FeatureHeadline

Kanduri Laot di Kampung yang Hilang

Warga Gampong Baro melaksanakan Kanduri Laot sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta | Foto: Al Asmunda

SEBUAH bale dua tingkat disesaki puluhan laki-laki. Di bagian bawah bale, empat kuali bekas memasak Kuah Beulangong masih dibiarkan di atas tungku. Bara apinya sudah padam. Kuah Beulangong itu telah berpindah dalam bungkus-bungkus plastik.

Sepelemparan batu dari bale, ada pohon cemara yang rindang. Di sampingnya didirikan tenda teratak untuk ibu-ibu berteduh. Namun, ada juga yang memilih menggelar tikar di bawah pohon, sambil memasang ayunan gantung untuk bayi-bayi mereka.

Matahari menyengat kuat, tetapi tak lantas mengunci langkah kaki orang-orang Gampong Baro menyambangi kampung asal mereka dahulu.

Gampong Baro merupakan sebuah kampung yang telah ditinggalkan sejak gempa dan tsunami menghumbalang Aceh pada 2004 lalu. Ie beuna yang datang dari laut menyapu daratan Gampong Baro beserta benda-benda yang ada di atasnya. Tak sedikit harta benda yang hilang, bahkan nyawa sebagian besar warga di sana pun ikut melayang.

Kedatangan ke bekas kampung mereka itu karena warga sedang bersuka cita. Sebuah jembatan yang diidam-idamkan sejak lama kini telah berdiri megah. Sekalian dengan peresmian jembatan tersebut, warga juga menggelar Kanduri Laot.

Gampong Baro sebelum gempa dan tsunami adalah kampung yang banyak dihuni oleh warga nelayan dan para petani garam.

Tanah di sana pun terbilang subur untuk tanaman kacang-kacangan. Tak sedikit warga, sehabis pulang melaut kemudian banting tulang menggarap lahan pertanian.

Namun, tsunami mengubah segalanya. Warga harus rela direlokasi ke pemukiman baru di Gampong Neuhen, 8 kilometer jauhnya dari Gampong Baro.

Menurut penuturan warga, pihak pemberi bantuan rumah dulu tak membolehkan mereka kembali bermukim di sana. Alasannya terlalu dekat dengan laut. Saat itu tak ada pilihan lain. Dengan berat hati warga memilih pindah dari kampung asalnya.

Di pemukiman baru itu rumah-rumah warga berdiri dekat gunung. Mata pencaharian menjadi alasan yang amat berat bagi warga untuk meninggalkan kampung mereka. Tak ada keahlian lain yang dimiliki warga Gampong Baro selain menjadi nelayan dan petani.

Pada akhirnya, warga tetap memilih menggantungkan hidup dari laut. Beberapa diantara mereka terpaksa harus bolak-balik dari Neuhen ke Gampong Baro cuma untuk sekadar mencari nafkah.

Laut bagi warga Gampong Baro mungkin adalah “rumah” yang nyaman. Yang sekalipun “rumah” tersebut telah menggulung sanak keluarga belasan tahun silam, juga ikut menenggelamkan habis kampung mereka. Akan tetapi pada lautlah mereka sulit sekali mengucapkan kata perpisahan.

Saban tahun, masyarakat Gampong Baro yang berada dalam kemukiman Lamnga, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar itu tetap punya hari untuk mengistimewakan laut. Semisal, Kamis, 4 April 2019 ini. Masyarakat sejak pagi telah mempersiapkan daging kerbau lengkap dengan bumbunya untuk dimasak dan dimakan beramai-ramai di perayaan Kanduri Laot.

Bagi masyarakat di sana, ritual adat ini sebagai bentuk rasa syukur nelayan atas nikmat yang mereka peroleh dari Sang Pencipta lewat laut. Selain kenduri, warga juga menggelar doa bersama untuk keselamatan dan kemudahan memperoleh rezeki ketika melaut.

Kanduri Laot tetap digelar di bekas perkampungan Gampong Baro yang pernah dihumbalang tsunami pada Minggu 26 Desember 2004 lalu | Foto: Al Asmunda

“Sejak Iskandar Muda memimpin, Kanduri Laot ini sudah dimulai. Jadi sampai sekarang masih bertahan dengan hukum adatnya itu,” papar Zaini, seorang nelayan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Panglima Laot Lhok Pasie Lamnga.

Sejak dulu, Kanduri Laot di Aceh mempunyai cara tersendiri untuk menyisakan sedikit bagian tubuh hewan untuk makanan kanduri yang nantinya dihantar ke laut. Hal tersebut bukan bermakna ingin menyekutukan Sang Pencipta, melainkan memang bagian tubuh hewan yang tak bisa dimakan itu dengan sengaja dibuang ke laut agar ikan-ikan turut serta menikmati rasa syukur nelayan.

“Tidak ada kepercayaan, kalau kita kasih itu akan banyak ikan. Tidak ada itu. Jadi nikmat syukur yang kita dapat juga ke makhluk Allah yang lain turut kita bagi,” terangnya.

Kanduri Laot ini juga menjadi bagian dari silaturahmi antar sesama warga nelayan di wilayah tersebut. Sehari sebelumnya, undangan kanduri disebar ke beberapa warga kampung lain yang berprofesi sebagai nelayan yang tunduk dalam wilayah Panglima Laot Lhok Pasie Lamnga.

Silaturahmi lewat Kanduri Laot ini, kata Zaini, merupakan hal yang cukup relevan memecahkan persoalan yang mungkin pernah terjadi antar nelayan ketika melaut.

“Sengketa-sengketa yang pernah terjadi di laut, semisal pemboman ikan, pembiusan dan hal-hal lainnya dapat diselesaikan di sini,” paparnya.

Setiap satu tahun sekali, nelayan Gampong Baro dan nelayan yang tunduk ke wilayah Lhok Pasie Lamnga selalu menggelar Kanduri Laot. Para nelayan secara bergotong-royong mengumpulkan uang untuk melaksanakan kanduri.

Kanduri ini juga mengharuskan nelayan tak melaut selama tiga hari, sejak hari pertama kanduri digelar. Jika ada nelayan di wilayah Lhok Pasie Lamnga yang pergi melaut tatkala kanduri, maka akan dikenakan denda. Seperti membayar sejumlah uang atau menerima sanksi yaitu kapal nelayan tersebut tidak bisa melaut untuk beberapa waktu lamanya.

Perayaan itu turut mengundang beberapa warga kampung tetangga dan pejabat pemerintahan terkait.

“Yang utama sekali dan yang wajib, perayaan Kanduri Laot ini untuk fakir miskin dan anak yatim,” ujar Zaini.

Sekalipun kini warga Gampong Baro telah menetap di wilayah baru di Gampong Neuhen, akan tetapi adat Kanduri Laot yang sudah turun temurun itu akan tetap dipelihara oleh masyarakat di sana. Masyarakat juga masih menaruh asa untuk bisa kembali menetap di kampung asalnya tersebut. Sebab, faktor mata pencaharian lah yang menjadi penguat mereka untuk ingin kembali.

“Jembatan ini kami buat untuk memudahkan nelayan. Ada yang pergi menarik pukat di sini, ada yang ingin berkebun. Bukan hanya warga kami yang memperoleh manfaat adanya jembatan ini, tapi warga di sekitaran sini juga,” ungkap Geuchik (kepala desa) Gampong Baro, Arani Dawood.

Apa yang dirasakan oleh warga Gampong Baro kini mungkin setali tiga uang dengan pepatah; “hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang”. (ASM)

Shares: