FeatureHeadline

Cerita Mahasiswa Papua Berlebaran Di Aceh

Jamaah shalat Id Idul Fitri di lapangan bola kaki Gampong Pante Pirak, Susoh, Rabu 5 Juni 2019.Abdya (Asmunda)

PULUHAN ribu masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) tumpah ruah di lapangan bola kaki Gampong Pante Pirak, Susoh, Rabu 5 Juni 2019.

Dari rumah, langkah kaki bersicepat diiringi lantunan takbir yang berkumandang tak putus-putus. Gema takbir, tahmid, dan tahlil itu laksana magnet yang menarik penduduk di bumi Breuh Sigupai berkumpul di sana.

Masih terang-terang tanah (istilah untuh subuh buta), tapi masyarakat sudah mulai datang ke lapangan sepak bola tersebut. Mereka hendak melaksanakan salat Idul Fitri 1440 Hijriah. Jamaah itu datang dari berbagai lintas usia.

Namun ada yang berbeda dengan pagi itu. Usai melaksanakan salat Id, di antara ribuan masyarakat dan kendaraan yang mengular di badan jalan, pandangan saya tertuju pada sesosok pria.

Orangnya tinggi semampai. Di kepalanya duduk rapi sebuah kopiah motif rajutan. Mengenakan sarung dan baju koko bentuk variasi tiga kancing di dada, pria itu tampak gagah dan tak canggung berjalan di dalam kerumunan jamaah salat Id. Di tangannya tergenggam selembar sajadah.

“Nama saya Alfatin Samay, bang. Asal saya dari Papua Barat, di kabupaten Kaimana,” ujarnya ketika saya dekati dan ajak bicara.

Alfatin Samay (24) adalah seorang mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Kepada saya dia mengatakan, kini sedang menempuh studi di jurusan Agribisnis. “Sekarang semester 8,” katanya tersenyum.

Alfatin Samay, jalan bersama warga (Asmunda)

Sudah nyaris 1 bulan Alfatin di Abdya. Dia sengaja mengisi waktu libur kuliah dengan bertandang ke kampung halaman teman sekampus. Saat itu, sebutnya, ketika sang teman hendak mudik merayakan lebaran di kampung, ia diajak ikut.

Tanpa pikir panjang, dan menimbang dari pada berlebaran di Banda Aceh yang sudah pernah dirasa, Alfatin akhirnya menerima tawaran teman tersebut.

Hatinya memang agak sedikit berat meninggalkan Banda Aceh. Sebab, teman-teman di Himpunan Mahasiswa Papua Aceh, tempat dimana dirinya bernaung satu atap dengan orang daerah, semua tak bisa pulang kampung.

Kata Alfatin, mereka tak bisa merasakan momen lebaran bersama keluarga bukan karena mepetnya waktu libur yang ditetapkan kampus, melainkan karena mahalnya ongkos tiket pesawat. Uang beasiswa hanya diterima pas-pasan. Ongkos dari Aceh ke Papua sangat “mencekik”.

Semua anak Papua yang tengah menuntut ilmu di Aceh, terpaksa membuang jauh-jauh harapan untuk bisa berjabat tangan dan memohon maaf dengan sanak keluarga pada lebaran kali ini.

Kondisi demikian, tak hanya dialami oleh mahasiswa Papua beragama Islam yang ingin berlebaran di kampung halaman. Teman-teman Alfatin lain, dari Kristen misalnya, saat perayaan natal juga bernasib sama.

“Nggak pulang ya karena itu tadi, faktor mahalnya harga tiket pesawat,” ungkapnya.

Selama di Abdya, ia mengaku nyaman menjalani ibadah puasa di sana. Semua orang tak menganggap dirinya orang asing.

Ia mengatakan, suasana ibadah puasa di tanah kelahirannya, Papua, tak jauh berbeda dengan apa yang dia rasakan di Aceh. Segalanya terasa sama. Orang-orang di sore hari berjualan takjil dan jalanan disesaki para pemburu penganan teman berbuka puasa itu. Juga mesjid-mesjid yang penuh dan lantunan ayat suci Alquran yang tak putus.

“Cuma bedanya, kalau di sana suasananya kita dekat dengan keluarga kan, itu yang sulit sekali sa buang dalam ingatan. Terbayang terus,” katanya memendam senyum. Saya memperhatikan bola mata anak muda dari tanah Cendrawasih itu. Sebongkah rindu memijar terang dan tampak tak kuasa ia simpan rapat.

Jamaah shalat Id Idul Fitri di lapangan bola kaki Gampong Pante Pirak, Susoh, Rabu 5 Juni 2019.Abdya (Asmunda)

Namun dari apa yang diterima Alfatin, sambutan hangat warga kampung halaman sang teman, membuat hatinya yang tengah membuncah rindu pada sanak keluarga di Papua sedikit terobati.

“Di sini, walaupun jauh dari Papua, saya merasa sudah seperti punya keluarga dekat saja. Nyaman sekali,” ucapnya.

Di Abdya dia menuturkan punya banyak kenalan. Lepas salat Ied, dirinya akan berkunjung ke rumah-rumah kolega tersebut. “Sudah seperti keluarga semua.”

Selama berada di manapun, anak muda yang murah senyum ini, selalu membawa petuah yang dulu dipatri orang tuanya sebelum merantau. Dan hal itu menancap tajam di dirinya.

“Kalau kita bawa diri baik sama orang, orang juga pasti baik sama kita,” katanya, mengulang petuah orang tuanya tersebut.*(ASM)

Shares: