POPULARITAS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk Muharuddin dan dua anggota dewan lainnya Kautsar dan Samsul Bahri bin Amiren dalam sidang pembacaan putusan permohonan uji materi UU Pemilu, Kamis (11/1/2018).
Pasca putusan MK tersebut yang menyatakan bahwa Pasal 571 huruf d dan Pasal 557 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, memuji kesolidan tim Aceh yang menjadi pengugat UU Pemilu.
“Kerja tim sangat solid dan strategis. Ada tiga permohonan uji materi UU Pemilu yang berkaitan dengan Aceh yang masuk ke meja MK. Meskipun satu gugatan tidak diterima, namun dua gugatan lainnya dikabulkan sebagian,” kata Aryos Nada.
Menurutnya, secara strategi politik yang dimainkan oleh tiga penggugat, memahami celah kelemahan masing masing. Selanjutnya mereka menyusun gugatan per item agar pasal-pasal yang digugat saling melengkapi.
Hasilnya adalah, kedua gugatan yang dikabulkan sebagian ini pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain. Mereka mampu bekerja sama sekaligus memanfaatkan celah hukum yang ada. Tidak heran kemudian kerja taktis yang dilakukan oleh tim Aceh berbuah kemenangan.
Seleksi KIP Dikembalikan ke DPRA
Konsekuensi selanjutnya dari Putusan MK ini, menurut Aryos seleksi KIP Aceh dan KIP Kabupaten Kota juga Panwaslih Aceh, Panwaslih Kabupaten/Kota tetap menyesuaikan kembali pengaturannya sebagaimana UUPA.
“Kembali pengaturannya ke UUPA. Dimana diatur bahwa seleksi KIP Aceh dilaksanakan oleh DPRA sedangkan KIP Kabupaten/Kota oleh DPRK. Selain itu komposisi komisioner juga tetap, yaitu KIP Aceh 7 orang komisoner sedangkan KIP Kabupaten/Kota 5 orang,” jelas Pengamat Politik dan Keamanan ini.
Lanjutnya, selain itu MK mengakui keistimewaan dan kekhususan Aceh. Pengakuan Aceh sebagai daerah berstatus khusus diatur UUPA. Secara substansi kewenangan konsultasi yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 269 UUPA, khusus diberikan kepada Pemerintahan Aceh tidak kepada daerah- daerah lainnya.
“Baik yang diatur dengan undang-undang khusus atau istimewa maupun yang diatur dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah,” jelasnya.
Aryos menjelaskan, jika perubahan UUPA oleh DPR tidak melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA, maka proses perubahannya secara yuridis formal menjadi tidak sah. Hingga detik terakhir, diketahui pemerintah pusat tidak menyertakan bukti konsultasi antara pemerintah pusat dan DPRA.
“Sehingga MK menilai pencabutan pasal dalam UUPA tersebut belumlah melalui proses konsultasi sebagaimana diamanatkan UUPA,” jelasnya.
Namun disisi lain, Aryos mengingatkan bahwa meskipun proses seleksi KIP tetap dikembalikan kepada DPRA, namun prosedur rekrutmen haruslah dilakukan secara transparan. Harus ada keterlibatan publik untuk melakukan monitoring dan evaluasi.
“DPRA harus menjamin track record calon komisoner KIP yang diseleksi kedepan dengan membuka ruang bagi publik untuk mengawasi jalannya proses rekrutmen KIP dan Panwaslih,” tutupnya.[acl]
Rerporter : Hendro Saky