Dinas Kebudayaan dan Pariwisata AcehNews

Asal usul kopi di Aceh

Festival Panen Kopi Gayo, sarana tumbuhkan sektor kepariwisataan
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Almunizal Kamal, saat ikut melakukan panen kopi pada Festival Panen Kopi Gayo, di Desa Atu Lintang, Pegasing, Aceh Tengah, Sabtu (3/9/2022). Foto: Disbudpar

POPULARITAS.COM – Kopi memang tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, apalagi ia memiliki segudang cerita. Namun siapa sangka, di balik ketenaran komoditi ini ada peran penting Belanda di dalamnya, yaitu sejarah perkembangan kopi di tanah air.

Tahun 1696, menjadi awal mula penduduk Belanda masuk ke Indonesia. Saat itu mereka membawa kopi jenis Arabika dari Malabar, India, ke Pulau Jawa. Budidayanya dilakukan oleh kompeni di Kedawung, sebuah daerah agrikultur dekat Batavia (Jakarta).

Pada masa itu, kopi Arabika juga menyebar ke pulau-pulau lain seperti Sumatra, Sulawesi, Bali, akan tetapi lahannya tidak seluas di Jawa. Masa keemasan kopi Arabika di Indonesia sempat memudar, setelah tampak adanya gejala serangan jamur Karat Daun (Hemilein vastatrix) tahun 1878.

Di Aceh, kopi pertama kali ditanam tahun 1908 yaitu jenis Arabika dan Robusta. Salah satu komoditi unggulan dari provinsi paling barat Indonesia ini, memiliki perjalanan yang cukup panjang hingga dikenal di mata dunia.

Kopi Arabika pertama kali ditanam di Dataran Tinggi Gayo tepatnya pinggir Danau Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. Sedangkan kopi Robusta tersebar di wilayah Pidie dan Aceh Barat.

Pada masa itu masyarakat Aceh diperintahkan hanya meminum kopi Robusta saja, sedangkan jenis Arabika dikonsumsi sendiri oleh Belanda dan diekspor karena memiliki nilai yang tinggi.

Sejarah penanaman kopi Arabika di Aceh sempat ditulis John R Bowen, dengan judul “Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989″. Tahun 1924 Belanda dan investor Eropa mulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh, dan sayuran.

Kemudian pada 1933, di Takengon, 13.000 hektare lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat Gayo, kala itu sangat cepat mengadopsi tanaman baru dan menanami kopi kualitas ekspor tersebut.

Budidaya kopi di Aceh semakin bekembang setelah runtuhnya kekuasaan Belanda di tanah air tahun 1945. Ketika itu, kebun kopi khususnya di Dataran Tinggi Gayo dibagi-bagi kepada masyarakat setempat.

Minum dua cangkir kopi bukan ide bagus untuk pasien hipertensi
Ilustrasi kopi (Pixabay)

Dalam artikel yang ditulis Tengkuputeh, Pemerintah Republik Indonesia menghadiahkan segala perkebunan kopi kepada seorang perwira militer asal Gayo, Ilyas Leubee, pada masa revolusi fisik menyabung nyawa di medan perang.

Ilyas Leubee tidak mengambil hadiah itu untuk dirinya sendiri, namun membagikannya kepada masyarakat sekitar dan tidak melanjutkan pengelolaan kebun itu. Sehingga pabrik peninggalan Belanda di sana terbengkalai dan menjadi besi tua sampai sekarang.

Mendapati bahwa ternyata tanaman kopi sangat menguntungkan, para petani yang tidak kebagian kebun pun mulai menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman kopi. Sehingga saat ini terdapat sekitar 90.000 hektare perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo, yang sekarang terpisah menjadi tiga kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.

Inilah yang menjadikan Dataran Tinggi Gayo sebagai produsen kopi Arabika terbesar tidak hanya di Indonesia, tapi juga Asia, karena kebun kopi di daerah tersebut dikelola oleh petani individual dengan rata-rata kepemilikan lahan maksimum 2 hektare.

Shares: