News

Asal Usul Ngabuburit, Budaya Khas Ramadhan di Indonesia

Ilustrasi, warga ngabuburit pada Aceh Festival Ramadhan (AFR) 2021 di Taman Budaya Banda Aceh, Selasa (27/4/2021). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Jalan-jalan santai di waktu sore, nongkrong di tempat favorit sembari menikmati semilir angin bersama teman atau kerabat, atau sibuk menyusuri pasar kaget mencari menu berbuka puasa alias iftar menjadi gambaran ngabuburit yang terjadi di berbagai penjuru Indonesia kala Ramadan.

Namun tradisi itu agak sulit dilakukan dalam dua Ramadan terakhir akibat pandemi yang memaksa semua orang untuk saling menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan. Sehingga bagi sebagian orang, tradisi ngabuburit menjadi sesuatu yang dirindukan.

Bertahun-tahun ‘menjalani’ tradisi ngabuburit, tak banyak yang menyadari bahwasanya kata “ngabuburit” sendiri berasal dari bahasa Sunda. Kata “ngabuburit” diyakini berasal dari “ngalantung ngadagoan burit” yang berarti “bersantai sambil menunggu waktu sore”.

Kamus Sunda-Indonesia terbitan Kemendikbud pada 1985 mencatat kata “burit” yang bermakna “senja”, dan kata “ngabuburit” sebagai “jalan-jalan menunggu waktu sore, biasanya pada bulan puasa”.

Kata dari bahasa daerah itu kemudian diserap menjadi bahasa Indonesia dan dicatat secara resmi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

KBBI V (2016) mencatat kata “burit” sebagai kata dasar yang bermakna “sore”, kemudian turunannya yaitu “mengabuburit” sebagai “menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan”.

Meski telah diserap jadi bahasa Indonesia dan dijalani sebagai kebiasaan dalam budaya masyarakat lokal ketika Ramadan tiba, nyatanya “ngabuburit” tidak mutlak lahir dari tanah Nusantara.

Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra mengatakan ngabuburit pada dasarnya respons umum dari umat muslim jelang buka puasa. Sehingga, ngabuburit tak hanya terjadi di Indonesia.

“Itu bisa kita lihat pada hampir semua masyarakat di mana mayoritas orang Islam dan bulan puasa. Itu kan tujuannya untuk menunggu berbuka puasa kan. Jadi, kalau seperti itu bukan hanya Indonesia saja,” kata Heddy, beberapa waktu lalu.

“Kalau kita lihat ke Arab, di Mesir juga ada karena mereka kan juga menyambut buka puasa. Itu di Makkah juga sangat terasa ngabuburitnya. Jadi menurut saya itu sangat umum, hanya saja memang istilahnya di sana bukan ngabuburit,” lanjutnya.

Dari Alun-alun ke Islamisasi Kampus

Tak pernah ada catatan resmi kapan kebiasaan masyarakat di waktu senja ini dilakukan, hanya saja ngabuburit diyakini sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.

Sejumlah catatan kecil yang mendokumentasikan ngabuburit, di antaranya keterangan bahwa masyarakat Bandung, Jawa Barat, sudah terbiasa ngabuburit di kawasan Alun-alun Bandung sejak dekade 1950-an.

Hal itu tercatat pada kajian Tradisi Keagamaan Masyarakat Kota Bandung di Bulan Ramadan Tahun 1990-2000 karya M Fajar, Sulasman, Usman Supendi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung yang terbit di jurnal Historia Madania Volume 2 Nomor 2 tahun 2018.

Warga Bandung masa lalu ngabuburit dengan cara beramai-ramai main ke taman atau lapang olahraga, berenang, dan menangkap ikan di Cikapundung, atau mandi di pemandian umum, sumur bor dekat Alun-alun,” tulis mereka.

Sampai akhir tahun 1950-an, orang masih bisa ngabuburit naik perahu di Situ Aksan atau Situ Bunjali.” tulis ketiganya menyebut danau di Bandung yang hilang pada dekade 1980-an.

Meski disebut telah ada sejak dulu, Heddy menilai kebiasaan ngabuburit ini semakin gencar terasa dan marak ketika dekade 1980-an. Heddy menyatakan hal tersebut sejalan dengan gencarnya kegiatan bernuansa Islam di kampus-kampus.

“Dulu ada yang namanya PNDI (Pengkajian Nilai Dasar Islam). Nah semenjak itu kemudian muncul ‘ramadan in kampus’, kemudian muncul buka bersama di kampus. Mahasiswa menunggu buka itu macam-macam kegiatannya. Di kampus itu sangat kelihatan,” tutur Heddy.

Selain kegiatan bernuansa Islam yang semakin marak di kalangan pemuda kampus, Heddy juga menilai ngabuburit semakin dikenal luas masyarakat pada dekade itu karena faktor stabilitas sosial dan politik Indonesia. Kala itu, diketahui Indonesia berada di era Orde Baru yang ketat dalam menjaga stabilitas nasional.

“Saya juga mengaitkan dengan tingkat kemakmuran masyarakat Indonesia yang sudah lebih baik, situasi sosial politik juga lumayan. Maka orang mulai bisa keluar jalan-jalan dan tak bisa lepas dari maraknya kapitalisme,” ujar Heddy.

“Saya ingat betul waktu itu TVRI Yogya juga melihat fenomena ngabuburit itu. Jadi mereka juga melihat itu peristiwa luar biasa. Nah itu awal-awal ’80-an,” kata Heddy.

‘Dunia dan Akhirat Tercapai’

Heddy menilai ngabuburit kini menjadi kegiatan yang amat digemari umat muslim Indonesia sebab “dunia dan akhirat tercapai”. Menurutnya, ngabuburit tak bisa dinilai atau dilihat sebagai aktivitas jelang berbuka sendiri.

Aktivitas yang dilakukan setelah ngabuburit juga perlu diperhatikan, seperti berbuka dan salat.

“Orang-orang pada suka karena dunia dan akhiratnya tercapai. Dunianya itu ketemu teman dan makan bersama. Akhiratnya pasti salat maghrib duluan [sebelum makan berat] atau setelahnya, salat maghrib,” kata Heddy.

“Jadi ngabuburit itu enggak bisa lepas dari kegiatan setelahnya. Tidak bisa memahami ngabuburit berdiri sendiri, harus dihubungkan dengan buka bersama dan kemudian ada salat bersama,” lanjutnya.

Sumber: CNN

Shares: