seperti harapan yang dipaparkan oleh Tim USK tadi, bahwa norma standar prosedur ini cenderung menyandera aturan-aturan yang seharusnya menjadi solusi, tetapi karena ada kata-kata berdasarkan NSP tadi, menyebabkan regulasi yang seharusnya menjadi solusi tadi malah tersandera kembali dengan aturan-aturan yang ambigu,” kata Nurzahri.

Selain itu, Nurzahri turut menyorot tentang narasi pasal-pasal di dalam undang-undang kekhususan Aceh yang cenderung bersifat umum. Sehingga, menurutnya, jika frasa-frasa norma standar prosedur di dalam pasal-pasal tertentu di dalam UU PA dihapus, maka narasi pasal itu menjadi tidak inplikatif.

“Jika kita sepakat menghapus penggunaan frasa norma standar prosedur dalam pasal-pasal UU RI No 11/2006, maka menurut saya, solusinya adalah terhadap pasal-pasal yang ada kata-kata NSP harus diatur secara rigit lengkap atau diberikan klausul atributif kepada aturan di bawah untuk mengatur lebih detail. Kalau tidak, itu akan menjadi perdebatan terus,” ujar Nurzahri.

Sementara Ridwan Yunus dari Fraksi Gerindra berharap revisi ini turut mengatur agar Qanun yang dilahirkan oleh UU RI Nomor 11 tahun 2006 harus dipandang sama dengan Peraturan Pemerintah (PP). Menurutnya kalau qanun yang dilahirkan dari rahim UU PA tidak dipandang sama dengan PP, maka akan menjadi sia-sia upaya dewan melahirkan aturan hukum tersebut.

“Karena semua kewenangan itu ada aturannya, ada regulasinya secara nasional. Tidak ada di dalam UU Nomor 11 tahun 2006 ini yang tidak ada regulasi nasional, tidak ada. Semua dalam bertata negara ada aturannya,” ungkap Ridwan Yunus.

Samsul Bahri atau akrab disapa Tiyong dari Fraksi PNA dalam presentasi tersebut turut berharap agar dewan diberikan waktu untuk mempelajari naskah akademik dan draft revisi UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang baru saja disusun Tim USK. Meskipun demikian, Tiyong turut menyorot Pasal 144 UU PA terkait pertanahan.

“Kita sekarang di Aceh telah membuat Badan Pertanahan Aceh sekian tahun, tetapi belum ada fungsi karena benturan dengan kaitan Badan Pertanahan Nasional. Ini juga harus jelas, karena Badan Pertanahan Aceh dibentuk dengan Qanun Aceh sesuai Pasal 44,” tambah Samsul Bahri.

Dia juga berharap dalam penyusunan narasi pasal demi pasal tidak memakai frasa bersayap, tetapi harus tegas.

Abdurrahman Ahmad dari Fraksi Gerindra DPR Aceh yang hadir dalam rapat tersebut turut menekankan batas teritorial laut Aceh yang dimasukkan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006. Selain itu, Abdurrahman Ahmad juga menyorot terkait zakat yang dimasukkan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006.

“Ternyata pada saat kita laksanakan banyak kendala, karena zakat itu dilaksanakan berdasarkan hukum syariat Islam tersendiri. Dan ini sekarang terikat dengan peraturan pengelolaan keuangan daerah sehingga dia harus masuk APBA dan harus melalui pembahasan. Sekarang terjadi banyak sekali SiLPA dari sektor zakat yang tidak bisa digunakan,” ungkap Abdurrahman Ahmad.

Dia berharap dalam revisi tersebut nantinya, sektor zakat tidak lagi dimasukkan sebagai pendapatan Aceh. Abdurrahman bahkan berpendapat agar zakat diatur sendiri oleh Baitul Mal dengan sistem badan syariat tersendiri.

Selain itu, Abdurrahman Ahmad juga menyorot tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang diberikan hak kepada para non-Muslim untuk memilih menjalani hukuman sesuai KUHP atau Qanun Jinayah. Abdurrahman berharap dalam pelaksanaan syariat Islam nantinya di Aceh diberlakukan aturan teritorial, tidak lagi berdasarkan azas pendudukan.

“Siapapun yang melanggar syariat Islam di Aceh, dia harus mengikuti aturan syariat Islam. Seperti kita contoh ke Arab (Saudi), ketika kita ke Arab, ketika kita melanggar, kita tunduk kepada aturan di Arab itu. Jadi azas teritorial,” kata Abdurrahman.

Dalam pendapatnya, Abdurrahman Ahmad juga meminta revisi UU RI Nomor 11 tahun 2006 untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPR. Permintaan ini bukan tanpa alasan. Menurut Abdurrahman, ide untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui sistem parlementer telah disuarakan secara nasional. Selain itu, menurutnya, KPK juga telah menganalisis sumber terbesar korupsi di Indonesia lantaran sistem pemilihan langsung kepala daerah yang membutuhkan biaya besar.

“Jadi kita coba, pemilihan gubernur dan kepala daerah kabupaten kota dipilih oleh DPRD,” kata Abdurrahman.

Banyak hal lainnya yang dikemukakan anggota DPR Aceh dalam presentasi draft revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tersebut. Seperti misalnya saran politisi dari Fraksi Demokrat DPR Aceh, Thantawi, agar UU tersebut juga mengatur secara tegas terkait lambang dan bendera Aceh yang menurutnya sangat penting agar tidak terjadi polemik berkepanjangan di daerah.

“Itu perlu dimasukkan, bahwa itu penting, bahwa masyarakat Aceh itu butuh bendera, seperti yang saya lihat di Maluku Utara yang memiliki dua bendera. Kenapa kita di Aceh tidak bisa? Jadi saya minta (itu dimasukkan) supaya itu bersanding, supaya tidak ada lagi perdebatan,” pungkas Thantawi.

Shares: