NAMANYA Nurhasanah Situmorang. Siang itu, dalam terik sinar matahari dia baru saja selesai memindahkan sekarung sampah botol plastik di dalam gudang yang juga disulap menjadi tempat tinggalnya.
Bulir peluh masih menetes di kening Nur, panggilannya, ketika tujuh orang Relawan Demokrasi bentukan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh menyambangi kediamannya.
“Silahkan masuk, Bu. Silakan..,” katanya, seraya membuka pintu gudang yang terbuat dari seng.
Di dalam gudang, tampak puluhan karung goni sampah plastik dan kardus bekas menggunung di setiap sudut ruangan.
Rumah Nur agak menjorok ke dalam. Tidak seperti kebanyakan rumah pada umumnya, rumah milik pemulung yang sehari-hari bekerja memungut sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gampong Jawa itu terbuat dari papan dan hanya memiliki satu jendela. Halaman depannya yang dipagari kiri kanan dengan seng, ia manfaatkan untuk menumpuk sampah.
“Maaf ya pak, bu, agak sedikit bau,” ucap Nur berbasa-basi.
Siang itu KIP Banda Aceh bermaksud menyambangi “istana” Nur untuk menyosialisasikan pemilu 2019 kepada warga di sekitaran TPA Gampong Jawa. Nur salah satu warga yang menjadi target sosialisasi mengenai surat suara hingga tata cara pencoblosan.
“Banyak yang masih di rumah ini, pak. Istirahat mungkin. Sebentar ya dipanggil dulu.” Nur kemudian memanggil seseorang di dalam gudang. Dia meminta orang tersebut memanggil warga sekitar untuk datang ke rumahnya.
Sembari menunggu, Nur dibantu Relawan Demokrasi (Relasi) kemudian menggelar tikar di halaman gudang sebagai tempat warga nantinya duduk mendengarkan paparan petugas Relasi.
Rumah Nur berhadapan langsung dengan bibir kuala Lampulo. Selang beberapa meter ke depannya, terdapat sebuah hamparan bukit sampah, tempat di mana perempuan berumur 52 tahun itu saban hari mengais rezeki.
Terpaan angin dari bibir kuala ikut membawa bau ikan asin serta bau busuk sampah menyeruak masuk ke dalam gudang. Tampak beberapa petugas tak kuasa menutup hidung. Namun karena menghargai tuan rumah, mereka sembunyi-sembunyi melakukan itu.
Tepat pukul 3.00 sore satu per satu warga telah berkumpul. Jumlahnya belasan orang. Kebanyakan adalah ibu-ibu. Petugas Relasi kemudian merentangkan sebuah spanduk. Isinya tentang berapa jumlah kertas suara berikut petunjuk warna dari tiap-tiap kertas yang nantinya harus dicoblos pemilih.
“Bapak ibu sekalian, sebelum kita berbicara tentang kertas suara, saya mau bertanya ‘apakah bapak ibu sudah terdaftar sebagai pemilih? Apakah sudah cek di kantor geuchik (kantor desa)?,” tanya Yusri Razali, Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih KIP Banda Aceh.
Sontak berbagai jawaban keluar dari mulut peserta. Ada yang mengatakan sudah tahu bahwa dirinya terdafar sebagai pemilih. Ada pula yang tak tahu sama sekali.
“Nanti kan sampai suratnya begitu ke rumah, pak,” timpal seorang warga.
Yusri mengangguk membenarkan tuturan warga tersebut. Namun dirinya turut menimpali, jika ada warga yang belum terdaftar jangan merasa sungkan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sebab, warga masih bisa menggunakan hak suaranya di pemilu dengan membawa KTP.
“Misalnya kalau KTP hilang gimana, pak?” tanya warga lain.
“Kalau hilang, misalnya, ibu bisa bawa KK. Bawa surat keterangan dari Disdukcapil juga. Yang penting bapak ibu jangan golput,” balas Yusri.
Sosialisasi dari KIP Banda Aceh dan Relasi tersebut sangat disambut antusias oleh warga. Tanya jawab mengalir selama satu jam lebih.
“Nah, kalau untuk surat suara Presiden, warnanya itu abu-abu ya,” kata salah seorang petugas Relasi. Petugas mengenakan rompi hitam yang di belakangnya tertulis Relawan Demokrasi itu sabar mengulang-ngulang tata cara pemilihan yang belum sepenuhnya dipahami warga.
Pemilu 2019 yang akan berlangsung 17 April mendatang terdapat lima jenis kertas suara yang harus dicoblos. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan membingungkan pemilih karena terlalu banyak. Untuk itulah, di sisa waktu yang ada, pihak KIP terus memaksimalkan sosialisasi dan meningkatkan partisipasi warga untuk terlibat dalam pesta demokrasi ini.
Sekalipun informasi terkait pemilu sudah bersebaran di berbagai media, tetapi penyelenggara pemilu tak puas hanya sampai disitu. Hingga pada akhirnya untuk memastikan warga memperoleh informasi yang jelas dan jauh dari kabar bohong, maka dibentuklah Relawan Demokrasi untuk turun ke masyarakat.
Penyelenggara pemilu pun turut memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Warga tak dibuat susah hanya untuk sekadar mengetahui apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau ingin mengetahui hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pemilu.
“Kalau punya android, atau anak-anaknya yang punya Hp android, bisa download di playstore itu ada namanya aplikasi KPU Pemilu 2019. Jadi bapak ibu bisa cek di Hp sekarang. Nggak susah-susah, kan,” kata Yusri.
Pada Sabtu, 23 Maret 2019 tersebut, belasan warga pemulung yang disambangi KIP Banda Aceh dan Relasi mengaku sudah sedikit memahami tata cara pemilihan dan jenis kertas suara. Warga mengetahui warna kertas suara hijau untuk DPRD kabupaten/kota, warna biru untuk DPR Provinsi, kuning untuk DPR RI, merah untuk DPD RI, dan warna abu-abu untuk pemilihan Presiden.
“Cuma om, gini ya, misalnya kan, kita coblos nama dan partainya gitu, jadi kemana larinya suara kita itu?” tanya Nur. Dia mewakili pertanyaan sama yang juga disimpan warga lainnya.
“Oh kalau itu nanti bu, suaranya sah bisa masuk ke caleg tersebut,” terang Yusri.
Yusri mengingatkan agar warga mencoblos dengan alat yang telah disediakan petugas di TPS, bukan dengan alat yang dibawa dari rumah.
“Bapak ibu nanti cukup pakai alat yang ada di TPS. Jangan bawa misalnya obeng, pulpen, untuk mencoblos. Nanti malah rusak lagi kertas suaranya. Jadinya kan nanti tidak sah,” terang Yusri, seraya diikuti gelak tawa peserta.
Sudah pukul 4.15 sore. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara azan ashar. Lima menit sebelumnya, sosialisasi pemilu untuk warga pemulung sudah berakhir.
***
NURHASANAH Situmorang sudah menjadi warga Gampong Jawa sejak 2009. Dia masuk ke Aceh pada 2006 dari Sumatera Utara dan menetap di Aceh Utara. Hari itu, Nur terlihat antusias mengikuti jalannya sosialisasi KIP Banda Aceh. Dia tak malu-malu bertanya kepada petugas Relasi terkait hal yang tidak diketahuinya.
“Insyallah saya sudah paham,” ucapnya, ketika ditanya apakah sudah memahami berapa jumlah surat suara di pemilu mendatang.
Pemilu 2019 ini, kata ibu dua anak tersebut, sedikit tidaknya sudah duluan dia ketahui. Malam hari sembari melepas penat setelah seharian berkubang dengan tumpukan sampah, seliweran informasi pemilu itu diperolehnya dari televisi.
“Kadang-kadang disitu ada juga kan dijelasin tentang pemilu,” katanya.
Namun pemilu kali ini bagi Nurhasanah tidak seperti pemilu biasanya. Dia mengaku tak satu orang pun calon anggota legislatif (Caleg) yang datang menyambangi kawasan tempat tinggalnya tersebut. Jangankan menyosialisasikan perihal pemilu seperti yang dilalukan KIP Banda Aceh dan Relasi, turun untuk memperkenalkan diri saja para Caleg itu enggan.
“Mungkin karena kami ini kan kumuh. Tempat-tempat sampah begini barangkali orang itu merasa jijik,” ucapnya lirih.
Itu lah yang membuat Nur pesimis terhadap calon pemimpin yang kelak duduk di kursi rakyat. “Nggak ada yang bisa kita banggakan.”
Akan tetapi sekalipun nasib hidup mungkin terus bersemuka hingga ajal bersama sampah-sampah, Nur tetap tak ingin golput. Dia memastikan tanggal 17 April nanti dua buah hatinya yang telah dewasa juga akan ikut mencoblos. Keluarga itu tak berputus asa menitip harapan kepada pemimpin yang diharapkan bisa bersifat adil dan merakyat.
“Insyallah kita nggak pernah golput. Walaupun kita nggak pernah diperhatikan, insyallah nggak pernah kita golput.”
Lepas sosialisasi kepada pemulung di gudang sampah milik Nur, petugas Relasi kemudian bergegas menuju TPA. Mereka hendak menjumpai pemulung yang masih berada di sana.
Di TPA petugas menjumpai Ainsyah (55 tahun). Perempuan itu saat ditemui masih mengais-ngais sampah plastik yang bisa dijual kembali. Sebuah tas selempang bertengger di bahunya. Jilbab penutup kepala agak sedikit diturunkannya untuk menutup mulut dari sengatan bau yang berkelebat di sana.
“Saya dari dulu udah terpikir, bagaimana caranya ini saya nggak paham,” tutur Ainsyah kepada petugas Relasi. Di samping Ainsyah turut nimbrung Dewi Sartika (33 tahun).
Lalu petugas sigap menjelaskan tata cara pencoblosan. Dua perempuan pemulung itu tampak mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Untuk DPR RI ini warna kertas suaranya kuning ya, bu,” jelas petugas Relasi.
Dewi sedikit menyanggah. Katanya, selain surat suara yang terlalu banyak, jumlah nama Caleg yang tertera di kertas suara pun tak kalah sedikit. Menurutnya itu mengakibatkan pemilih kebingungan untuk mencoblos.
“Misalnya kayak wawak ini yang nggak bisa baca, kan banyak tuh nama-nama calegnya. Pasti nanti bingung,” timpalnya. Ainsyah pun ikut mengangguk.
Sama seperti Nurhasanah, Ainsyah dan Dewi juga mengakui belum pernah ada satu Caleg pun yang datang menyosialisasikan pemilu. Namun, mereka tak ambil pusing.
“Kalau nanti lupa tanya lagi sama orang di sana (TPS), kan bisa ya,” timpal Dewi.
Pemilu hanya tinggal hitungan hari. KIP Banda Aceh melalui kerja-kerja Relasi sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan sosialisasi ke komunitas Panti Jompo, komunitas Thionghoa, juga ke nelayan, dan kelompok yang rentan tak tersentuh informasi.
“Kita akan terus melakukan ini untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Dengan harapannya hasil pemilu nanti berkualitas,” sebut Yusri.
Sore turun perlahan. Mobil pengangkut sampah masih tampak lalu-lalang. Bau busuk sampah menusuk ke sela hidung.
Dari balik ratusan ton sampah yang menggunung di sana, orang-orang seperti Nurhasanah, Ainsyah, dan Dewi Sartika, pada kenyataanya sering tersisih jauh usai palagan pesta demokrasi berlangsung.
Suara mereka jelas berharga. Namun selepas itu, apakah aspirasi mereka hanya akan kembali tertumpuk laksana bukit sampah di Gampong Jawa?* (ASM)