EkonomiNews

Merk-merk Dunia Terungkap Pasok Minyak Sawit dari Suaka Margasatwa Aceh

Hasil Penelitian Anak Bekerja di Perkebunan Sawit Keluarga
Ilustrasi kebun sawit | Foto: Detik.com

SAN FRANCISCO (popularitas.com) – Rainforest Action Network (RAN) di tahun 2019 ini melakukan investigasi lapangan untuk mengungkap aktivitas perusakan lahan gambut di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang digerakkan oleh merek-merek makanan ringan dan bank-bank besar dunia.

Perusahaan-perusahaan ini telah mengadopsi kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasok mereka bertahun-tahun yang lalu, tetapi masih terus memasok minyak kelapa sawit yang ditanam secara ilegal dari dalam hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilindungi, bagian dari hutan hujan dataran rendah penting di Kawasan Ekosistem Leuser Sumatra yang terkenal di dunia.

Minyak sawit ini kemudian digunakan untuk memproduksi makanan ringan yang dijual di seluruh dunia oleh Unilever, Nestlé, PepsiCo, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars dan Hershey.

“Bukti yang dihasilkan dari investigasi kami sangat jelas,” ujar Gemma Tillack, Direktur Kebijakan RAN.

“Terlepas dari kenyataan bahwa merek-merek besar ini secara terbuka telah berjanji untuk mengakhiri deforestasi, mereka masih memasok minyak sawit yang bersumber dari perusahaan yang mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit ke dalam salah satu jantung lanskap konservasi prioritas dengan tingkat perlindungan tertinggi untuk mengatasi krisis iklim dan kepunahan satwa liar—hutan gambut dataran rendah di Kawasan Ekosistem Leuser.”

“Pabrik kelapa sawit dalam investigasi ini sama sekali tidak memiliki sistem monitoring dasar untuk memastikan bahwa minyak sawit yang mereka kelola tidak bersumber dari perusakan hutan hujan, seharusnya perusahaan dengan komitmen tanpa deforestasi tidak lagi membeli dari pabrik ini apabila perusahaan memang memiliki itikad baik untuk menerapkan kebijakan yang telah mereka buat,” Gemma menambahkan.

Kelestarian lanskap Singkil-Bengkung di dalam Kawasan Ekosistem Leuser —termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan gambut Kluet dan hutan hujan dataran rendah yang menjadi penghubung— penting untuk dunia karena terdiri dari hamparan lahan gambut langka, dalam, dan merupakan salah satu penyerap karbon alami paling berharga dan efektif untuk bumi.

Sebaliknya, ketika dikeringkan dan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang didokumentasikan dalam laporan ini, lahan gambut ini akan berubah menjadi bom karbon yang melepaskan polusi dalam jumlah yang sangat besar ke atmosfer selama bertahun-tahun.

Menjelang negosiasi Perjanjian COP PBB tahun 2015 di Paris, terjadi kebakaran gambut besar di Indonesia, yang didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, apabila dikonversi jumlah polusi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer lebih besar dari gabungan seluruh emisi karbon ekonomi Amerika Serikat.

Diperkirakan bahwa emisi karbon dari kebakaran di kedua lahan gambut ini dapat berkontribusi hingga 7 persen dari total emisi tahunan Indonesia, merongrong kemampuan Indonesia untuk memenuhi komitmennya terhadap Perjanjian Paris.

Daerah hutan hujan basah dataran rendah ini telah dijuluki ‘ibukota orangutan dunia’, karena merupakan rumah bagi populasi dengan kepadatan tertinggi orangutan Sumatra yang terancam punah.

Ini termasuk sub-populasi orangutan yang berbeda, beberapa ribu individu menunjukkan struktur sosial dan perilaku menggunakan alat yang unik dibandingkan sejumlah populasi orangutan lainnya.

Wilayah Singkil-Bengkung juga merupakan habitat berkembang biak terbaik yang tersisa untuk spesies terancam punah seperti badak, gajah, dan harimau Sumatra.

“Wilayah Singkil-Bengkung dari Kawasan Ekosistem Leuser akan menyajikan kesempatan langka apabila kita kelola dengan benar,” lanjut Gemma.

“Area ini masih memiliki habitat luas dan utuh untuk gajah, badak, orangutan, harimau, dan spesies lainnya yang tak terhitung jumlahnya untuk bertahan hidup, tetapi tanpa tindakan nyata oleh perusahaan makanan kecil dan bank-bank besar, harta karun dan penyerap karbon alami yang tak ternilai ini akan hilang ditebang dan dikeringkan.”

RAN menuntut agar merek-merek yang terungkap berkontribusi dalam penghancuran ini berhenti membeli minyak kelapa sawit yang bersumber dari pabrik nakal yang teridentifikasi dalam penyelidikan, sampai pabrik-pabrik tersebut mampu membuat sistem pemantauan, penelusuran, dan memastikan sistem kepatuhan yang transparan agar dapat diverifikasi untuk memastikan mereka hanya menerima kelapa sawit yang benar-benar bertanggung jawab.

Selain itu, RAN juga menyerukan kepada perusahaan untuk menempatkan produsen yang melanggar aturan deforestasi dalam daftar larangan membeli, serta meminta bank-bank yang mendanai untuk memperkuat persyaratan pembiayaan bagi kliennya agar berhenti memasok kelapa sawit ilegal dan memperkuat sistem pemantauan dan kepatuhan hingga pemasok pihak ketiga.

Musim Mas (MM) melalui pernyataanya segera mengeluarkan dua perusahaan perkebunan yang disebutkan dalam laporan RAN tersebut. Kedua perusahaan yang dimaksud, yaitu PT. Indo Sawit Perkasa dan PT. Laot Bangko. Kedua perusahaan ini segera dicoret dari daftar rantai pasok mereka untuk memastikan bahwa MM tidak akan mensuplai kelapa sawit yang bersumber dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Sementara untuk dua pabrik yang disebutkan dalam laporan RAN akan ditangguhkan dan segera masuk ke dalam Mekanisme Keluhan MM dan harus melalui syarat untuk memasuki Protokol Pembelian Terkontrol mereka. Setelah melalui proses pelibatan dan verifikasi lebih lanjut.

MM tidak akan melanjutkan hubungan bisnis baru dengan salah satu pabrik ini hingga mereka memenuhi persyaratan keberlanjutan MM.

Sementara Golden Agri-Resources (GAR) melalui rilis media yang dikeluarkan pada 30 September 2019, mengakui bahwa pabrik kelapa sawit yang diungkap dalam laporan RAN hanya mampu melakukan sistem monitoring keterlacakan rantai pasok hingga ke perkebunan (traceability-to-plantation/TTP) dan belum mencapai 100 persen.

Pabrik-pabrik tersebut menghadapi kesulitan untuk mencapai tanggal tenggat TTP yang diterapkan GAR pada Februari 2019, khususnya pada proses mendaftarkan dan memetakan tandan buah segar yang berasal dari petani swadaya, yang merupakan bagian penting dari pasokan di wilayah tersebut.

Menurut GAR, pabrik-pabrik tersebut tidak membeli langsung dari petani ini tetapi melalui broker atau agen.*(RIL)

Shares: