Headline

JMSI tolak pasal-pasal pada RUU penyiaran yang bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers

JMSI tolak pasal-pasal pada RUU penyiaran yang bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pers

POPULARITAS.COM – Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), nyatakan menolak pembahasan pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang dinilai ciderai kebebasan pers dan bahayakan demokrasi.

Penolakan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa dalam keterangannya, Selasa (14/5/2024) di Jakarta.

Menurut Teguh, pembahasan RUU Penyiaran yang saat ini sedang digodok oleh DPR RI, terdapat sejumlah pasal yang jika hal tersebut disahkan bisa bahayakan kebebasan pers.

“Kebebasan pers dan hak masyarakat peroleh informasi dijamin oleh UUD 1945,” kata Teguh.

Teguh menyampaikan bahwa, salah satu hal yang disoroti pihaknya, yakni pasal 50 B ayat (2) huruf c dalam draft RUU Penyiaran yang berbunyi, melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif. 

Tentu saja, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28F, bahwa, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain bertentangan dengan UUD 1945, pasal 50 B ayat 2 huruf c pada RUU Penyiaran tersebut, juga bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers khususnya Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.

“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital mereka,” ujarnya.

Secara subtansi, sambung Teguh, aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi oleh lembaga penyiaran dapat diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kemerdekaan pers di tanah air. 

Teguh juga menggarisbawahi, masyarakat khawatir RUU Penyiaran itu menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Selain itu, huruf k di dalam Pasal 50B ayat (2) RUU Penyiaran melarang penayangan “isi siaran” dan “konten siaran” yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Menurut Teguh, bagian ini sangat multi tafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet”. Dia mengingatkan, penilaian terhadap “berita bohong” adalah domain dan kewenangan Dewan Pers seperti diatur dalam UU Pers yang disemangati UUD 1945. 

JMSI juga menilai Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) dalam RUU Penyiaran yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik lembaga Penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak pantas. 

Menurut hemat Teguh, bagian ini harus dikaji ulang dengan sungguh-sungguh karena bersinggungan dengan amanat UU Pers yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa karta jurnalistik.

Mantan anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini mengingatkan DPR RI bahwa baik UUD 1945 maupun UU Pers memberikan mandat kepada masyarakat pers nasional untuk mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui mekanisme self regulation.

Oleh karena itu setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik yang ditayangkan media cetak, media siber, maupun lembaga penyiaran, hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. “Ini untuk memastikan bahwa kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas, dan bertanggungjawab dapat berlangsung independen tanpa intervensi dari pihak manapun,” ujarnya.

Mantan Wakil Presiden Confederation of ASEAN Journalists (CAJ) itu, mendesak DPR RI untuk mengkaji kembali RUU Penyiaran dan menyeleraskannya dengan UUD 1945 dan UU 40/1999 tentang Pers, demikian Teguh Santosa

Shares: