FeatureHeadline

Kisah Wak Kolak, dan 57 warga yang selamat saat tsunami Aceh 2004

Kisah Wak Kolak, dan 57 warga Aceh yang selamat saat tsunami
Wak Kolak, salah satu penyintas tsunami Aceh 2004 berfoto dengan latar belakang situs tsunami kapal nelayan diatas rumah. FOTO : popularitas.com/Riska Zulfira

POPULARITAS.COM – Salah satu situs tsunami Aceh adalah sebuah kapal nelayan yang sangkut diatas rumah warga. Saat ini, kawasan itu kerap ramai dikunjungi warga guna melihat dahsyatnya gelombang maha dahsyat yang pernah menyapu hampir 800 kilometer daratan di provinsi ujung barat Sumatra itu pada Desember 2004 silam.

Kapal nelayan itu, juga punya arti khusus bagi Bundiyah. Perempuan yang kini usainya 73 tahun itu, miliki kisah tentang dirinya dan 57 warga yang selamat sebab naik kapal itu.

“Tentu, keselamatan diri saya itu, berkat pertolongan Allah, tapi kapal itu jadi saksi bagaimana kami bisa selamat,” kata Bundiyah kepada popularitas.com, Sabtu (24/12/2022).

Bundiyah, warga Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, lebih dikenal warga dengan sebutan Wak Kolak. Penyebutan nama itu, dikarenakan profesinya yang sebelum tsunami menghantam Aceh, Ia berjualan kolak, dan dan lontong di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di daerah itu.

Kala menceritakan kisahnya 18 tahun silam, Wak Kolak tak kuasa menahan kesedihannya. Raut wajahnya bermuram durja, tapi memorinya mengenang cerita itu begitu kuat, walau usianya beranjak 73 tahun.

Pagi itu, kata Wak Kolak mengawali kisahnya, kira-kira pukul 8.00 WIB, dirinya Sedang disibukkan dengan aktivitas berjualan, begitu juga dengan ratusan nelayan lainnya di TPI Lampulo.

Nah, saat itu, tiba-tiba bumi bergetar, dan mengguncang sangat kuat, bahkan saya sempat terduduk di bakul ikan, sebab begitu kerasnya getarannya. “Getarannya bahkan begitu lama, berlangsung beberapa menit, seperti diayun-ayun,” ujarnya.

Usai gempa, dari masjid-masjid terdengar azan, gema zikir, dan juga riuh rendah suara anak-anak menangis. Sebab ketakutan melanda, Wak Kolak memberanikan dirinya untuk pulang, guna melilhat rumah, dan anak-anaknya.

Baru saja tiba dirumah, sambung Wak Kolak, sesaat kemudian dirinya mendengar ledakan yang cukup keras. Ia tidak berpikir macam-macam tentang itu, dirinya menduga ada bom, atau sejenisnya. “Kan saat itu Aceh lagi konflik. Saya pikir itu suara bom,” tukasnya.

Namun, kala itu dirinya mendengar orang-orang berteriak air laut surut, air laut surut, hal yang membuat dirinya bertambah bingung.

Nah, kak lama berselang usai ledakan, dan air laut surut, dirinya melihat dari kejauhan gelombang raksasa hitam meliuk, menari menuju daratan. Sangat pekat, dan bergerak sangat cepat. 

Saat itu, dirinya tercekat, kaki seperti tak bisa bergerak. Ia hanya bisa mendengar orang-oran berteriak, berlari, dan memanggil namanya.

Wak Kolak lari, wak lari, hanya itu teriakan orang yang saya dengar. “Saat itu saya pasrah, dan sudah berpikir tidak akan selamat,” ungkapnya.

Ditengah kekacauan situasi saat itu, dan kepasrahan dirinya, tiba-tiba Ia merasakan takdir, dan kuasa Allah. Entah darimana, dirinya merasa ada yang menepuk bahunya, seolah menyadarkannya itu lari, dan naik ke atap rumah warga yang jaraknya sedepan tempat Ia berdiri tadi. “Saya lari, dan naik ke lantai dua,” ucapnya.

Rumah yang Ia ketahui, rumah tempat Ia lari saat itu milik Abasiyah, tetangganya. Bahkan, saat tiba dilantai dua, Ia sempat berteriak memanggil orang-orang untuk naik bersamanya di rumah itu.

Nah, saat itu ramai orang yang naik ke rumah milik Abasiyah itu, jumlahnya puluhan, persisnya saya tak ingat, tapi kira-kira kurang dari 60 orang, ada pria dewas, perempuan, dan juga anak-anak.

Gelombang raksasa setinggi pohon kelapa menghantam rumah tempat mereka menyelamat diri. Saat itu, kami semua berpelukan, dan sudah saling meminta maaf. Situasinya sangat kalut, dikepung air, dihantam berbagai benda-benda, dan teriakan-teriakan orang. “Semua bercampur jadi satu, kami semua hiteris, seraya memanjat doa kepada Allah,” katanya.

Saat itu, ditengah kekalutan, dan doa-doa, tiba-tiba terdengar ledakan keras menghantam rumah tempat kami menyelamat diri. Rupanya ada kapal nelayan besar yang menabrak. Tanpa pikir panjang, kami langsung naik ke atasnya, sambung Wak Kolak kemudian.

Kami tidak tau saat itu, mengapa tiba-tiba ada kapal, dalam pikiran dan kekalutan, insting yang ada hanya untuk menyelamatkan diri.

Wak Kolak yang saat wawancara dengan popularitas.com, sempat menunjuk kapal yang kini jadi situs tsunami Aceh, dan ditetapkan sebagai objek wisata tsunami oleh Pemerintah Kota Banda Aceh.

Wak Kolak kemudian melanjutkan, saat dirinya bersama puluhan warga berada diatas kapal itu, mereka menyaksikan perkampungan tempat mereka tinggal puluhan tahun rata dengan tanah.

Doa dan zikir yang hanya mereka bisa ucapkan saat diatas kapal itu. Dirinya juga menyaksikan orang tersapu gelombang, tiang-tiang listrik hanyut terbawa air, dan rumah-rumah rata dengan tanah. “Tak mampu saya ceritakan dan gambarkan bagaimana dahsyat tsunami yang kami saksikan dari atas kapal,” ujarnya.

18 tahun sudah musibah besar menimpa Aceh. Kini wanita berusia 73 tahun itu menjadi penyintas tunami itu tak lagi berjualan kolak. Ia bersama beberapa warga Lampulo lainnya memilih menjadi pemandu wisata di kawasan situs wisata tsunami kapal nelayan diatas rumah. “Saya sudah tua, gak sanggup lagi jualan kolak,” sebutnya.

Di situs itu, Wak Kolak kerap memandu wisatawan yang datang, dan menceritakan tentang kejadian dahsyat tsunami Aceh. Hal itu baginya sangat penting, untuk menjadi pelajaran bagi generasi kedepan, bahwa pernah terjadi bencana besar di bumi serambi mekkah ini.

Dari kejauhan, kapal nelayan diatas rumah itu berdiri kokoh, dominan warga krim dan biru muda, dan dipasang tangga disekeliling, seolah jadi saksi bisu tentang bencana dahsyat tsunami Aceh.

Bagi Wak Kolak, kapal itu tidak sekedar situs wisata tsunami, tapi, kapal kayu beralaskan bungur itu, adalah kiriman Allah sebagai penyelamat dirinya, dan puluhan warga Lampulo saat tanggal 26 Desember 2004 silam. 

 

Editor : Hendro Saky

Shares: