News

LBH: Pengabaian Hak Buruh Masih Merajalela di Negara Merdeka

BANDA ACEH (popularitas.com) – Tanggal 1 Mei menjadi hari bersejarah bagi seluruh kaum buruh dan menjadi simbol perlawanan buruh, terhadap kesewenang-wenangan penguasa dan pemodal. Di Indonesia sendiri 1 Mei atau yang kerap disebut hari buruh atau may day sempat mejadi hari yang sangat dilarang pada zaman pemerintahan Soeharto. Namun dengan perlawanan kaum buruh, akhirnya pada 1 Mei 2014, pemerintah Republik Indonesia menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh dan menjadi hari libur Nasional.

“Namun pada kenyataannya hari buruh kemudian hanya menjadi wacana libur nasional semata. Semestinya hari buruh yang telah diakui secara nasional ini menjadi simbol rujukan kepada pemerintah dalam berupaya pemenuhan hak-hak buruh,” kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syharul, melalui siaran pers yang diterima awak media, Selasa, 30 April 2019.

Dia mengatakan beberapa bulan lagi, tepatnya pada 17 Agustus yang akan datang, Indonesia akan memasuki usia kemerdekaan yang ke 74 tahun. Di usia yang sudah begitu lumayan tua, kata Syahrul, di negara yang merdeka ini masih saja terdapat pengabaian terhadap hak-hak dasar warga negaranya.

Salah satu pengabaian yang dimaksud Syahrul adalah hak dasar buruh.

“Semestimya di usia yang sudah hampir mencapai 74 tahun kemerdekaannya, negara ini sudah mampu menjamin tanggung jawabnya dalam pememnuhan hak-hak dasar warga negara termasuk hak dan jaminan kesejahteraan terhadap buruh. Kenyataannya malah berbalik, pengabaian terhadap hak dan kewajiban perlindungan buruh malah semakin merajalela,” katanya.

Sampai saat ini, kata Syahrul, LBH Banda Aceh masih melihat pengabaian tugas dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan buruh. Pemerintah juga dinilai masih lalai dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang kerap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak pekerja, seperti tidak memenuhi jaminan kesahatan, jaminan keselamatan pekerja dan atau jaminan sosial lainnya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan.

“Selain itu, juga masih terdapat banyak perusahaan tidak patuh terhadap pembayaran gaji sesuai dengan upah minimum yang telah ditentukan,” ungkap Syahrul.

Dia mengatakan, terhadap permasalahan tersebut, pemerintah masih kerap melakukan pengabaian untuk melakukan tindakan tegas sesuai keweangan yang telah diberikan oleh undang-undang.

Dalam sektor lain, kata dia, di Aceh juga terdapat perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak, lalu tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan perintah peraturan perundang-undangan, seperti membayar pesangon terhadap tenaga kerja yang telah di PHK.

Sejak tahun 2018 sampai dengan saat ini LBH Banda Aceh sedang menangani 300 kasus pekerja yang di-PHK tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebanyak 300 pekerja ini menurutnya di-PHK secara sepihak oleh salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang tanpa memenuhi hak pekerja, “salah satunya memberikan pesangon sesuai dengan perintah undang-undang.”

“LBH Banda Aceh berharap pemerintah harus aktif dalam pemenuhan hak tenaga kerja. Aktif melakukan pengawasan dan secara tegas memberikan hukuman terhadap perusahaan yang mengabaikan hak-hak tenaga kerja,” kata Syahrul lagi.

Dia juga meminta pemerintah untuk segera meninjau ulang PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, mengingat kebutuhan pokok terus meningkat agar bisa segera disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah juga diminta menghapus sistem outsourching.

“Agar sistem perbudakan terhadap tenaga kerja benar benar di negara yang merdeka ini. (Termasuk) memastikan jaminan sosial ketenagakerjaan benar-benar terpenuhi bagi seluruh tenaga kerja,” pungkas Syahrul.*(BNA/RIL)

Shares: