News

Putusan Hakim MS Aceh Bebaskan Terdakwa Pemerkosa Dinilai Prematur

LSM yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual gelar jumpa pers. (popularitas/fadhil)

POPULARITAS.COM – Sejumlah LSM yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual menyayangkan tidak digunakannya perspektif hak anak dan diabaikannya prinsip perlindungan anak dalam pemeriksaan kasus rudakpaksa pada tingkat banding oleh majelis hakim pada Mahkamah Syar’iyah Aceh.

“Bahkan secara subjektif telah menyimpulkan secara salah fakta-fakta terungkap pada persidangan tingkat pertama di MS Jantho,” kata Putri Alya dari LBH Banda Aceh dalam konferensi pers, Kamis (27/5/2021).

Putri menjelaskan, penyimpulan yang salah tersebut terlihat dari pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim banding dalam putusan tersebut.

Baca: JPU Cium Kejanggalan Alat Bukti yang Bikin Terdakwa Pemerkosa Bebas

Di antaranya, kata Putri, jawaban korban dalam bentuk anggukan dan gelengan pada persidangan tingkat pertama dianggap oleh majelis hakim banding sebagai bentuk imajinasi korban tentang pemerkosaan yang dialaminya, sehingga jawaban tersebut tidak digunakan sebagai pembuktian.

Menurut Putri, anggapan ini memperlihatkan majelis hakim banding sesungguhnya tidak paham tentang psikologis dan bahasa tubuh korban.

“Majelis hakim banding bahkan sudah mengambil kesimpulan yang sangat terburu-buru dan prematur,” tegas Putri.

Baca: JPU Kasus DP yang Dibebaskan Mahkamah Syariyah Aceh Siapkan Tiga Materi Kasasi

Selain itu, lanjut Putri, majelis hakim banding juga telah mengabaikan keterangan saksi ahli (psikolog) yang dihadirkan pada persidangan tingkat pertama, yang menjelaskan tentang kondisi psikis anak yang agak pendiam, sulit bercerita, cenderung tertutup dan sebagainya.

“Alih-alih memutuskan pemulihan terhadap korban, majelis hakim banding malah berpendapat jawaban korban tidak bisa digunakan sebagai pembuktian karena korban dalam keadaan tidak stabil,” ucap Putri.

Baca: Terdakwa Pemerkosa Bebas, Kuasa Hukum Sebut DP Korban Fitnah

Ia menambahkan, penyimpulan yang salah juga terlihat di mana majelis hakim banding tak menjadikan keterangan saksi-saksi yang menerima pengaduan dari anak tentang pemerkosaan sebagai alat bukti, karena saksi-saksi dianggap tidak melihat langsung pemerkosaan itu.

“Bahkan rekaman pengaduan anak kepada saksi-saksi yang dijadikan alat bukti pada persidangan tingkat pertama tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim,” ujar Putri.

Padahal, lanjut Putri, jika mengacu kepala Pasal 1 Angka 31 Hukum Acara Jinayat dan Pasal 1 Angka 26 KUHP, saksi juga adalah orang yang mendengar langsung tentang adanya tindak pidana.

Baca: Mahkamah Syar’iyah Aceh Bebaskan Pelaku Rudapaksa Keponakan

“Dalam hal ini saksi telah mendengarkan langsung dari korban tentang pemerkosaan yang dialaminya, dan UU Perlindungan Anak juga melarang setiap orang membiarkan terjadinya kekerasan terhadap anak,” jelas dia.

Di samping itu, kata Putri, majelis hakim banding juga telah menyimpulkan hasil visum tidak bernilai sebagai alat bukti yang sempurna untuk menetapkan terdakwa sebagai pelaku pemerkosaan.

“Karena meskipun hasil visum memperlihatkan ada luka robekan pada selaput dara anak yang diduga karena berbenturan benda tumpul namun hasil visum juga memperlihatkan tidak ada lecet, pendarahan dan lain sebagainya,” ujar Putri.

Baca; Vonis Bebas Pelaku Perkosa bisa Dilaporkan ke Bawas Mahkamah Agung

Menurut Putri, majelis hakim banding dalam hal ini mengabaikan fakta tentang visum yang baru dilakukan tiga bulan setelah pemerkosaan terjadi, sehingga tentu hanya bekas robekan yang terlihat. Sementara lecet, bekas darah dan lain sebagainya tentu sudah hilang.

“Majelis hakim juga keliru menganggap hasil visum bisa membuktikan pelaku tindak pidana, karena visum adalah hasil pemeriksaan medis, bukan putusan pengadilan. Dengan mengabaikan visum sebagai alat bukti, majelis hakim banding telah mengangkangi hukum acara yang sah,” kata Putri.

Seperti diketahui, majelis hakim pada Mahkamah Syar’iyah Aceh mengabulkan permohonan banding dari pelaku rudapaksa anak bawah umur di Kabupaten Aceh Besar berinisial DP. Dengan demikian, DP dinyatakan bebas.

Sebelumnya, Mahkamah Syar’iyah Jantho memvonis DP dengan hukuman 200 bulan atau 16,6 tahun penjara karena terbukti melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang tak lain adalah keponakannya.

Kemudian, DP melalui kuasa hukumnya melakukan permohonan banding ke Mahkamah Syar’iyah Aceh. Dalam upaya ini, banding DP dikabulkan oleh majelis hakim.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang berlangsung di Mahkamah Syar’iyah Aceh, Kamis (20/5/2021). Sidang ini dipimpin oleh Misharuddin bersama dua anggota masing-masing, M. Yusar dan Khairil Jamal.

“Menyatakan terdakwa DP bin J tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan jarimah pemerkosaan terhadap orang yang memiliki hubungan mahram dengannya, sebagaimana dakwaan alternatif kedua, yang diatur dalam pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,” demikian isi putusan tersebut.

Editor: dani

Shares: