Feature

Kuah Beulangong di Lidah Orang Swiss

Ilustrasi wisatawan mancanegara diberi kesempatan mengaduk Kuah Beulangong khas Aceh | Foto: Al Asmunda

SEJAK pukul 8 pagi jalan Diponogoro, Kota Sabang, tampak ramai dipadati warga dan wisatawan yang mengantri ingin mencicipi salah satu kuliner khas Aceh; Kuah Beulangong.

Kuali-kuali dengan ukuran besar berjejer di sepanjang jalan tersebut, persis di depan kantor bupati Kota Sabang. Pohon morai yang tumbuh rindang di kiri kanan jalan, memayungi para peserta dan wisatawan yang tengah menikmati pergelaran Festival Kuang Beulangong.

Semerbak wangi rempah bersatu dalam masakan berbahan dasar daging itu. Di bawah kuali, api dari kayu bakar membara besar. Sesekali peserta menambah kayu bakar agar api tetap menyala. Tak lupa daging yang telah bercampur rempah itu sesekali diaduk.

Festival ini bagian dari kegiatan Kanduri Laot yang dimulai sejak Sabtu, 30 Maret 2019 kemarin. Seluruh peserta lomba berderet di sepanjang jalan. Inilah kegiatan memasak Kuah Beulangong pertama yang terbesar di Kota Sabang.

Masyarakat Aceh secara umum percaya, Kuah Beulangong merupakan pang ulee peunajoeh (kepala dari seluruh makanan). Makna dari ungkapan tersebut berarti; setiap ada masakan apapun yang terhidang, semisal di pesta perkawinan, Kuah Beulangong merupakan menu andalan utama. Menjadi raja dalam kasta makanan di Aceh.

Makanan yang satu ini sudah menjadi budaya bagi orang-orang Aceh. Maka tak heran, warga Sabang berbondong-bondong hadir menyaksikan Festival Kuah Beulangong. Apalagi, perserta yang meracik hindangan Kuah Beulangong itu nantinya akan membagi gratis kepada warga dan wisatawan.

Kegiatan ini diikuti 75 peserta yang terdiri dari rumah makan yang cukup punya nama dari seluruh Aceh. Turut ikut ambil bagian peserta dari kantor-kantor dinas dan perangkat desa se-kota Sabang.

Wali Kota Sabang Nazaruddin mengatakan, tujuan diselenggarakannya festival Kuah Beulangong ini agar masakan yang sudah melegenda ini tetap lestari. Pihaknya juga ingin memperkenalkan ke lidah wisatawan yang sedang berkunjung ke Sabang bahwa Aceh memiliki satu sajian kuliner yang istimewa.

“Kita ingin melestarikan masakan tradisional Aceh, serta memperkenalkan masakan kuah beulangong kepada wisatawan lokal dan wisatawan manca negara yang berkunjung ke Sabang,” katanya, Minggu, 31 Maret 2019.

Dalam kegiatan ini, sebut Nazaruddin, peserta akan memperebutkan total hadiah Rp72 juta. Pemerintah Sabang juga menyediakan ratusan bungkus Bu Kulah gratis kepada pengunjung.

Wisatawan mancanegara sedang mencicipi Kuah Beulangong khas Aceh | Foto: Al Asmunda

Selain menggaet mata wisatawan, Pemerintah Sabang sengaja menghadirkan suguhan Festival Kuah Beulangong ini untuk mengukir sejarah makan besar yang dihadirkan bagi masyarakat umum.

“Sembari menikmati pemandangan laut, kita makan besar di sini,” ucapnya.

Sabang memang pulau yang menawan. Pantai-pantai berpasir putih bak permadani dan terumbu karang dengan jenis beragam, terdapat di beberapa titik di pulau yang berpenghuni lebih dari 5 ribu jiwa tersebut.

Mahsyurnya Sabang sudah hinggap ke telinga warga dunia sejak dulu. Banyak wisatawan yang memilih melepas penat ke kepulauan yang juga terkenal dengan sebutan Pulau Weh ini. Hal itu sebagai mana yang diungkapkan Giant Lucas, seorang wisatawan dari Swiss.

“Saya kalau sudah pulang ke Swiss, selalu kembali kepikiran ini (Sabang),” katanya dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Lucas juga mengakui, selain jatuh cinta dengan alam Sabang, lidahnya tergolong cepat menyukai makanan khas Aceh. Salah satunya Kuah Beulangong.

Kuliner Aceh jenis kari-karian tersebut, kata Lucas berbeda dengan kari yang ada di Malaysia, Thailand, maupun India.

“Ciri khas rasa kelapanya itu, dan campuran bumbu, berbeda sekali,” ucapnya tersenyum.

Jam 9 pagi bersama beberapa orang temannya, Lucas sengaja datang ke acara tersebut. Tiba di sana, dia juga sempat diberi kesempatan mengaduk kari Kuah Beulangong. Dia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang tampak sumringah.

Selepas itu, Lucas dan teman-temannya diberi semangkuk Kuah Beulangong oleh peserta.

“Mangat that. Lon galak that,” puji pria itu, yang ternyata juga sedikit-sedikit menguasai bahasa Aceh. (ASM)

Shares: