News

Kebakaran Pemukiman Dominasi Bencana di Aceh Tahun 2019

Kebakaran di Dayah Labuhanhaji, Senin, 9 Desember 2019 dinihari. (Istimewa)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Bencana di Aceh meningkat dua kali lipat menjadi 797 kali kejadian di tahun 2019, jika dibandingkan dari tahun 2018. Sementara total kerugian materi akibat bencana di Aceh mencapai Rp168 miliar.

Informasi ini disampaikan oleh Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana (BPBA), Sunawardi dalam siaran pers yang diterima awak media, Kamis, 2 Januari 2020 siang.

“Bencana yang paling banyak terjadi peningkatan dari tahun 2018 yaitu kebakaran pemukiman sebanyak 285 kali, yang sebelumnya hanya terjadi 97 kali di tahun 2018 lalu. Hal yang sama terjadi pula pada Kebakaran Hutan dan Lahan yang terjadi peningkatan jumlah kejadian yakni sebanyak 220 kejadian dibandingkan pada tahun 2018 yang terjadi hanya 65 kali kejadian,” ungkap Sunawardi.

Pusat data dan informasi (Pusdatin) BPBA mencatat kejadian bencana lainnya yang juga berdampak besar pada masyarakat setempat yakni puting beliung yang terjadi 95 kali, banjir genangan 70 kali, Longsor 26 kali, Banjir Luapan 24 kali dan gempa bumi berkekuatan sekitaran 5,0-5,3 SR sebanyak 14 kali.

Sementara wilayah yang paling banyak mengalami bencana di tahun 2019 adalah Kabupaten Aceh Besar (138 kejadian), disusul Gayo Lues (50 kejadian), Aceh Selatan (49 kejadian), Aceh Barat (48 kejadian), Aceh Jaya (48 kejadian), Aceh Utara (44 kejadian) Bireuen (43 kejadian) dan Aceh Tengah (40 kejadian).

Kebakaran pemukiman paling banyak terjadi di Aceh Besar sebanyak 44 kali kejadian, Aceh Utara 24 kali dan Aceh Tengah 18 kali kejadian. Kebakaran Hutan dan Lahan juga masih banyak terjadi di Aceh Besar, Gayo Lues dan Nagan raya.

Sedangkan banjir genangan paling banyak terjadi Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Singkil dan Simeuleu. Untuk banjir bandang menerjang Kabupaten Aceh Tenggara sebanyak 2 kali kejadian, yang paling banyak berdampak korban terjadi pada 28 Maret 2019 lalu yakni sejumlah 406 rumah milik 509 KK rusak akibat terendam banjir.

Sunawardi mengatakan di Aceh juga terjadi peningkatan potensi longsor sebanyak 46 kali di berbagai kabupaten, seperti di Gayo Lues dan Aceh Barat. Sedangkan puting beliung terjadi 95 kali dan paling banyak melanda Kota Bireuen dan Aceh Utara. “Terakhir abrasi paling banyak terjadi di Aceh Barat Daya,” katanya.

Sebanyak 23.855 Kepala Keluarga dengan 88.113 jiwa terdampak bencana kurun waktu 2019. Bencana alam yang melanda Aceh juga menyebakan 1.206 jiwa menjadi pengungsi, serta enam orang meninggal dunia dan 11 orang luka-luka.

“Kerugian akibat bencana yang paling banyak dialami oleh Kabupaten Aceh Selatan sebesar Rp19 miliar, disusul Aceh Tenggara Rp15 miliar, Aceh Utara Rp11 miliar, Aceh Singkil Rp7 miliar dan Aceh Jaya sebesar Rp6 miliar,” beber Sunawardi.

Lebih lanjut, Sunawardi mengatakan kebakaran masih menjadi bencana yang paling banyak terjadi, terutama kebakaran pemukiman. Sebenarnya, kata dia, kebakaran pemukiman hanya dapat diminimalkan dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Sunawardi mencontohkan dengan memeriksa instalasi listrik yang sudah tua, yang menjadi sebab utama kebakaran.
Sedangkan penyebab lainnya adalah perlu kewaspadaan dalam mengelola sumber panas di rumah tangga, seperti mematikan kompor dan barang-barang eletronik yang harus diawasi dengan baik.

Dampak kerugian akibat banjir juga mencapai rekor di tahun 2019, termasuk kejadian banjir bandang yang menimbulkan paling banyak kerugian baik kepada masyarakat maupun infrastruktur yang ada. Banjir paling banyak disebabkan meluapnya air sungai dan pembalakan liar yang menyebabkan banjir bandang.

“Plt Gubernur Aceh telah menginisiasi agar sumber penyebab banjir perlu diidentifikasi untuk dilakukan studi kelayakan dan menyusun langkah-langkah untuk pelaksanaan secara bertahap. Beliau mencontohkan apa yang dilakukan Belanda dengan perencanaan yang baik dan membutuhkan waktu 100 tahun untuk mewujudkannya. Aceh juga harus memulai walaupun butuh waktu lama, tapi kita berusaha melakukan penyelesaian sehingga semua pihak fokus pada satu tujuan tersebut,” ujar Sunawardi mengutip pernyataan Plt Gubernur Nova Iriansyah.

Sunawardi mengakui penanganan banjir banyak menemui kendala. Kendala pertama, luasnya wilayah banjir yang harus dikendalikan. Selain itu, membutuhkan biaya yang besar dan sebagian besar sungai besar di Aceh berada di bawah kewenangan pusat.

“Belum lagi ini diperparah tata kelola lingkungan yang buruk, pembalakan liar dan pembakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.

Dia menyebutkan penanganan jangka pendek yang bisa dilakukan untuk bencana banjir yaitu mempersiapkan desa tangguh, dengan memasukan anggaran desa untuk kebutuhan kesiapsiagaan dan penanganan darurat menjadi prioritas BPBA saat ini.

BPBA juga merencanakan akan memperbanyak membangun shelter vertikal untuk korban banjir. Sedangkan penanganan masa darurat masih seputar pemenuhan kebutuhan masyarakat, sandang, pangan, kebutuhan air bersih dan huntara.

Dalam hal kebakaran lahan dan hutan, cara yang paling baik adalah pencegahan dan penegakan hukum. Beberapa kasus hukum yang sudah terjadi kemarin dianggap denda merupakan cara paling jitu dalam memberikan effek jera kepada masyarakat.

“Sebenarnya banyak hal dapat dilakukan untuk pencegahan kebakaran lahan seperti Polhut lebih intensif lagi dalam melakukan patroli menjelang musim kemarau, memperkuat koordinasi dengan kepolisian dan TNI,” pungkas Sunawardi.* (RIL)

Shares: