News

Kiat para guru mengajar di tengah Covid-19

Melalui program itu, peserta saling berbagi pengalaman dalam praktik pembelajaran dan membangun kepemimpinan (leadership), sebagai bahan pendampingan untuk orang tua  terhadap anak- anak.
Kiat para guru mengajar di tengah Covid-19. (Ist)

POPULARITAS.COM – Pandemi Covid-19 ikut mengubah pola pembelajaran di dunia pendidikan formal, berbagai cara ditempuh untuk memutus mata rantai penyebaran virus mematikan tersebut, seperti penerapan belajar secara online atau daring dengan mengandalkan aplikasi media sosial dalam interaksi guru dan murid.

Seperti Yayasan Guru Belajar (YGB), berbagi program pengembangan potensi dan karier protean guru di Indonesia di tengah pandemi.  9.000  lebih guru dan kepala sekolah telah bergabung dalam YGB.

Melalui program itu, peserta saling berbagi pengalaman dalam praktik pembelajaran dan membangun kepemimpinan (leadership), sebagai bahan pendampingan untuk orang tua  terhadap anak- anak.

Ketua YGB, Adelina Anggraini, kepada wartawan mengatakan, programnya  dapat berkolaborasi dalam pengembangan ekosistem pendidikan di Indonesia, untuk mewujudkan sistem pelajaran yang lebih baik ke generasi emas Indonesia.

Adel yakin, jika kolaborasi dan praktik baik ini terus dikuatkan, maka tugas para guru untuk membentuk generasi unggul bisa lebih optimal dan menyeluruh.

“Kami yakin dengan berkolaborasi dengan kerja barengan kami bisa saling menguatkan bisa berbagi praktik baik satu sama lain. Bahkan lebih baik lagi jika berkolaborasi dengan unsur di luar komunitas guru,” ungkapnya.

Spirit Misi besar YGB bersumber dari konsep Merdeka Belajar yang digaungkan Menteri Nadiem Makarim dan berorientasi kepada pembentukan karakter murid hingga kecakapan hidup.

Menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbudristek, Iwan Syahril, skema pembelajaran yang diselaraskan dengan kebutuhan siswa menjadi kunci melahirkan sumber daya manusia unggul di masa depan.

”Perubahan mindset inilah yang terus dibangun. Dari situ akan lahir inovasi baru yang berpusat penuh pada tumbuh kembang murid itu sendiri,” kata Iwan.

Dari sekian banyak hasil asesmen yang dielaborasi dalam YGB , kemudian  ditemukan mindset yang salah dalam ekosistem pendidikan selama ini. Seekor kutu dalam tumpukan jerami itu ternyata adalah mindset kompetisi yang terdapat dalam kurikulum.

Kurikulum pembelajaran selama ini selalu berkutat pada nilai akademik, perangkingan hingga acara lomba yang itu justru cenderung menciptakan kultur yang memisahkan. Bukan malah menyatukan seperti dibutuhkan dalam situasi hari ini. Siswa larut dengan teori, hafalan dan dipaksa menjawab soal tanpa mamfaat.

Iwan Ardhie Priyana,  guru dari SMP Negeri 1 Nagreg, Jawa Barat mengatakan sekolahnya kini sudah meninggalkan pola lama itu, karena tidak menjawab kebutuhan zaman.

“Mindset yang harus menjadi fokus dibangun dari sekolah saat ini adalah kesiapan generasi untuk berkolaborasi.Kami di sekolah sudah sepakat untuk membangun hal yang lebih penting bagi masa depan anak, bukan lewat lomba,” tegas guru yang telah bergabung dengan YGB itu.

Iwan menyusun skema pembelajaran interaktif lewat metode pembelajaran berbasis proyek (learning based project). Tujuannya tetap untuk belajar soal kehidupan. Seperti mencuci pakaian sendiri, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Kemudian ditumpahkan dalam bentuk tulisan oleh anak didik.

Dari berbagai proyek itu kemudian dikenalkan arti kolaborasi dengan memupuk rasa empati mereka terhadap rumah, terhadap orang tua.  Sehingga murid mendapatkan pembelajaran secara kognitif dan kompetensi

Metode serupa juga diterapkan Lilik Nur Indah Sari, guru  SDI Nurul Hikmah Legok, Tangerang, Banten. Ia memberikan nilai kompetensi kepada murid dengan mengenal lingkungan rumah dan aturan ideal dalam sebuah rumah, seperti apa yang boleh dan apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam rumah.

Pola ini juga melibatkan peran orang tua untuk mengawasi apakah anak-anak mengerjakan tugas engan baik.

“Misalnya  si anak melihat handuk tidak ditaruh pada tempatnya, si anak akan menanyakan siapa yang menaruh dan memberitahu dimana letak handuk yang benar. Artinya, mengenal aturan ini tidak harus lewat soal-soal. Banyak orang tua yang awalnya heran kemudian senang,” ucap Lilik.

Katanya metode itu menumbuhkan mental kolaboratif dan moralitas yang kian hilang dalam generasi muda. kemudian di era serba digital ini  guru dituntut menjadi fasilitator karena orientasi belajar sudah harus berpusat pada kemampuan dan kebutuhan siswa.

Sementara itu Virandy Putra, guru di SMA Negeri 1 Sijuk, Bangka Belitung, mengungkap soal kendala belajar daring  dengan aplikasi smartphone , seperti masalah kapasitas  memori tiap ponsel berbeda-beda, sehingga aplikasi yang dibutuhkan siswa tidak terpasang.

Masalah itu akhirnya dipecahkan Virandy dengan  aplikasi yang mudah seperti  Instagram. Berbagai fitur dalam IG dijadikan bahan untuk berinteraksi dengan murid. Materi pembelajaran juga dikemas dengan apik untuk menarik minat belajar siswa.

Malah dengan pola itu, ia lebih mudah mengajarkan Fisika yang notabene kurang diminati kebanyakan siswa dalam proses belajar tatap muka.

“Fisika pelajaran yang kurang diminati, namun dengan aplikasi IG, anak-anak jadi lebih tertarik, karena banyak fitur yang menarik, anak-anak bisa berdiskusi pada kolom komentar dan tampilan materi juga bisa kita desain sedemikian rupa, kebetulan saya desainer,” katanya.

Menurutnya, untuk menumbuhkan minat belajar,   guru harus mampu berinovasi,  kreatif dan paham kebutuhan murid. Salah satunya dengan membuat belajar jadi lebih menyenangkan, kemudian bisa diaplikasi dengan kehidupan sehari-hari.

Shares: