EkonomiNews

Kepala BPMA Akui Produksi Migas di Aceh Mulai Menurun

Kepala BPMA Teuku Mohammad Faisal | Foto: CNBC Indonesia

JAKARTA (popularitas.com) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif melantik Teuku Mohamad Faisal sebagai Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) hari ini.

Usai pelantikan, menggenjot penggunaan Enhanced Oil Recovery (EOR). Dirinya mengakui jika produksi Migas di Aceh sudah mulai mengalami penurunan.

“Sekarang kita mengakali apa yang harus kami terapkan untuk mendorong produksi, ada juga EOR, produksi migas di Aceh sudah menurun memang,” ungkapnya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin, 25 November 2019.

Faisal optimistis akan ada investor baru yang datang dan berkontrak dengan pihaknya. Dirinya juga berharap kontribusi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), apalagi wilayah kerja (WK) yang ada di Aceh. “Seperti Andaman III, Zaratex, mudah-mudahan langkah eksplorasi mereka tidak banyak halangan,” harapnya.

Sebelumnya memang ada beberapa masalah menurutnya, seperti waktu yang lama karena ada masalah terkait pengadaan dan perizinan hingga waktunya habis. “Kita akan terus memberikan, kelonggaran, untuk dapat mendukung mereka berproduksi. Dan Menteri ESDM juga mendukung hal itu,” terangnya.

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam pelantikan Kepala BPMA memberikan arahan agar pengelolaan Migas di Aceh dilakukan seoptimal mungkin agar bisa memenuhi kebutuhan domestik. Kemudian juga mengawasi pelaksanaan-pelaksanaan penambangan agar sesuai dengan aturan.

“Intinya kita percayakan yang baru itu supaya bisa melaksanakan tugas sebagiamana yang memang menjadi tujuan pemerintah,” kata Arifin.

Terkait Migas menurutnya masih ada sumber-sumber yang ke depannya akan dilakukan kegiatan eksplorasi. Tujuaannya untuk menemukan sumber-sumber baru di Aceh.

Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) Teuku Mohamad Faisal juga mengatakan dua skema pengelolaan Migas yakni gross split dan cost recovery masing-masing memiliki nilai positif. Pemerintah daerah dan pusat cukup alot dalam menentukan skema yang akan digunakan untuk perpanjangan Blok B. Meski akhirnya menggunakan skema cost recovery.

“Tapi gini, kembali yang di Aceh semua, pake cost recovery, yang di bawah 12 mil. Bola ini bukan KKKS, ini kesepakatan saja, tapi saya melihat ada celah. Banyak sisi positif, cost recovery atau gross split tetap ada sisi positif. Misalnya jika diterapkan di NSB,” ungkapnya.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, terkait dengan pengelolaan Blok B Kementerian ESDM sudah memberikan perpanjangan pengelolaan selama 1 tahun. Nantinya untuk bisnis transisi, imbuhnya, kesepakatan akan dibicarakan di luar perpanjangan tersebut.

Dirinya enggan menanggapi pihak yang meragukan kemampuan pemerintah Aceh. Menurutnya terkait dengan kemampuan, pihaknya tidak bisa menilai hal ini sekarang. “Kami sebagai regulator, akan menilai mereka setelah usulan mereka masuk,” imbuhnya.

PT Pertamina Hulu Energi NSB (PHE NSB), anak usaha dari PT Pertamina Hulu Energi, mendapat perpanjangan kontrak untuk mengelola Blok B selama satu tahun. Perpanjangan dihitung mulai 18 November 2019.

Direktur Utama PHE Meidawati menjelaskan, Blok B yang berada di Aceh Utara ini habis kontraknya sejak 3 Oktober 2018 lalu. Namun mendapat perpanjangan dua kali, dengan periode masing-masing 6 bulan dan tambahan 45 hari hingga berakhir 17 November kemarin.

Dengan perpanjangan satu tahun ini, Meidawati mengatakan akan fokus untuk transisi sebelum pengelolaan dialihkan ke Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) Meidawati mengatakan akan tetap menjaga produksi setelah peralihan ini.

“Dalam masa perpanjangan ini, tentu PHE NSB akan tetap memastikan kelancaran operasi di Blok B, juga tetap berupaya menjaga produksi sesuai dengan target dalam rangka menunjang kebutuhan migas nasional,” ujar Meidawati dalam keterangan pers, Kamis, 22 November 2019.*

Sumber: CNBC Indonesia

Shares: