FeatureHeadline

Aceh, imlek dan keberagaman

Aceh, imlek dan keberagaman
Perayaan Imlek di Aceh berlangsung Aman dan Terapkan Prokes. FOTO : ANTARA

POPULARITAS.COMEtnis tionghoa di Aceh jumlahnya tidak kurang dari 2 persen dari total penduduk provinsi ujung barat Sumatra ini. Sebaran terbesar warga berkulit kuning itu ada di Banda Aceh. Mayoritas agama yang dianut adalah budha, dan sebagian besar kristen, dan konghucu.

Perayaan Imlek, saban tahun dirayakan oleh etnis Tionghoa di daerah ini. Tak ada gangguan, dan ritual-ritual agama yang dijalankan penuh khidmat sejalan dengan keyakinan di tengah 99 persen masyarakat muslim di daerah berjuluk serambi mekkah tersebut.

Imlek 2023 di tahun kelinci air ini, etnis Tionghoa kembali menyambutnya dengan suka cita. Bahkan, grup barongsai Golden Dragon, ikut meriahkan perayaan tahun baru China tahun 2574 di kota Banda Aceh.

Pelatih Barongsai Golden Dragon Koh Acong, Sabtu (21/1/2023) menuturkan, perayaan Imlek 2023 pihaknya akan menampilkan persembahan terbaik Barongsai Tonggak.

Ia juga menyebutkan, anggota barongsai yang Ia pimpin saat ini, tidak hanya berasal dari komunitas etnis Tionghoa, tapi ada juga ummat kristen, hindu, dan muslim. 

Keberagaman atlet barongsai yang Ia latih saat ini, sebagai bukti bahwa daerah berjuluk serambi mekkah ini sangat menjunjung tinggi keberagaman. Selain itu juga, etnis Tionghoa di provinsi ini sangat nyaman beribadah, dan beraktivitas menjalankan kehidupan.

Sejarah Etnis Tionghoa di Aceh

Populasi penduduk Aceh mayoritas beragama islam, dan dapat dikatakan 99 persen penduduknya muslim. Sebagai daerah yang diatur dengan hukum syariat, etnis dan suku berbeda kepercayaan hidup dan nyaman tinggal di provinsi ini. Begitu juga dengan warga dan etnis Tionghoa.

Kehadiran etnis Tionghoa di daerah ini, tak lepas dari sejarah masa lampau. Dan saat ini, para penduduk itu telah menghuni provinsi ini selama ratusan tahun. Menurut catata sejarah, mereka telah menghuni daerah ini pada abad 17.

Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Mawardi menjelaskan, dari literatur yang ada, etnis Tionghoa masuk ke Aceh pada 1875. Saat ini, penjajah Belanda membawa mereka untuk bekerja di fasilitas-fasilitas militer.

Saat pertama kali masuk ke daerah ini, jumlah etnis Tionghoa yang dibawa oleh Belanda jumlah 190 orang. Namun intensitas dan aktivitas penjajahan yang tinggi tempo dulu, banyak dari mereka yang ikut di bawa masuk, termasuk dari 

Hampir di seluruh wilayah perkotaan di Aceh terdapat masyarakat Tionghoa. Gemar bermasyarakat hingga saling membantu membuat masyarakat Aceh dan Cina tak menimbulkan konflik.

Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Mawardi. FOTO : popularitas.com/Riska Zulfira

Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Mawardi menyampaikan awal mula etnis Tionghoa masuk ke Aceh tercatat pada tahun 1875 atau berdasarkan literatur yang ada etnis Tionghoa ini masuk sejak abad ke 17.

Dimana kala itu, mereka dibawa ke Aceh sebagai buruh. Berada dibawah kekuasaan Belanda mereka bekerja di fasilitas-fasilitas militer.

“Karena Aceh berada di pintu masuk selat malaka jadi pada saat adanya hubungan dagang  kedua ini pesisir Aceh menjadi wilayah persinggahan,” kata Mawardi kepada popularitas.com, Sabtu (21/1/2023).

Kata Mawardi, saat pertama dibawa ke Aceh hanya berjumlah 190 orang. Namun saban hari buruh yang berasal dari negara Hongkong pun ikut diboyong. Hal tersebut dikarenakan wilayah, dan kekuasaan Belanda saat itu makin luas.

“Wilayah yang dikuasai Belanda semakin luas, sehingga buruh yang dibutuhkan semakin banyak. Jadi etnis Tionghoa yang didatang juga makin ramai,” tuturnya. Jadi, sambungnya lagi, saat penjajahan Belanda di Aceh, jumlah etnis Tionghoa yang di boyong mencapai 3.200 orang, tambahnya.

Aceh yang aman, damai, dan tidak diskriminatif walau daerah ini diberlakukan syariat islam, mendorong kenginan warga China lainnya untuk datang ke sini. Awalnya mereka berdagang, dan kemudian menjadi penduduk tetap, dan membaur dengan warga provinsi ujung barat Sumatra ini.

Etnis Tionghoa paling banyak tinggal di Banda Aceh. Bahkan di ibukota provinsi Aceh itu, terdapat kawasan pecinan yang bernama Penayong, nah nama itu sendiri berasal dari bahasa Aceh, yakini peupayong atau memayungi.

Dulu, kawasan Peunayong merupakan kebun kelapa. Seiring dengan perkembangan zaman, dan aktivitas pusat ibukota, daerah tersebut berkembang jadi pusat bisni.

Wujud keberagaman di daerah ini, kehadiran warga dan etnis Tionghoa sama sekali tidak pernah di usik oleh mayoritas penduduk Aceh yang muslim. Bahkan, rumah ibadah, dan organisasi khusus etnik mereka hidup, dan tumbuh di sini tanpa gangguan. Hal-hal seperti itulah penerapan penting dari arti Syariat islam, yakni Menjamin kepercayaan dan agama masyarakat lainnya.

 

Editor : Hendro Saky

Shares: