FeatureNews

Peran Disnakermobduk Aceh dalam pengawasan UMP

Perusahaan atau usaha industri menjadi salah satu sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Berkurangnya pemasukan ikut berimbas bagi pekerja atau buruh, salah satunya pemotongan upah, jauh dari upah minimum provinsi (UMP).
Peran Disnakermobduk Aceh tingkatkan kompetensi SDM lokal
Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk (Disnakermobduk) Aceh, Erwin Ferdinansyah

POPULARITAS.COM – Perusahaan atau usaha industri menjadi salah satu sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Berkurangnya pemasukan ikut berimbas bagi pekerja atau buruh, salah satunya pemotongan upah, jauh dari upah minimum provinsi (UMP).

Di tengah kesulitan perusahaan dalam menenuhi hak-hak para pekerjanya, Pemerintah Aceh melalui Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk (Disnakermobduk) tetap memacu dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP).

Meski sedang mengalami kesulitan akibat pandemi, perusahaan-perusahaan di Aceh juga didorong untuk tetap memenuhi hak-hak para buruh atau pekerjanya, sesuai dengan UMP yang ditetapkan pemerintah.

“Meskipun keuntungan berkurang, tapi tetap lah perusahaan-perusahaan ini harus membayar upah pekerja, upah buruh harus sesuai dengan UMP, itu UMP kan upah minimum,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kadisnakermobduk Aceh, Erwin Ferdinansyah, Selasa (7/12/2021).

Diketahui, Gubernur Aceh melalui Surat Keputusan Nomor 500/1707/2021 pada 19 November 2021 lalu, telah menetapkan UMP Aceh Tahun 2022, sebesar Rp 3.166.460.

Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan UMP Aceh tahun 2021 yang jumlahnya Rp 3.165.031. Artinya, kenaikan terjadi sebesar Rp 1.429. UMP Aceh Tahun 2022 berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari 2022.

Aksi demo Aliansi Buruh Aceh menuntut kenaikan UMP Aceh 2022 dan menolak UU Cipta Kerja di tugu bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Rabu (17/11). Foto: Suparta/acehkini

Dalam SK itu, gubernur juga memutuskan bahwa UMP Aceh Tahun 2022 merupakan upah bulanan terendah dengan waktu kerja 7 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi sistem kerja 6 hari per minggu dan 8 jam per hari atau 40 jam per minggu bagi sistem kerja 5 hari per minggu.

Selain itu, Gubernur Aceh juga memutuskan bahwa perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan tersebut, dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Dalam SK itu, gubernur juga menetapkan bahwa UMP Aceh Tahun 2022 berlaku bagi pekerja/buruh lajang di Aceh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun.

Kemudian, bagi pengusaha yang tidak mampu membayar UMP Aceh Tahun 2022, dapat mengajukan penangguhan sesuai dengan tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan.

UMP Aceh tertinggi kedua di Sumatera

Meski hanya mengalami kenaikan sebesar Rp1.429, Kepala Disnakermobduk Aceh, Erwin Ferdinansyah menyebutkan, UMP tahun 2022 di provinsi paling barat Indonesia ini tertinggi kedua di Pulau Sumatera, setelah Bangka Belitung sebesar Rp 3.264.881. Secara nasional, terangnya, Aceh masuk 10 besar.

Dikatakannya, penetapan UMP tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Proses penetapan ini juga melalui serangkaian tahapan yang melibatkan dewan pengupahan yang di dalamnya ada perwakilan buruh, serikat pekerja, perwakilan perusahaan, pengusaha, akademisi, dan pemerintah

“Jadi ditetapkan UMP itu tidak langsung ujug-ujug atau tiba-tiba langsung angka sekian, tapi ada tahapan-tahapan memakai formula yang dikeluarkan Kemennaker, dengan data itu kita masukkan ada rumusnya, jadi keluarlah angka UMP segitu,” ucap Erwin.

Dengan ditetapkannya UMP tersebut, Erwin berharap perusahaan-perusahaan bisa memastikan hak-hak buruhnya. Dia meminta jangan ada perusahaan yang memangkas upah buruh dengan berdalih pandemi Covid-19.

“Memang situasi sangat sulit di 2 tahun terakhir akibat Covid-19, mungkin ada produksi berkurang, keuntungan berkurang, tapi tetap lah perusahaan-perusahaan ini harus membayar upah pekerja, upah buruh harus sesuai dengan UMP,” kata Erwin.

Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk (Disnakermobduk) Aceh, Erwin Ferdinansyah, saat memberikan arahan pada rapat kordinasi teknis bidang ketenagakerjaan dam ketransmigrasian

Dia menambahkan, apabila ada perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah mengupah para pekerjanya melebihi UMP yang telah ditetapkan pemerintah, maka harus dipertahankan. Jangan ada pemotongan atau pengurangan.

“Kalau perusahaan sudah membayar gaji lebih tinggi dari upah minimum yang ada, ya jangan diturunin, ya tetap segitu, karena semua serba sulit, tidak hanya perusahaan yang sulit, buruh juga sulit, dengan situasi pandemi yang 2 tahun ini sangat mengganggu semua lah,” ucapnya.

Selain itu, Erwin juga berharap pemilik-pemilik perusahaan di Aceh untuk memprioritaskan tenaga kerja lokal. Sebab, menurutnya, pemberdayaan tenaga kerja lokal salah satu kunci menekan angka pengangguran di Bumi Tanah Rencong.

“Usahakan gunakan tenaga-tenaga lokalnya, terutama-terutama perusahaan besar yang beroperasi di Aceh. Utamakan lah pekerja-pekerja lokal,” tegas Erwin.

Di sisi lain, kata Erwin, pemilik perusahaan-perusahaan di Aceh juga diminta tak mengabaikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Selain itu, para pekerja juga diminta didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan.

“Pekerja-pekerjanya kalau bisa didaftarkan ke BPJS ketenagakerjaan, sehingga ketika semua pekerja ini terjamin, produktivitas juga akan meningkatan,” demikian Erwin.

Tingkatkan Pengawasan

Disnakermobduk Aceh melalui Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan selama ini aktif dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di provinsi ini. Pengawasan tersebut guna memastikan hak-hak para pekerja tersalurkan.

Berdasarkan data, total pekerja di Aceh per 18 Oktober 2021 sebanyak 37.805 orang, terdiri dari 31.316 laki-laki dan 6.489 perempuan. Mereka tersebar di 4.114 perusahaan, baik mikro, kecil, menengah hingga besar.

Sementara pegawai pengawas sebanyak 26 orang, masing-masing pengawas/PPNS 5 orang, pengawas/spesialis 2 orang dan pengawas umum 19 orang. Mereka disebar di sejumlah kabupaten/kota di Aceh.

“Bidang pengawasan tenaga kerja itu yang mengawasi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan, apa sudah dibayar upah sesuai UMP, apa perusahaan tersebut ada menerapkan keselamatan kerja, dan lain-lain,” kata Erwin.

Setidaknya, kata Erwin, ada tiga tahapan pengawasan ketenagakerjaan, yakni Preventive Educative, Repressive Non Justicia, dan Repressive  Justicia. Preventive Educative merupakan upaya pencegahan melalui penyebarluasan norma, penasihatan teknis, dan pendampingan.

Sementara Repressive Non Justicia adalah upaya paksa di luar lembaga pengadilan untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dalam bentuk nota pemeriksaan dan/atau surat pernyataan kesanggupan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Dan Repressive  Justicia merupakan upaya paksa melalui lembaga pengadilan dengan melakukan proses penyidikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil,” sebut Erwin.

Bidang Pengawasan Ketenagakerajaan, lanjut Erwin, memiliki empat seksi, yakni Seksi Pengawasan Norma Kerja, Jaminan Sosial, Perempuan dan Anak. Lalu, Seksi Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Selanjutnya, Seksi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan dan Seksi Fungsional Pegawai Pengawas. Keempat seksi ini mempunyai peran masing-masing dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan.

Erwin menerangkan bahwa kebijakan pengawasan ketenagakerjaan dilakukan berupa peningkatan kualitas dan kuantitas data ketenagakerjaan melalui penerapan Wajib Lapor berbasis online.

Kemudian, peningkatan pengawasan Tenaga Kerja Asing (TKA) dan peningkatan dan perlindungan terhadap pelaksanaan upah, jam kerja, syarat kerja, jaminan sosial, dan perlindungan TK perempuan dan anak.

“Juga peningkatan penerapan K3 melalui sertifikasi keahlian K3, pembentukan kelembagaan K3, dan penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3), oleh karena itu kita berharap semua perusahaan mematuhinya,” kata Erwin. (***)

Shares: