HeadlineNews

Emak-emak Aceh Tolak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Aliansi Muslimah Aceh menolak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di kantor DPR Aceh | Foto: Fahzian Aldevan

BANDA ACEH (Popularitas.com) – Massa yang tergabung dalam Aliansi Muslimah Aceh mengelar unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Senin, 8 April 2019.

Awalnya, massa dari kaum emak-emak ini berkumpul di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mereka lalu berjalan kaki menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Pantauan di lapangan, massa terlihat kompak memakai pakaian serba putih dan membawa berbagai macam poster. Dalam orasinya, mereka menyatakan sikap tegas menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Kami menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual karena tidak berazaskan agama dan nilai-nilai luhur bangsa,” kata koordinator lapangan, Farah Fajarna.

Ia menilai RUU PKS tersebut tidak memberikan solusi terhadap masalah tingginya angka kejahatan seksual. Namun sebaliknya, massa menilai RUU PKS ini akan menimbulkan angka kejahatan yang lebih tinggi karena bertentangan dengan syariat Islam, adat istiadat Aceh, Pancasila dan UUD 1945.

“Ini (RUU PKS) sebenarnya akan mengabaikan peran agama, adat istiadat dan normal dalam mengatur kehidupan serta dapat melemahkan ketahanan negara,” ujarnya.

Selain itu, RUU PKS juga memberikan peluang legalnya prilaku seks bebas, menjamurnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), maraknya aborsi, serta legalnya pelacuran. Menurut Farah, itu akan mengarah pada hancurnya generasi.

“Juga berpotensi menghancurkan keluarga dengan kriminalisasi peran suami dan orang tua,” katanya.

Aliansi Muslimah Aceh meminta DPRA untuk mendengarkan dan melakukan kebijakan atas penolakan RUU PKS. Apalagi, menurutnya, di Aceh kental dengan syariat Islam dan ditakutkan akan menjadi masalah kedepannya.

“Kami menolak RRU PKS, dan meminta kepada DPRA agar dapat menyampaikan penolakan ke DPR RI,” ungkapnya di hadapan anggota DPR Aceh, Musannif, Ismaniar dan Ghufran Zainal Abidin.

Kepada massa, perwakilan DPR Aceh tersebut berjanji akan menyampaikan aspirasi Aliansi Muslimah Aceh kepada pimpinan DPR Aceh.

Aksi penolakan RUU PKS yang berakhir pukul 12.00 WIB tersebut mendapat pengawalan ketat dari pihak kepolisian dan satpol PP. Dalam aksinya mereka turut menandatangani petisi tentang penolakan RUU PKS tersebut.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menargetkan draf RUU PKS dapat disahkan pada Agustus 2019. Sementara draft RUU PKS tersebut telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo pada April 2017 lalu.

Pembahasan RUU PKS kerap menjadi polemik di kalangan masyarakat karena sering dianggap mendukung seks bebas dan LGBT. Salah satu pasal kontroversial yaitu terkait definisi dan cakupan kekerasan seksual yang dinilai berspektif liberal dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.

Berdasarkan penelusuran popularitas.com, diketahui Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi polemik itu menyebutkan, “kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Dalam RUU PKS tersebut juga dikerucutkan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual menjadi empat jenis tindakan pidana dalam bentuk Daftar Inventaris Masalah (DIM). Keempat jenis tindak pidana itu adalah pencabulan, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual.

Sementara cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20. Dalam Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari; pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Sedangkan Pasal 11 ayat (2) menyatakan, “kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.”

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Tubagus Ace Hasan Syadzily membantah anggapan bahwa substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berpotensi menimbulkan sikap permisif atas prilaku seks bebas dan menyimpang. Dilansir kompas.com, Aceh mengatakan, saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih dibahas bersama pemerintah. Dia pun memastikan akan menghapus jika ada pasal-pasal yang berpotensi melanggar norma agama.* (FZA)

Shares: