HeadlineHukum

KUHP dan ancaman kebebasan pers di tanah air

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa (6/12/2022), lewat sidang paripurna, mengesahkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. 
KUHP dan ancaman kebebasan pers di tanah air
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly (kedua kanan) dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) menerima dokumen laporan Komisi III terkait RKUHP dari Ketua Komisi III Bambang Wuryanto (kiri) saat Rapat Paripurna DPR ke-11 masa persidangan II tahun 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12/2022). (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

POPULARITAS.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Selasa (6/12/2022), lewat sidang paripurna, mengesahkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) menjadi undang-undang.

Dengan begitu, dalam jangka waktu tiga tahun kedepan, KUHP baru itu sendiri, akan berlaku efektif, menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda yang sudah dipakai bangsa ini selama 104 tahun, atau sejak 1918.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, saat pengesahan RKUHP itu menjadi UU, menerangkan bahwa, pemerintah dan DPR akan melakukan sosialisasi undang-undang itu dalam kurun waktu tiga tahun sebelum berlaku efektif bagi acuan pemidanaan dalam pratek hukum, dan peradilan di Indonesia.

Terdapat 627 pasal dalam KUHP itu, dan setidaknya terdapat sejumlah pasal yang menjadi kontroversi, dan ancaman bagi kerja-kerja pers di tanah air. Dari KUHP yang disahkan tersebut, terdapat 11 pasal yang dinilai berpotensi besar mengekang kehidupan pers ditanah air. 

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arief Zulkifli, dalam pernyataan dikutip dari tempo.co, Ia menyebutkan beberapa pasal dalam KUHP baru yang berpotensi ancam, dan ciderai kebebasan pers, yakni pasal 188 yang mengatur tindak pidana penyebaran, atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme, dan Leninisme.

Kemudian, pasal 218, 219, dan 220 yang mengatur perihal tindak pidana menyerang, atau harkat dan martabat presiden dan Wakil presiden. Kemudian pasa 240,241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintahan.

Selanjutnya, pasa 263 tentang penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong, serta pasal 264 yang mengatur tindak pidana menyiarkan berit ayang tidak pasti, berlebih-lebihan, dan atau tidak lengkap. Dan selanjutnya, pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Masih menurut Arief Zulkifli sebagaimana diwartakan oleh tempo.co, Dewan Pers sendiri, telah memberikan masukan melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) terhadap RKUHP yang dinilai berpotensi ancam kebebasan pers. Namun masukan yang diserahkan pihak kepada DPR RI itu, tidak mendapatkan respon balik.

Arif juga menyebut ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP telah mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Padahal, kata dia, unsur
penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

 

KUHP Tidak Berlaku untuk  Kegiatan Kemerdekaan Pers

Hal berbeda disampaikan oleh pakar hukum pers dan kode Etik jurnalistik, Wina Armada. Ia berpendapata bahwa, UU KUHP yang disahkan DPR itu, tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers.

Sebab, katanya kepada popularitas.com, Jumat (9/12/2022), khusus pelaksanaan kemerdekaan pers ditanah air, hanya akan mengikuti dan patu terhadap UU Pers Nomor 40 tahun 1999. 

“UU Pers itu bersifat undang-undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan dengan UU pers,’ terangnya.

Wina Armada, pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik

Selain itu, tambah lulusan Fakuktas Hukum UI, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri. Artinya, sesuai

UU Pers, segala urusan yang terkait dengan pers telah dan akan diatur sendiri berdasar ketentuan yang disepakati oleh masyatakat pers.

“Ketentuan ini sudah diperkuat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” ujar Wina yang waktu perkara ini disidangkan di MK menjadi advokat untuk Dewan Pers.

Mantan Sekjen pengurus PWI Pusat yang memiliki pengalaman kerja sebagai wartawan sekitar 40 tahun itu mengingatkan, dalam UU Pers jelas disebut tidak ada satu pihak pun yang dapat mencampuri urusan kemerdekaan pers.”Tentu dalam hal ini, termasuk KUHP yang baru disahkan tidak dapat mengatur soal kemerdekaan pers,” tandasnya.

Shares: