News

Soal Kasus Cabul, DPRA dan Gubernur Diminta Evaluasi Seluruh Anggota BRA

Seorang pria di Simeulue cabuli anak tiri di penginapan
Ilustrasi pencabulan. (Istockphoto/funky-data)

POPULARITAS.COM – Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul meminta DPRA dan Gubernur Aceh mengevaluasi seluruh anggota BRA. Sebab, ada beberapa kasus yang dilakukan oleh anggota BRA yang dimana salah satunya ialah kasus cabul yang melibatkan Deputi II BRA.

Hanya saja Deputi II BRA yang terlibat kasus cabul dengan sesama oknum di lembaga itu sudah diberhentikan. Syahrul menilai, kasus cabul itu telah mencoreng lembaga BRA.

“Gubernur Aceh dan DPR Aceh segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap instansi BRA dan membuat kebijakan terkait mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Satuan Kerja Pemerintah Aceh,” kata Syahrul dalam keterangannya, Jumat (8/1/2021).

Ia juga menyarankan agar Ketua KPA Muzakkir Manaf merekomendasikan agar Ketua BRA, Fakhrurrazi diberhentikan dari jabatannya.

“Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, Muzakir Manaf selaku Ketua KPA yang merekomendasikan pengangkatan Fakhrurrazi Yusuf sebagai Ketua BRA untuk mengusulkan penghentiannya kepada Gubernur Aceh,” ucapnya.

Ia menilai langkah tersebut mengingat ada beberapa kebijakan yang dibuat oleh Ketua BRA yang blunder, salah satunya dalam memperingati Hari Damai Aceh yang rencananya saat itu diisi dengan tour moge.

Terkait kasus cabul, kata Syahrul, keputusan memberhentikan Deputi II BRA sudah tepat karena memang telah menyalahi etika dan moral. Namun dugaan tindakan cabul yang dilakukan Deputi II BRA juga merupakan tindak pidana. Perbuatan cabul sudah diatur dalam Pasal 289 KUHP.

Perbuatan cabul dalam lingkup kerja diatur dalam Pasal 294 ayat (2) KUHP, bahwa; pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya diancam dengan pidana penjara selama 7 tahun.

Sebagai seorang pimpinan lembaga yang sehari-harinya bekerja untuk pemenuhan hak korban konflik Aceh, Ketua BRA sepatutnya mendukung proses penegakan hukum dengan mendampingi korban untuk membuat laporan polisi, dan melakukan pengawalan terhadap proses tersebut.

Walaupun sebetulnya kasus pencabulan bukan merupakan delik aduan, yang dengannya kepolisian bisa bertindak tanpa harus menunggu laporan langsung dari korban.

Ketua BRA juga dapat berkoordinasi dengan DP3A sebagai instansi pemerintah yang dibentuk untuk memberikan layanan pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan di Aceh. Walaupun DP3A juga dapat memberikan layanan kepada korban tanpa harus menunggu laporan langsung dari korban, karena kasus ini sudah diketahui oleh masyarakat luas.

Menurut Syahrul, apa yang sebenarnya ideal dilaksanakan oleh seorang pimpinan seperti memastikan proses hukum dilakukan, dan memastikan perlindungan korban pada kenyataannya tidak muncul sama sekali dari pernyataan Ketua BRA.

“Ia justru mengusulkan pemberhentian kerja korban pelecehan seksual di instansi BRA, yang menunjukkan bahwa Ketua BRA tidak memiliki keberpihakan terhadap korban. Alih-alih berpihak pada korban ia malah memperlakukan korban sama dengan pelaku menggunakan dalih keduanya telah mempermalukan nama instansi BRA dan menimbulkan fitnah. Tentu saja ini penilaian yang keliru dan menyesatkan,” ucapnya.

Ketua BRA, lanjut Syahrul seharusnya paham sepenuhnya bahwa perbuatan cabul tersebut terjadi akibat ketimpangan relasi kuasa antara atasan dengan bawahan di lingkungan instansi yang dipimpinnya.

“Ini juga memperkuat dugaan adanya kelalaian Ketua BRA dalam melakukan pengawasan terhadap bawahannya. Kami menyarankan agar Ketua BRA sadar diri akan ketidakmampuannya melindungi harkat dan martabat bawahannya sehingga menjadi korban pencabulan di instansi yang dipimpinnya,” ujarnya.

Shares: