Dinas Kebudayaan dan Pariwisata AcehFeature

Asal mula Aceh dijuluki Tanah Rencong

Menurut dosen FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala ini, penyematan julukan itu tak terlepas dengan senjata yang digunakan oleh pejuang Aceh saat melawan penjajah.
Asal mula Aceh dijuluki Tanah Rencong
Masjid Raya Baiturrahman salah satu ikon Kota Banda Aceh. (Dani/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Berbicara tentang Aceh seakan tak ada habisnya. Provinsi yang berada di paling barat Indonesia ini memiliki sejarah panjang dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia. Karena itu pula, salah satu alasan mengapa Aceh dijuluki Tanah Rencong.

Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi Abdul Hamid menuturkan, asal muasal julukan Aceh sebagai Tanah Rencong memiliki kisah yang panjang.

Hal ini juga tak terlepas dari semangat masyarakat Aceh dalam melawan penjajah dengan menggunakan senjata itu.

“Karena senjata rencong banyak digunakan saat mengusir penjajah, dan sangat sakti dalam mengusir penjajah,” kata Cek Midi, sapaan akrab Tarmizi Abdul Hamid, belum lama ini.

Menurut Cek Midi, dulu senjata rencong sangat ditakutkan oleh para penjajah, baik dari Belanda maupun Portugis. Keperkasaan orang Aceh dalam melawan pihak asing bahkan membuat penjajah geleng-geleng kepala.

“Semua para penjajah yang pernah datang ke Aceh senjata yang mematikan ini sangat ditakutkan. Keberanian orang Aceh dalam penggunaan senjata rencong ini maka Aceh lebih dikenal dengan Tanah Rencong,” ujar Cek Midi.

Oleh karena itu, katanya, rencong dalam masyarakat Aceh adalah produk budaya yang dinisbatkan pada perjuangan rakyat Bumi Serambi Makkah dalam melawan penjajah asing.

“Rencong melambangkan gigihnya perjuangan dan mempertahankan harkat dan martabatnya,” kata Cek Midi.

Direktur PDIA sekaligus Dosen FKIP Sejarah USK, Mawardi Umar. | foto: Muhammad Fadhil

Sementara, Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) Mawardi Umar menyebutkan, ada beberapa analisis mengapa Aceh dijuluki Tanah Rencong.

Menurut dosen FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala ini, penyematan julukan itu tak terlepas dengan senjata yang digunakan oleh pejuang Aceh saat melawan penjajah.

“Tanah Rencong, itu senjata, karena semangat orang Aceh berjuang sejak Portugis dulu, kemudian Belanda, tidak ada bandingnya di Indonesia,” kata Mawardi.

Mawardi menjelaskan, pada masa penjajahan, selain memakai meriam pejuang Aceh juga menggunakan rencong dalam mengusir penjajah asing.

Saat itu, kata Mawardi, semangat masyarakat Aceh dalam melawan penjajah Belanda memang tak ada bandingnya. Mereka berjuang secara ikhlas dan dengan alat seadanya.

“Semangat orang Aceh mempertahankan wilayahnya itu tak ada bandingnya, makanya Aceh dijuluki Tanah Rencong.”

“Walaupun perang itu tidak semuanya pakai rencong, orang Aceh berperang pada masa kerajaan sudah pakai meriam, karena julukan semangat itu, semangat juang,” tutur Mawardi.

Melestarikan Rencong

Provinsi Aceh mempunyai sejarah panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, sehingga Indonesia meraih kemerdekaan.

Salah satu senjata yang digunakan orang Aceh dalam melawan penjajah adalah rencong. Sehingga, rencong kini sudah dijadikan simbol identitas diri, keberanian, dan ketangguhan masyarakat Aceh.

Salah satu wilayah di Aceh yang masih melestarikan pembuatan rencong adalah Gampong Baet Mesjid, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar.

Dia adalah Yudi Hidayat. Pria berusia 37 tahun ini sejak tahun 1995 silam menekuni bidang pembuatan rencong sebagai senjata khas Aceh.

Pekerjaaan pembuatan rencong ditekuni Yudi sejak ia masih usia remaja atau 11 tahun dan saat itu Aceh masih didera darurat militer, antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia.

Yudi membuat rencong sebagai suvenir atau kenang-kenangan dan juga bisa sebagai benda tajam yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Aceh.

Pada masa konflik bersenjata, rencong sangat laku dan sangat diminati oleh TNI sebagai oleh-oleh khas Aceh, juga sebagai cenderamata yang bisa dipajang di rumah ataupun kantornya.

Kegiatan melestarikan budaya Aceh ini terus ditekuninya hingga saat ini sebagai bukti kecintaannya untuk Aceh. Di sisi lain, juga untuk membantu ekonomi diri sendiri dan warga sekitar.

“Alhamdulillah dengan menekuni pekerjaan ini, saya dapat membantu membangkitkan ekonomi keluarga dan warga sekitar, dan saat ini saya menjadi distributor rencong di berbagai toko suvenir di Aceh,” kata Yudi.

Perajin Rencong, Yudi Hidayat (kanan) bersama pembeli di Gampong Baet Mesjid, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, beberapa waktu lalu.

Harga yang terjangkau menjadikan pemilik toko senang mengambil barang dari Yudi. Harganya bervariasi mulai Rp10 ribu hingga Rp150 ribu, tergantung ukuran dan jenis bahan bakunya.

“Ada juga yang lebih mahal lagi dan itu tergantung pesanan konsumen,” ujar Yudi.

Cenderamata rencong ini, kata Yudi, banyak diminati oleh orang luar Aceh dan tamu dari mancanegara, seperti Malaysia dan negara tetangga lainnya.

Bahkan, pasca bencana gempa dan tsunami melanda Aceh tahun 2004, rencong laris manis karena diminati oleh para relawan asing yang datang ke Aceh.

“Di situlah cenderamata ini semakin terkenal ke berbagai belahan dunia,” jelas Yudi.

Selama menjadi penrajin dan distributor, Yudi meraih keuntungan sekitar Rp3 juta setiap bulannya.

Namun, saat pandemi omzet dari penjualan rencong menurun drastis menjadi Rp1 juta per bulan. Hal ini karena tidak ada lagi tamu-tamu luar yang datang ke Aceh.

“Dan tidak ada lagi even-even nasional yang diadakan di Aceh,” ungkap Yudi.

Dia berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, sehingga usahanya kembali membaik. Ia juga berharap Pemerintah Aceh dapat mengadakan kembali even-even bertaraf nasional dan Internasional dalam mendongkrak perekonomian rakyat.

“Semoga saat pandemi berakhir, even-even kembali hadir di Aceh untuk mendongkrak kembali perekonomian warga Aceh yang telah anjlok semasa Covid-19,” kata Yudi.

Salah seorang pembeli, Ziaul Fahmi datang langsung ke kediaman Yudi untuk membeli senjata tradisional itu, beberapa waktu lalu.

Menurut Ziaul, barang yang diproduksi perajin rencong Gampong Baet Mesjid, Aceh Besar ini sangat bagus dan berkualitas.

“Pembuatannya bagus dan sangat rapi, kali ini saya membeli 8 rencong dengan ukuran bervariasi untuk saya kasih sebagai cendramata kepada teman saya di Pulau Jawa,” kata Ziaul, pemuda asal Bireuen yang kini bermukim di Subang, Jawa Barat.

Ziaul juga berharap kepada pemuda Aceh untuk selalu ikut serta melestarikan adat dan budaya Aceh supaya tidak punah. Salah satunya dengan membeli rencong sebagai produk lokal.

“Pemuda Aceh juga diharapkan selalu ikut mendukung dan memasarkan produk-produk Aceh demi membangkitkan perekonomian rakyat Aceh,” ujar Ziaul.

Shares: