News

Muslim Rohingya Tuntut Keadilan di Mahkamah Internasional

Ribuan Muslim Rohingya dibunuh dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh. (BBC Indonesia)

PARA pengungsi Rohingnya yang sejak beberapa tahun terakhir tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar, Bangladesh, mendesak Mahkamah Internasional menyatakan Myanmar bertanggung jawab atas terjadinya “genosida”.

Mohammed Zobayer, 19 tahun, kepada kantor berita Reuters mengatakan, “Kami menyaksikan perkosaan, penyiksaan dan pembunuhan.”

“Kami saksikan sendiri banyak orang dibunuh. Yang bisa kami lakukan adalah lari menyelamatkan diri ketika rumah-rumah kami dibakar.

“Saatnya sekarang masyarakat internasional bertindak dan meminta pertanggungjawaban Myanmar. Mereka harus bertanggung jawab atas terjadinya genosida terhadap warga Rohingya,” kata Zobayer.

Lebih dari 730.000 warga minoritas Muslim Rohingya menyelamatkan diri ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer pada 2017.

PBB mengatakan warga Rohingya dibunuh “dengan niat memusnahkan mereka”. Tindakan militer Myanmar “mencakup pembunuhan massal dan perkosaan”, kata PBB.

Myanmar selalu membantah tudingan genosida dengan alasan bahwa tindakan militer adalah respons atas serangan yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Rohingya.

Ratusan ribu warga Rohingya kini tinggal di tempat-tempat penampungan pengungsi di Bangladesh selatan.

Myanmar digugat ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag — yang sidangnya dimulai hari Selasa (10/12) hingga Kamis (12/12) — oleh negara kecil Afrika barat, Gambia.

Myanmar dituduh melakukan genosida terhadap warga Muslim Rohingya.

Dalam persidangan di Belanda ini, Aung San Suu Kyi akan memimpin sendiri tim pengacara Myanmar.

Tuntutan yang diajukan di ICJ biasanya memutuskan sengketa antarnegara.

Tahun lalu, PBB mengeluarkan laporan yang mengecam kekerasan di Myanmar, dengan mengatakan para pemimpin militer seharusnya diadili terkait genosida.

Pemerintah Myanmar menyangkal tentaranya melakukan kejahatan tersebut.

Misi Pencari Fakta Internasional PBB terkait Myanmar (Independent International Fact Finding Mission) pada bulan Agustus 2018 menyatakan taktik militer “sangat tidak sepadan dengan ancaman keamanan yang ada” dan “keperluan militer tidak pernah dapat menjadi pembenaran bagi pembunuhan tanpa pandang bulu, perkosaan berkelompok terhadap perempuan, penyerangan pada anak-anak dan pembakaran keseluruhan desa”.

Myanmar menolak laporan tersebut, dengan menyatakan bahwa operasinya selalu hanya menyasar ancaman milisi atau pemberontak.

Tahun lalu, jaksa International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Pidana Internasional — yang biasanya menyelidiki dugaan kejahatan perang, berbeda dengan ICJ — memulai penyelidikan pendahuluan terhadap dugaan kejahatan Myanmar pada kelompok minoritas Muslim Rohingya.

Tetapi karena Myanmar tidak ikut serta dalam ICC, tuntutan hukum akhirnya tidak diajukan.

Mengapa Gambia menuntut?

Gambia mengajukan tuntutan di ICJ atau Mahkamah Internasional di Den Haag pada hari Senin (11/11).

Negara yang mayoritas penduduknya Muslim tersebut mendapatkan dukungan dari 57 anggota Organisasi Kerja Sama Islam dan tim pengacara internasional.

Gambia dan Myanmar menandatangani Konvensi Genosida 1948, yang mengharuskan negara-negara ini mencegah dan menghukum kejahatan genosida.

Gambia mendesak mahkahmah untuk mengeluarkan sebuah keputusan guna memastikan Myanmar segera “menghentikan kekejaman dan genosida terhadap warga Rohingya-nya sendiri.”

Abubacarr M Tambadou, Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia memimpin tuntutan. Dia sebelumnya bekerja di ICC untuk Rwanda guna menyelidiki genosida pada tahun 1994.

Tambadou mengatakan kepada BBC bahwa dirinya terdorong untuk bertindak setelah mendengar sejumlah cerita pembunuhan kejam, perkosaan dan penyiksaan dari korban selamat saat dirinya mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Siapakah Muslim Rohingya?

Rohingya adalah kelompok minoritas etnik Muslim di Myanmar yang memiliki bahasa dan kebudayaan sendiri. Sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine, yang berbatasan dengan Bangladesh.

Meskipun telah bergenerasi tinggal di Myanmar, mereka tidak diakui sebagai warga negara atau tidak dimasukkan ke dalam sensus.

Mereka seringkali dipandang, termasuk oleh para pejabat pemerintah, sebagai imigran gelap atau penyelundup dari Bangladesh.

Pada tanggal 27 Agustus 2017, milisi Rohingya menyerang puluhan pos polisi, menewaskan sejumlah petugas. Pihak keamanan kemudian melakukan operasi pembersihan dengan membakar desa, sementara warga sipil diserang, diperkosa dan dibunuh, demikian hasil temuan penyelidik PBB.

Ratusan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh, bergabung dengan banyak warga Rohingya lain di kamp yang telah lebih dulu pergi.

Usaha mengembalikan mereka sampai sejauh ini mengalami kegagalan – para pengungsi menekankan tidak adanya pertanggungjawaban atas kekejaman yang dilakukan dan ketidakpastian nasib mereka.

Pada bulan Oktober PBB memperingatkan bahwa terdapat “risiko serius genosida akan terjadi kembali” terhadap warga masih berada di Myanmar.

Permulaan tahun ini, BBC menemukan bukti bahwa sebuah desa Rohingya dihancurkan dan pemerintah kemudian mendirikan sejumlah bangunan di daerah itu.*

Sumber: BBC Indonesia

Shares: