News

Pemerintah Dinilai Gagal Menjamin Perlindungan Bagi Perempuan dan Anak

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Menurun Selama Pandemi
Ilustrasi dan aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, di Aceh. ANTARA FOTO/Rahmad

POPULARITAS.COM – Lembaga Flower Aceh mengecam tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan anak usia 9 tahun dan pemerkosaan teradap ibunya, yang terjadi di rumah korban di Aceh Timur dan menuntut pelaku dihukum seberat-beratnya.

“Kami menuntut pelaku mendapatkan hukuman seumur hidup atas perbuatnya agar menjerakan, apalagi ini tindakan berulang yang dilakukannya. Selain itu, yang terpenting korban harus dipastikan mendapatkan penanganan yang optimal, termasuk pemulihan fisik, psikologis dan psikososial,”  kata Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh dalam keterangannya, Selasa (13/10/2020).

Kasus ini, kata dia menjadi warning bagi semua untuk lebih waspada, mengingat ancaman kejahatan bisa terjadi di dalam rumah sendiri. Peran aktif semua pihak untuk melakukan upaya nyata memutus mata rantai kejahatan seksual yang sampai hari terus terjadi di Aceh menjadi keharusan. 

Merujuk data kasus yang dirilis oleh P2TP2A Aceh, tercatat sepanjang tahun 2017 – 30 Juni 2019, angka kekerasan di Aceh mencapai 3.695 kasus.  Selama tahun 2020 – Juli, tercatat 379 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Suraiya Kamaruzzaman menilai Pemerintah gagal menjamin perlindungan perempuan dan anak dari ancaman kekerasan seksual.

“Kalau mengacu pada beragam kasus yang terjadi, salah satu faktor penyebab kasus perkosaan dan kekerasan seksual terus terjadi adalah karena negara gagal memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari predator kekerasan seksual,”

“Penegakan hukum yang sama sekali tidak memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku. Penerapan Qanun Jinayah masih memiliki banyak kelemahan, terutama karena rendahnya hukuman bagi pelaku dan sulit/rumitnya pembuktian  serta tidak adanya  keadilan bagi korban dimana hak restitusi, kewajiban pemulihan korban, baik secara psikologis maupun secara sosial sama sekali tidak diatur di dalamnya”.

Suraiya bilang untuk pelaku kasus pemerkosaan dalam Qanun Jinayah dihukum cambuk paling sedikit 125 kali, paling banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, paling lama 175 bulan.

Rata-rata kasus yang diputuskan adalah hukum cambuk, dimana setelah proses cambuk berjalan, korban bisa kembali berkeliaran dan berpotensi bertemu korban kembali yang masih menghadapi trauma atau proses pemulihan.

Suraiya menuturkan adanya kebutuhan payung hukum untuk perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia.

“Keberadaan kebijakan yang ada belum sepenuhnya mampu mengakonmodir kebutuhan dan pemenuhan hak korban kekerasan, maka kami mendesak dan mendukung sepenuhnya agar RUU Pencegahan Kekerasan Seksual segera disahkan, hal ini mengingat situasi darurat,” pungkasnya.

Editor: dani

Shares: